Bersembunyi dari dunia luar dengan bergelung dalam selimut tebal atau kembali menyelami alam mimpi menjadi satu-satunya yang ingin kulakukan. Akan tetapi, semua hanya tinggal angan. Profesi yang menuntut kesiagaan membentuk diriku sebagai pribadi yang tak pernah telat dalam urusan bangun pagi. Dan aku membenci hal itu hari ini.
Berita di media tidak terhitung lagi seberapa banyaknya. Potongan video maupun foto prewedding kami memenuhi setiap laman berita. Mulai dari televisi, surat kabar, hingga media online. Semua menampilkan wajah Felix Francois dan Corin Lafebvre. Lengkap dengan karangan yang menjadikannya terdengar apik bagi sebagian orang.
Namun, tidak untukku dan barisan haters yang menyerbuku sejak kemarin. Rasa-rasanya apartemenku akan kembali diduduki oleh sekelompok orang yang memburuku. Bukan dari kalangan pewarta, tapi kaum haters yang semakin mengerikan dalam berkomentar.
"Corin, apa kau gila?" Flo berujar dengan menggebu, membuatku mengerutkan alis bingung.
Ponsel dalam genggaman kuletakkan. Tanganku beralih pada pain aux raisin yang Flo dapatkan dari restoran di bawah sana sebagai sarapan.
"Kenapa?" tanyaku sembari mengigit pastry khas Perancis ini.
Flo mendengkus. "Kau tidak mengatakan apa pun tentang keputusan menikah. Terakhir kali, kau hanya bercerita akan mengakhiri skandal dan kau bilang akan membicarakan hal ini di apartemen. Namun sekarang justru kabar prewedding kalian yang muncul. Apa-apaan ini? Apa terjadi sesuatu selama kau menginap di kantor?"
Napasku terbuang dengan berat. Aku paham kenapa Flo sekesal ini di pagi hari. Aku berjanji untuk bercerita setelah menemui Felix beberapa hari lalu. Namun sayangnya, kesibukan tak memberi waktu bagi kami untuk bertukar cerita sembari menikmati baguette yang selalu Flo beli sepulang kerja.
"Aku meminta penjelasanmu, Corin, bukan lamunanmu. Kau dan Raimond yang menjalin hubungan sejak sekolah saja malah berakhir mengenaskan, bagaimana dengan ini?" decakan Flo menyadarkanku.
"Maafkan aku karena tidak bercerita sebelumnya, Flo ... tapi, tolong hargai keputusanku. Mengertilah, ini pun sulit untukku."
"Aku akan menghargai keputusanmu jika pria itu bukan Felix. Lagipula kalau sulit, kenapa memutuskan untuk menikah? Masih banyak pilihan lain, 'kan? Ah, satu lagi, dia itu pembunuh, Corin. Pem-bu-nuh." Suara Flo penuh penekanan.
Aku memejamkan mata sembari mengatur napas senormal mungkin. Jika mau, aku bisa membaliknya dengan ujaran sarkas sekarang juga. Mengingatkan bahwa semua ini berawal dari kecerobohan Flo yang mengatakan bahwa kekasihku adalah publik figur. Seandainya tidak, pasti tidak akan ada celah bagi Felix untuk masuk. Akan tetapi, sudahlah ... aku tidak mau memperkeruh suasana.
"Dia belum tentu menjadi tersangka, Flo," jawabku meski sebenarnya juga sedikit sangsi dengan kalimatku.
"Dari mana kau tahu soal itu? Apa kau bisa menjaminnya? Bagaimana kalau ternyata dia memang pembunuhnya? Kau hanya akan hidup seorang diri dan menerima banyak kebencian setelah suamimu masuk bui. Pikirkan itu lagi, Corin. Kau tidak takut menjadi janda?"
Flo berlebihan. Aku tidak akan menjanda meski Felix berada di penjara. Kecuali jika kami bercerai.
"Kita tidak bisa memvonisnya sebagai tersangka selama polisi belum—"
"Aku tidak memvonisnya. Jika ... jika dia pembunuhnya," sela Flo penuh penekanan.
Pagiku berubah masam. Semasam taburan kismis pada pain aux raisin yang berada dalam kunyahan. Jika kalian beranggapan Flo berlebihan ... ya, dia memang berlebihan. Namun, memang seperti inilah tabiat asli Flo ketika dilanda cemas akan diriku. Otaknya terlalu jauh berpikir dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang ia sertakan.
"Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan?" selidiknya.
"Maksudmu?"
"Kalian terlibat kesepakatan apa? Bukan karena ambisimu yang ingin balas dendam pada Raimond, 'kan? Aku sudah mengenalmu bertahun-tahun. Kau tidak mungkin mengambil keputusan sebesar ini dalam waktu singkat, apalagi setelah gagal menikah."
Bingo. Tebakan Flo tepat sasaran. Sayangnya sekalipun Flo membenci perilaku Raimond dan Belle, gadis itu tidak pernah benar-benar mendukungku untuk balas dendam. Jadi aku bisa apa selain berbohong?
"Tidak ada. Kami tidak terlibat kesepakatan," balasku sembari menundukkan kepala dan pandangan yang jatuh pada cangkir putih berisi kopi.
"Kau pikir aku percaya? Sejak sekolah kalian tidak pernah akur gara-gara Felix merebut posisi pertama darimu, kekanakan."