Didepak dari desk kriminal, terpaksa mengungsi dari apartemen, menjadi buruan reporter, hingga kecelakaan yang disengaja, semuanya seakan tak cukup. Kejutan demi kejutan terus saja berdatangan dalam hidupku, mengusik profesionalitas yang kudedikasikan untuk media cetak terbesar di negeri ini.
Berawal dari panggilan telepon yang kuabaikan sejak pukul 5 pagi tadi, skandal gila itu semakin membesar, menyudutkanku dengan beragam opini hingga ruang lingkupku terbatas. Aku tidak suka itu. Terbiasa sebagai reporter dengan mobilitas tinggi, terkurung dengan bertopang dagu benar-benar bukan style-ku.
Akan tetapi, kenyataannya justru aku terdampar di sini, di perpustakaan bersama Aimee. Juga komputer yang masih menyuguhkan portal berita online. Jelas terpampang di sana, breaking news yang baru saja diunggah lima menit lalu, saat jarum jam mengarah pada angka 9.
Masih teramat pagi untuk memaki, tapi terlalu menyebalkan untuk diam saja. Alhasil, paper cup bekas kopi hitam menjadi pelampiasanku—meremasnya dalam kepalan dengan gigi bergemeletuk.
Pernyataan Felix bukan sekadar ancaman, melainkan sebuah peringatan yang harusnya tidak kuanggap remeh. Sepuluh panggilan yang kuabaikan ternyata mengantarkanku pada neraka dunia. Semacam tiket VIP menuju kehancuran, itulah yang kurasakan kini.
Felix Francois Umumkan Rencana Pernikahan dengan Jurnalis Du Monde
Musim Semi, Felix - Corin Gelar Pernikahan Akbar
Terseret Kasus Pembunuhan, Felix Francois Nikahi Pujaan Hatinya Musim Semi Mendatang
Hampir tidak ada diferensiasi pada judul berita di media online. Semua intinya sama, kabar pernikahan yang dengan lancangnya diucapkan oleh Felix dalam konferensi pers mendadaknya.
"Corin, bukankah itu kelewatan? Kalian jelas-jelas tidak punya hubungan apa pun, 'kan?" geram Aimee. Gadis berkacamata bundar yang menemaniku sejak satu jam lalu itu ikut tersulut kesal. "Kurasa kau harus bertindak. Dia makin seenaknya sendiri."
"Tidak semudah itu, Aimee. Felix bukan orang yang bisa kuatasi dengan menjentikkan jari."
Benar, Felix Francois adalah sosok berotak picik dengan seribu siasat untuk melumpuhkan lawan. Situasiku yang semakin terhimpit tidak memungkinkan untuk bergerak lebih. Sebab kini bukan hanya ruang redaksi yang serupa lensa kamera, seluruh penjuru Du Monde bahkan Perancis sekalipun menjadi hal yang sama. Ketika namaku menjadi buah bibir penduduk negeri ini, akan semakin banyak pasang mata yang mengantisipasi kemunculanku. Terlebih lagi barisan haters yang terang-terangan menunjukkan eksistensinya sejak skandal kencan kami diberitakan.
Notifikasi sosial mediaku hampir 70% dibanjiri kata-kata kasar, hujatan, hingga cibiran. Seolah mereka adalah orang paling benar dan paling suci di muka bumi ini. Katanya, aku tidak secantik mantan-mantan Felix. Pun dengan tubuhku yang kalah molek.
Namun, yang paling menyakitkan adalah penilaian mereka terhadap netralitas berita yang kusampaikan selama ini. Terlebih dalam kasus pembunuhan yang menyeret Felix. Ternyata benar yang Lyle katakan. Penilaian orang di luar sana dengan begitu cepatnya berubah. Tak peduli aku salah atau benar, penilaian mereka terhadap netralitas berita mengalami bias berkat skandal gila yang Felix cipta. Pada akhirnya, nama Du Monde yang mereka bawa-bawa.
"Corin!" Pierre muncul dari balik pintu. Ekspresi meledeknya benar-benar mengusik pagiku. Rasanya ingin kuhadiahi bogem mentah saat dia bergerak mendekat ke arahku dan Aimee. "Selamat atas pencapaian besarmu bersama Felix. Nikmati waktumu di desk olahraga."
Mengabaikan Pierre yang begitu menyebalkan, aku bangkit dari kursi. Berdiam diri di tempat ini tidak akan membuahkan hasil. Yang ada justru semakin banyak simpul kebingungan di kepalaku.
"Kau mau ke mana, Corin?"
"Kau mau ke mana?"
Aku memilih diam, mengabaikan pertanyaan Aimee dan Pierre yang diucapkan hampir bersamaan. Dengan kaki agak pincang, aku meninggalkan perpustakaan. Topi hitam kembali kukenakan setelah menggulung rambut ke atas. Begitupun dengan syal yang kembali kulilitkan ke leher untuk menutupi separuh wajahku.
****
Berhadapan dengan Felix Francois terbersit di kepalaku untuk sejenak saja menanggalkan profesi reporter yang telah kusandang selama ini. Agar aku bisa mengoceh sesuka hati dari A sampai Z, dari umpatan hingga cacian. Aku benar-benar ingin menumpahkan semua yang terlintas di pikrian, melakukan apa yang mungkin saja dilakukan oleh gadis-gadis usia 26 tahun di luaran sana bila berada di posisiku. Sungguh, aku benar-benar ingin melupakan sejenak tata krama yang pernah orangtuaku ajarkan. Namun faktanya tetap tidak bisa.