Paris ditinggalkan menggigil, berkawan pendar lampu jalanan, juga deru mesin Bugatti Chiron yang melaju dengan pelan. Duduk di samping kemudi, tatapanku menyisir setiap sudut yang terjangkau mata.
Bangunan bergaya Gotik yang menjulang di bawah langit kelam menghadirkan ingatan tentang malam lalu. Mengundang ketakutan yang menyusupi setiap ruas tubuhku, hingga bulu kuduk terasa meremang saat sensasi perih di kulit kepala kembali mendera.
Meski aku berkata siap mati saat terjun ke medan liputan, nyatanya hal mengerikan yang beru pertama kali kualami menyisakan semacam trauma. Terlebih ketika mobil yang kutumpangi memasuki gang yang menjadi saksi kala nyawaku hampir melayang.
Aku reflek memejamkan mata sembari menarik napas panjang, lalu menahannya. Andai kedua tanganku yang mengepal di pangkuan tak dilingkupi genggaman Felix, mungkin aku lupa bagaimana caranya bernapas.
"Kukira gadis sepertimu tidak memiliki ketakutan sedikit pun." cibirnya "Kalau tahu begini seharusnya tak perlu membuat kekacauan dengan meminta pulang tengah malam, Nona. Dasar keras kepala."
Tak ada sedikitpun keinginan untuk menimpalinya. Sebab seluruh logika terpusat pada usapan lembut di punggung tanganku. Dalam diam aku meresapi pergerakan pelan yang menenangkan itu. Nyaman. Berbanding terbalik dengan bibirnya yang terlampau fasih merendahkan orang. Jika saja aku tak ingat tabiat Felix si model penuh skandal, aku tak ubahnya wanita di luar sana yanga akan dengan sukarela menyerahkan diri.
"Di lantai berapa kau tinggal?"
Pelan tapi pasti, aku kembali membuka mata. Mengabaikan pertanyaan Felix, tatapanku lantas mengedar ke segala arah, bersamaan dengan deru mesin Bugatti Chiron yang terhenti. Pintu hitam apartemen dengan kombinasi kaca, restoran, juga cafe di seberang jalan ... ah, rasanya cukup lama aku meninggalkan tempat ini.
Terlalu larut dalam pikiran, sosok Felix tak lagi kudapati berada di balik kemudi. Tubuh tingginya menunduk di sampingku, tepat di antara pintu mobil yang terbuka. Ketika aku bersiap keluar, jemari panjangnya bergerak lincah memerangkap lenganku, menjadikan dirinya sebagai tumpuan menggantikan satu kakiku yang cedera. Apakah ini bagian dari pencitraan juga?
Entahlah. Yang pasti, perlakuannya menjadi pengingat bagi diriku untuk bersikap waspada tentang kemungkinan batalnya pernikahan kami. Hei, jangan hujat aku sebab meragukan kebaikan si model papan atas ini. Bukankah di mana pun pria selalu sama? Berlaku manis sebelum menjadi bengis karena sesuatu yang tidak sesuai dengan rencananya. Atau asumsi itu hanya milikku saja?
"Di lantai berapa kau tinggal?" ulangnya.
"Lima."
Tengah malam kian mencekam ketika kami sama-sama bungkam. Ditinggalkan seorang diri di depan pintu apartemen dengan bantuan kruk, tatapanku terfokus pada Felix yang mengemasi barang-barangku. Eentah bagaimana caranya, ia yang baru kembali dua jam lalu—setelah obrolan sengit di depan kamar inapku pagi tadi—mendominasi seluruh pikiran, menyisakan puluhan tanya yang mendesak untuk segera disuarakan. Terutama tentang imbalan yang ia janjikan.
Aku sudah berusaha sejauh ini. Nyawa pun jadi taruhannya. Tak pantas rasanya jika aku harus gigit jari. Harus ada bayaran yang setimpal untuk semua yang kuupayakan. Bukankah begitu?
"Kau bisa membawanya?"
"Tentu, merci," balasku singkat sembari meraih paper bag yang ia angsurkan.
Tanpa menanti balasan, satu tanganku mencengkeram kruk kian erat. Sebisa mungkin aku memutar tubuh untuk menjangkau pintu apartemen meski sulit dilakukan.
"Berikan itu padaku."
Hampir dua langkah ketika suara berat milik Felix menginterupsi pergerakan dan memaksaku menatap pantulan dirinya dari kaca pintu apartemen yang sedikit berembun. Meski samar, matanya kutatap penuh tanya.
"Krukmu, berikan padaku, a—"
"Kau tahu kondisiku dan aku harus naik ke atas, Felix!"
Satu pergelangan kakiku cedera. Meski enggan, aku tetap harus menggunakan tongkat ini untuk berjalan. Dan dia, si pria menyebalkan dengan predikat model papan atas itu justru membuat lelucon tak masuk akal dengan meminta kruk yang kupakai. Bahkan lihatlah bagaimana reaksinya—mendengkus keras lantas menarik satu sudut bibirnya ke atas dengan wajah mengolok. Sialan.
"Corin Lafebvre, apa aku seburuk itu di matamu? Aku belum selesai bicara dan kau memotongnya dengan kebencian yang mendarah daging. Aku hanya ingin bilang ... lupakan!" Felix memalingkan muka sembari mengembuskan napas dengan kesal. "Tidak ada lift di apartemenmu. Kau mau menggunakan tongkat sialan itu untuk naik ke lantai lima? Baiklah, semoga kau bisa sampai dengan selamat."
Sarkas, tapi sayangnya yang Felix katakan sepenuhnya benar. Menaiki anak tangga menuju lantai lima butuh tenaga ekstra. Berjalan dengan kondisi sehat saja aku masih sering mengeluh sebab lelah kian tak tertahankan. Apalagi sekarang dengan kondisi satu kaki pincang dengan kruk yang membuat langkahku lebih kikuk.
Felix kudapati menghela napas panjang hingga kepul uap nampak samar dari mulutnya. Tatapan pria itu bersua denganku sebelum ia melangkah mundur, memperbesar jarak antara kami untuk sesegera mungkin pergi dari tempat ini. Dia mengabaikanku. Meninggalkanku. Menyisakan rasa bersalah, juga kehilangan.
Di detik inilah, aku merasa menjadi manusia paling naif. Bagaimana tidak? Pria sedingin es yang telah mendatangkan badai dalam hidupku baru saja menawarkan bantuan tanpa diminta. Bodohnya aku justru menolak mentah-mentah tanpa sudi mendengarkan kalimatnya.