"Aku merasa seseorang menguntitku."
"Pada akhirnya rasa penasaran itu yang akan mengantarkanmu menjemput ajal."
Potongan kalimat yang punya intonasi bertolak belakang kembali terdengar dengan samar. Memenuhi telinga, juga mengakuisis seluruh pikiran. Pun dengan adegan mengerikan yang berkelebat di pelupuk mata; bayangan hitam, genangan darah, raungan pilu, mata yang menyala dalam kegelapan, juga tubuh yang tergeletak dengan napas tersengal.
Aku kira segalanya sebatas mimpi. Nyatanya, rentetan peristiwa itu tersimpan dalam memoriku. Bagian dari masa lalu yang kini berjejalan silih berganti, menyerbu tanpa henti sejak aku kembali sadar.
Mengabaikan rasa nyeri yang menjalari sekujur tubuh, aku mengedarkan tatapan, menyisir setiap sudut yang mampu kujangkau. Single sofa berwarna nude di dekat jendela kaca, vas keramik dengan tiga tangkai tulip, pintu berwarna latte, dan tiang infus, empat benda yang tidak akan pernah kudapati berada dalam teritoriku. Itu artinya, aku tidak pulang sejak semalam. Sejak gelap menjemputku pasca paru-paru nyaris melompong tanpa oksigen.
"Berapa kali kukatakan, jauhi dia. Jangan libatkan dia dalam kehidupan kita."
"Berhenti mengaturku dan bersikap sok bijak, kau pikir siapa dirimu? Dengan atau tanpa campur tanganmu, aku tetap akan melibatkan dia. Karena masa depanku bergantung padanya."
Aku mengerutkan alis ketika suara bernada sengit menelusup dari celah pintu, memaksa diri tuk mengabaikan pening yang mendera demi mencerna setiap makna dibalik kata yang kudengar. Sembari menahan ngilu dari ujung kepala hingga ujung kaki, siku kanan kujadian tumpuan, berusaha duduk bersandar sembari menajamkan pendengaran.
"Terlambat, Felix, terlambat. Tidak ada lagi masa depan untuk kita."
"Omong kosong! Sampai kapan kita harus melarikan diri? Sampai kapan kita harus bersembunyi?"
"Selamanya."
"Berengsek! Setelah orangtuaku memberikan nyawanya untukmu, hanya ini yang bisa kau lakukan? Bersembunyi dibalik identitas palsu, tidakkah kau malu?"
Melarikan diri? Nyawa? Identitas palsu? Hei, tidak cukupkah orang-orang bermain peran dalam aksi pembunuhan Dusan? Sandiwara macam apa lagi yang mereka suguhkan? Apa yang tidak kuketahui dari semua ini? Satu teka-teki belum terpecahkan, tapi misteri baru merundungku tepat setelah kesadaran terenggut sepanjang malam.
Felix sungguh luar biasa. Satu pilihan yang ia tawarkan mengantarkanku dalam lorong gelap tak berujung. Hingga sisakan keinginan dalam diri untuk menyelam lebih jauh lagi, masuk ke dalam alur kematian Dusan yang menyimpan sejuta risiko.
"Tidak, aku tidak malu sama sekali. Sekalipun kau menganggapku pengecut, aku tidak peduli. Karena bagiku, lebih baik menjadi pengecut daripada harus mengorbakan orang-orang tak berdosa. Dia tidak tahu apa-apa, Felix. Dia berhak hidup seperti manusia lainnya. Jangan jadikan dia sasaran selanjutnya."
Satu lagi simpul rumit yang membelengguku, memerintah diri untuk mencuri dengar lebih banyak lagi. Aku tak tahu pasti siapa gerangan yang terlibat dalam obrolan bertensi tinggi dengan Felix, tapi kesimpulanku pria itu tahu segalanya.
"Ah, satu lagi ... pernikahan kalian minggu depan, mustahil untuknya pulih secepat itu. Jadi menyerahlah, lepaskan dia."
Déjà vu. Itulah yang kurasakan kini. Pemikiran negatif yang membelenggu dari waktu ke waktu seolah jadi nyata, tentang pernikahan paksa yang kemunginan gagal. Harusnya aku bahagia, sebab Tuhan masih mengizinkanku menikmati hidup sebagai Corin Lafebvre bila rencana pernikahanku dan Felix batal. Just Corin Lafebvre, gadis sebatang kara dengan segala tekad, dengan segala keangkuhan, juga segala ambisi tuk jadi jurnalis paling berpengaruh sepanjang masa, menjadi representasi Du Monde menggantikan dominasi Pierre.