Sacrifice Of Sacred

Katara Nadir
Chapter #7

Louvre - Pont Alexander

Media kembali menggila, saling berlomba untuk menuntaskan berita demi mengejar aktualitas yang terkadang mengesampingkan faktualitas. Dan lagi-lagi, semua itu ulah Felix Francois. Rival semasa sekolah yang menarikku pada skandal gila, hingga menjeratku dalam ikatan pernikahan pada musim semi mendatang. Sekitar dua minggu lagi kalau tidak salah.

Pagi ini, selang tiga hari pasca pembicaraan kami yang disaksikan langit kelam Kota Paris, area Museum Louvre berubah lengang pagi ini. Mahakarya Leonardo da Vinci tak mendapati pengunjung. Piramida kaca kehilangan decakan kagum, juga mata berbinar dari para pelancong untuk sejenak waktu. Pun dengan karya seni lainnya yang berkawan sepi. Menyisakan aku, Felix, serta antek-anteknya. Termasuk beberapa bodyguard berjas hitam dengan tubuh kekarnya. Kira-kira habis berapa untuk menyewa orang sebanyak ini?

Tunggu dulu, jangan bertanya apa yang terjadi. Tengoklah pada headline yang mewarnai media hari ini.

Museum Louvre Jadi Lokasi Prewedding Felix Francois

Mengintip Pesona Museum Louvre, Tempat Prewedding Felix Francois - Corin Lafebvre

Umumkan Pernikahan Secara Mendadak, Felix Francois Pilih Museum Louvre untuk Prewedding

Berlebihan. Entah apa yang terbersit di benak mereka hingga kami menjadi headline utama di setiap berita. Padahal ada kasus yang jauh lebih penting.

Aku mengembuskan napas dengan berat sembari mendelik ke arah Felix. Predikat pria sombong nampaknya memang layak untuk disematkan padanya. Hanya untuk foto prewedding, ia umumkan pada media hingga seluruh penjuru Perancis tahu.

"Simpan ponselmu dan jangan lagi tunjukkan wajah kesalmu. Kau hanya akan membuat foto kita hancur," titah Felix.

Aku mendengkus kesal ketika Debora, wanita setengah tua yang kutebak berada di rentang usia 40-an, itu menghampiriku. Dari yang kudengar, dia adalah orang kepercayaan Felix. Bahkan mengalahkan managernya. Debora mengulurkan tangan kanannya tanpa kata, meminta ponselku untuk ia simpan.

Felix benar-benar penuh dengan aturan. Lagipula, untuk apa hasil sempurna di prewedding? Untuk dipamerkan pada media? Atau untuk membuatku semakin terjepit sebab hujatan haters yang selalu menilaiku rendah? Sialan memang. Aku menyesal karena menerima kesepakatan gilanya. Bisakan waktu diputar ulang?

"Izinkan saya menyimpannya, Madame," kata Debora setelah kuabaikan. Intonasinya datar. Sedatar wajahnya yang mulai muncul keriput satu dua di area sekitar mata.

"Tolong tinggalkan kami," perintah Felix. Satu per satu anteknya beranjak pergi. Pun dengan seorang wanita yang membantunya melepas dasi kupu-kupu dan Debora, setelah mendapatkan ponselku.

Ditinggalkan berdua bersama Felix di lorong panjang museum, entah harus kusebut sebagai ujian atau berkah. Terlebih ketika kaki panjang pria itu melangkah, mempersempit jarak denganku yang tengah mematung sembari menjinjing gaun.

"Tidak ada gunanya menyesal sekarang. Semua sudah terlanjur, yang bisa kau lakukan hanyalah memainkan peran sebagai calon istri Felix Francois," bisiknya tajam di samping telinga kiriku.

Hei, tunggu. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku menyesal? Dia tidak bisa membaca pikiran orang, 'kan?

"Mana yang kau janjikan?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan. "Sampai sekarang tidak ada tanda-tanda aku akan dipanggil kembali ke desk kriminal."

Bukannya menjawab, pria dengan rahang tegas yang sepanjang sesi pemotretan tadi memeluk pinggangku posesif itu justru terkekeh. Tangan kanannya trangkat, mengusap permukaan bibir bawahnya. Sebuah gerakan sederhana, tetapi justru mencipta gelenyar aneh yang merasuki setiap kali mendapati bibir mungilnya memenuhi pandanganku.

Terkutuklah kau Felix karena telah menodai pikiranku.

"Apa perjanjian kita?"

Aku mengangkat sebelah alis. Ingatanku sontak mengulang kesepakatan yang ia tawarkan. "Kita menikah—"

"Tepat! Kita belum menikah saat ini. Jadi tidak ada yang bisa kulakukan sampai hari itu tiba," jawabnya dengan nada penuh provokasi.

Aku meremas gaun dengan lebih erat. Rahangku mengeras, tapi hanya dalam hitungan detik. Sebab selanjutnya aku kembali tak berkutik ketika ujung jemari Felix merambat di permukaan wajahku. Ia mngusap pipiku dengan gerakan lembut sembari mengunci tapanku untuk tak berpaling dari paras rupawannya yang menyebalkan. Dan sekali lagi, izinkan aku menjabarkan rasa yang menghinggapiku, bahwa setiap sentuhannya pada permukaan kulit nyaris membuat gila.

Darahku berdesir hebat hanya dengan gerakan pelannya dalam durasi kurang dari satu menit. Selebihnya, pening melanda ketika keinginan untuk menghambur dalam pelukannya tak kunjung terealisasikan.

Entah mantra apa yang ia gunakan untuk menjeratku hingga senaif ini. Namun percayalah, rasanya teramat sulit untuk tidak kehilangan kendali atas diriku sendiri.

Jemarinya yang dengan lancang menjamah wajahku lantas beralih pada permukaan bibirku yang berwarna merah, mengusapnya dengan gerakan pelan lalu kembali pada pipiku. Bila yang ia inginkan adalah melumpuhkanku, maka aksinya tepat. Sebab aku benar-benar tak mampu berkutik sedikitpun.

Otakku tak mampu memasok perintah. Lidahku terlampau kelu untuk sekadar menimpali kalimatnya. Dan kakiku terlalu berat tuk sekadar melangkah mundur, menarik diri untuk menjauh. Seluruhnya berada di bawah kendali seorang Felix Francois. Aku pun mulai ragu. Dibandingkan manusia, kurasa ia lebih tepat disebut sebagai dewa dengan sejuta pesona.

Lihat selengkapnya