Sacrifice Of Sacred

Katara Nadir
Chapter #6

Setiap Manusia Punya Topeng

Rachaele Giroud Akui Jalin Hubungan dengan Mendiang Dusan

Terlibat Perselisihan, Rachaele Giroud Habisi Nyawa Sang Kekasih

Pembalap sepeda yang digadang-gadang mampu mengharumkan nama Perancis dalam Tour de France bulan Juni mendatang menjelma sebagai pesaing Felix Francois dalam urusan merebut atensi. Malam ini, seteleh 4 jam lebih menjalani pemeriksaan di kantor polisi, Rachaele Giroud menggemparkan media.

Satu fakta yang dia sembunyikan menjadi santapan lezat para pewarta, memenuhi setiap media massa yang ada dengan headline berinti serupa. Logikaku pun menarik kesimpulan secara paksa, bahwa sejatinya manusia memang memiliki topeng untuk bermain peran dalam kehidupan.

Terlepas dari kepalsuan seperti apa yang selama ini kutemui, berita tentang Rachaele kembali menjejali pikiran untuk bekerja ekstra. Terlebih fakta bahwa malam ketika Dusan ditemukan tak bernyawa di apartemennya adalah hari jadi hubungan mereka—seperti itulah yang kubaca dari berita online.

Bagiku kasusnya terdengar makin menarik. Rachaele benar-benar kelihatan sengaja menutupi hubungannya dengan Dusan. Entah karena alasan apa, tapi wajahnya yang sempat tertangkap mata di pemakaman Dusan waktu itu tak memperlihatkan kesedihan mendalam atas kepergian kekasihnya. Apa ekspresinya hari itu juga sebatas sandiwara?

"Jika Rachaele dan Felix ada di TKP, apakah mereka saling mengenal? Atau jangan-jangan mereka sebenarnya terlibat cinta segitiga berujung maut?" Aku terperanjat atas pikiranku sendiri. "Lalu skandal kencan antara aku dan Felix hanya digunakan untuk menghindar dari cerita segitiga itu? Tunggu dulu, apa perintah Felix untuk menjual informasi soal Rachaele juga bertujuan untuk membersihkan nama mereka? Lalu buat apa dia mengajakku menikah? Dasar bedebah!"

Aku kembali membuka notebook, tepat di lembar coretan terkait Rachaele Giroud berada. Rangkuman data yang kudapat dari berbagai sumber terpercaya awalnya tak terasa mencurigakan sama sekali.

Namun kini, ketika satu kenyataan terendus ke permukaan, yang harus kulakukan hanyalah menganalisis ulang. Katakanlah aku berlebihan dan terlalu ikut campur. Aku tidak peduli. Sekalipun desk kriminal bukan lagi ranahku, analisis mendalam tetap akan aku lakukan. Salahkan saja otakku yang berlagak macam detektif. Juga desakan yang Felix berikan siang tadi.

Nama teratas dari daftar panggilan Rachaele Giroud kulingkari menggunakan pena bertinta merah. Ada yang janggal. Seigneur jadi orang terakhir yang dihubunginya. Akan tetapi, justru pelatih Rachaele yang dipanggil untuk dimintai keterangan. Padahal, pria paruh baya itu menempati urutan kedua dalam daftar panggilan Rachaele. Lantas, siapa Seigneur? Kenapa tidak ada satu pun yang menyinggungnya? Felix kah? Atau ....

"Beritamu sudah selesai?" Pertanyaan Bianca berhasil mengalihkan perhatianku. Wanita bermata hijau itu berdiri di depan kubikelku dengan tatapan cukup tegas.

"Lima menit lagi."

Notebook segera kututup dan pena aku letakkan dengan cepat. Bianca tak boleh mengintip sedikit pun. Terlalu riskan bila ia tahu. Karierku bisa benar-benar berhenti di tangan Lyle jika Bianca mengadu.

"Pastikan naskahmu selesai sebelum deadline. Dan tentang pernikahanmu—"

"Jangan membawa urusan pribadi ke dalam pekerjaan, Bi!" geramku.

Mendengar kata pernikahan, tanpa diperintah ingatanku berjalan mundur, mengulang kembali kilasan dari kelicikan Felix yang membuatku hampir gila hingga detik ini.

Aku menghela napas. Segala rasa penasaran tentang Rachaele, juga kegilaan Felix, aku kesampingkan untuk sejenak waktu. Saatnya fokus pada berita yang kudapat seharian ini. Namun, tidak berlangsung lama. Ketika Bianca beranjak ke tempatnya, aku kembali membuka note. Selanjutnya, aku meraih ponsel di saku mantel. Hanya ada satu nama yang terlintas di otakku untuk menuntaskan penasaran yang membuncah. Semoga dia sudi membantuku.

"Kenapa nama Seigneur dalam daftar panggilan telepon Rachaele tak pernah disinggung? Siapa dia?"

"Ya Tuhan, Corin ... jangan bilang kau memintaku untuk menyelidiki lebih jauh. Karierku di kantor polisi bisa berakhir kalau aku ketahuan, Bodoh. Lagipula ini sudah malam, biarkan aku istirahat. Aku baru saja pulang dari kantor. Kepalaku hampir pecah dengan kasus kematian gila yang menyeret banyaknya orang terkenal itu. Termasuk calon suamimu."

Berlebihan. Dia bukan penyidik. Dia seorang ahli IT. Apa hubungannya dengan kasus kematian Dusan? Apa mayat si jaksa mengincar cyber security di kepolisian juga? N'a pas de sens.

"Ayolah, masa depanku sedang dipertaruhkan," rengekku. Masa depanku memang sedang dijadikan pertaruhan. Ada tawaran kerja sama yang harus segera kujawab.

"D'accord, d'accord."

"Dan tolong carikan juga semua informasi tentang Rachaele, dari keluarga hinga orang-orang sekitarnya," perintahku cepat sebelum senyap menyapa pendengaran ketika sambungan telepon diputus oleh informan utamaku.

Aku mengeratkan genggaman pada ponsel. Ada bimbang yang menelusup, hingga akhirnya aku kembali mencari satu nama dan menghubunginya.

"Seberapa besar peluangku bisa kembali ke desk kriminal?" tanyaku tanpa basa-basi. Tak peduli meski Felix mengumpat di seberang telepon, aku terlampau penasaran. Jika pria itu menawarkan kerja sama dengan jaminan semacam itu, pasti dia memiliki kekuasaan lebih.

"Seberapa besar? Umm ... sebesar keinginan untuk menikahimu."

Sialan. Felix memang ahli membuat orang darah tinggi dengan jawabannya. Aku tidak butuh pernikahan.

Lihat selengkapnya