Paper cup dengan kepul uap menemaniku menjemput malam. Aroma kopi hitam tanpa gula menguar kuat, sekuat tekadku untuk mengungkap sosok yang bersembunyi dibalik nama Seigneur. Terlebih, pertemuanku dengan informan dari kantor polisi harus gagal dua hari lalu. Felix dan Raimond memang pengacau ulung. Pertemuan yang sama sekali tak kuharapkan menghancurkan segala rencana yang telah tersusun sedemikian rupa.
Aku membuang napas dengan berat sembari menelusupkan jari di antara rambut. Sementara lembar putih dengan coretan pena bertinta merah masih menjadi pusat atensi—riwayat panggilan telepon milik Rachaele yang diretas informanku.
Ini sudah berhari-hari sejak lembar itu kuterima. Namun, masih belum ada petunjuk tentang Seigneur. Satu-satunya yang kuandalkan hanyalah wanita itu, informan yang bekerja di kantor polisi distrik 15 sekaligus seorang hacker. Soal mencari data, ia begitu militan. Mottonya adalah pantang pulang sebelum menang. Namun, entah urusan apa yang membuatnya menghilang tanpa kabar setelah mengirim pesan: Aku ada urusan. Jangan mencariku.
Ini gila. Rasanya, tangan-tangan tak kasatmata seolah menjauhkan petunjuk kematian Dusan.
Kopi hitam yang sisa setengah kutandaskan dalam sekali teguk ketika kepala tearasa makin pening akibat ketidakjelasan informasi. Tatapanku lantas beralih pada layar komputer yang menyuguhkan portal berita online Du Monde. Satu per satu berita terkait kematian Dusan kubaca ulang, mengabaikan tubuh yang sebenarnya sudah berteriak meminta hak untuk istirahat.
Semakin dipikir, semakin janggal kasus kematian Dusan. Dari sekian banyak nama yang masuk daftar panggilan terakhir Rachaele, hanya nama teratas—Seigneur—yang tidak diberitakan oleh media. Semua seolah amnesia. Seolah buta. Nama Seigneur seolah tak pernah ada.
Nalarnya bukankah orang di urutan teratas yang dimintai keterangan pertama kali? Benar-benar mencurigakan. Juga konyol. Namun sayangnya ini nyata. Yang disampaikan oleh media selama ini seolah hasil kongkalikong beberapa pihak yang berniat menutupi kasus ini dengan membodohi publik.
"Sampai kapan—" Kalimatku terputus ketika getaran ponsel di meja membuyarkan seluruh pemikiran. Aku memicingkan mata ketika pop up pesan menampilkan nama yang kunanti. Aku nyaris membalasnya ketika nyaring suara Bianca lebih dulu menyapa.
"Kau belum pulang? Naskahmu sudah selesai, 'kan?"
Note yang berada di meja buru-buru kututup, lalu kumasukkan ke dalam laci. Ponsel cepat-cepat kusimpan ke saku mantel yang tersampir di kepala kursi. Bianca tak boleh menaruh curiga sedikit pun.
"Aku sedang berkemas."
Seharusnya Bianca beranjak, sebab pertanyaannya sudah kujawab. Akan tetapi, wanita bermata hijau itu justru memangkas jarak, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Kau belum mengajukan cuti? Bukankah pernikahanmu kurang dari dua minggu lagi?" Pertanyaan Bianca serupa alarm yang menyadarkanku akan masa depan yang telah kukorbankan.
Bianca benar. Tumpukan salju di sepanjang jalan mulai mencair sedikit demi sedikit. Artinya, pernikahanku dengan Felix hanya menyisakan waktu satu minggu lebih beberapa hari.
Hanya tersisa satu minggu lebih untuk menikmati kebebasan dan hidup sebagai Corin Lafebvre sebelum predikat Nyonya Francois kusandang. Oh Tuhan, rasanya terlalu cepat setelah isiden menyakitkan empat bulan lalu. Dan bayang-bayang akan kegagalan pernikahan kembali bergelayut di pelupuk mata.
Pun dengan pemikiran negatif yang merenggut keyakinan dari waktu ke waktu. Bagaimana jika semesta tak restuiku tuk terikat dalam janji suci nan sakral seumur hidup? Bagaimana jika aku harus menanggung malu untuk kedua kalinya karena pernikahan gagal? Dan bagaimana jika seorang Felix Francois hanya menjadikanku sebagai peralihan isu? Untuk poin terakhir, aku benar-benar akan menghancurkan nama baiknya jika itu terjadi.
"Corin!" Bianca menjentikkan telunjuk dan ibu jarinya, membuatku terlepas dari belenggu lamunan.
"Ya ... aku belum mengajukannya. Besok, mungkin. Atau lusa."
"Berapa hari?"
Satu hari. Seandainya bisa, kalimat itu yang ingin kulontarkan. Pernikahanku bukan pernikahan idaman. Tak ada cinta, tak ada kasih sayang. Yang ada hanya hubungan simbiosis mutualisme; Felix dengan segala pemikiran gilanya dan skandal yang menjadi bagian hidup, sementara aku dengan ambisi untuk mendapatkan kembali tempatku.
Maka satu hari lebih dari cukup untuk cuti. Sebab dunia membutuhkanku. Mendiang Dusan membutuhkan Corin Lafebvre untuk mengungkap fakta kematiannya. Dan Du Monde membutuhkan analisis detail seorang Corin Lafebvre untuk kembali ke jalurnya; cover both side.
"Entahlah. Tidak terlalu lama sepertinya," balasku pada akhirnya.
Sekalipun kejujuran harus dijunjung tinggi, tapi dalih dibalik pernikahanku dan Felix takkan pernah kuizinkan menjadi konsumsi publik. Fakta antara kami tetap harus menjadi rahasia yang akan kusimpan rapat hingga raga menyatu dengan tanah.
"Kau pulang sendiri atau dijemput Felix?"
Aku merotasi bola mata dengan kesal. Bianca tetaplah Bianca. Redaktur desk olahraga yang lebih tepat menghuni desk hiburan. Sosoknya begitu gemar bergosip. Hubungan asmara para atlet pun pernah ia kuliti. Dan hobi barunya kini adalah mengorek informasi tentangku dan Felix.