Sacrifice Of Sacred

Katara Nadir
Chapter #12

Keputusan Final

Felix Francois memang terlahir untuk mencipta kerusuhan. Tidak cukup dengan mengejutkan Flo setelah mengakuisisi ruang tengah untuk menonton berita pagi, ia kembali merusuh di meja makan, mengabaikan gadis di hadapanku yang berulang kali menggeram kesal. Penyebabnya adalah croissant dan secangkir kopi.

Bagiku dan Flo, Parisian breakfast semacam ini sudah lebih dari cukup. Tidak seperti pria berkemeja hitam yang duduk di sampingku. Caranya menatap makanan benar-benar mengundang peperangan. Tak ada sedikit pun rasa menghargai dari mata abu-abunya.

“Aku tidak sarapan seperti ini,” keluhnya untuk yang kesekian kali.

“Itu urusanmu, Monsieur!” desis Flo sebelum memutuskan atensi padaku. “Kau—”

“Aku hanya sarapan daging.”

“Kau bisa mendapatkannya di restoran bawah. Pintu keluar ada di sebelah sana. Aku tidak perlu mengantarmu, bukan?” balas Flo. Tangan dan tatapannya mengarah ke pintu keluar, meminta Felix angkat kaki dari kediaman kami secara tidak langsung.

“Penghuni apartemen ini benar-benar tidak sopan.”

“Dan tamu apartemenku lebih tidak sopan lagi." Flo tak mau kalah.

Berkat Flo, pagiku menjadi lebih semarak, membuatku mengukir senyum tipis dari balik cangkir putih porselen yang kupagut. Menarik. Flo tak ubahnya perpanjangan tangan. Beberapa jam terlelap bersama kesal yang bercokol dalam dada, sahabatku membayarnya dengan lunas pagi ini—mendebat Felix hingga pria itu gelagapan. Lihatah bagaimana ekspresinya yang membuka bibir lalu menutupnya kembali tanpa menciptakan sepotong kata pun, menghela napas, hingga memejamkan mata menahan amarah.

Merci, Flo. Aku akan mentraktirmu makan lain kali.

“Jadi, jam berapa kau pulang?”

“Tengah malam, hampir dini hari,” jawabku sembari mengunyah croissant yang Flo dapatkan dari toko roti di ujung jalan.

“Kau gila?”

“Itulah yang kupikirkan tentang sahabatmu,” sela Felix. Seluruh atensinya mengarah padaku, menguliti dengan tatapan tajamnya yang nampak mendominasi sejak beberapa jam lalu. Tepatnya ketika ia merampas laptopku.

Ah, benar-benar menjengkelkan. Berkat aksinya, rasa penasaran terus menghantuiku sejak dini hari tadi. Rachaele, Dusan, dan alasan Felix berkunjung ke apartemen malam itu masih menjadi misteri besar yang belum terpecahkan, tapi tunggu dulu, apa dia tahu bukti yang kumiliki? Mungkinkah ini bagian dari siasatnya untuk mengubur kebenaran dibalik kematian Dusan? Felix, siapa kau sebenarnya? Katanya kau berteman dengan Dusan, tapi kenapa sikapmu tak tertebak seperti ini. Kenapa kau enggan terbuka sedikit pun? Sosokmu tak ubahnya teka-teki kehidupan; misterius dan penuh kejutan.

“Apa kau masih trauma—”

“Aku hanya ingin pulang,” kilahlu secepat mungkin. Sembari mengunyah potongan terakhir croissant, aku meraih kruk di samping kursi, menjadikannya tumpuan untuk menjauh dari meja makan demi menghindari Flo dan tatapan menelisiknya.

Dengan susah payah, aku bergeser mencari posisi paling pas sebelum meraih obat di meja dan secangkir air putih. Namun, segalanya hanya sebatas wacana. Sebab di waktu yang sama—bahkan sebelum tanganku menyentuh gagang cangkir porselen—tubuhku sedikit limbung. Kruk yang berada dalam cengkraman diambil alih oleh Felix.

Selanjutnya, adegan semalam kembali terulang, ketika tubuhku berada dalam gendongannya, merasakan deru napasnya yang menyapu lembut permukaan wajah. Aku yakin, wajahku pasti kembali memerah—dan Flo sudah jelas mencuri pandang ke arah kami. Meski begitu, sensasi hangat napasnya kuresapi, menemani langkah lebarnya yang membawaku menuju ruang tengah.

Dan pertahananku kembali diuji ketika ia menurunkan tubuhku secara perlahan ke sofa biru di depan televisi dengan posisi yang mengancam sistem kerja jantung. Tubuhnya yang menunduk mengikis jarak di antara kami. Sementara mata abu-abunya mengunci tatapanku, memaksaku menjelajahi dirinya lewat sepasan mata yang menatap dengan intens. Jika saja deheman Flo tak terdengar nyaring, mungkin akan ada reka ulang adegan malam reuni tempo lalu.

“Kau yakin hanya ingin pulang?” teriak Flo tanpa beranjak dari tempatnya. Sedangkan Felix, pria bertubuh jangkung dengan ekspresi yang tak terbaca itu mendekati meja makan, meraih cangkir berisi air putih lantas menyerahkannya padaku.

“Rasanya membosankan harus berada di rumah sakit dengan suasana sesepi itu. Apalagi lorong panjangnya, seperti uji nyali. Kau pernah dengar cerita hantu gentayangan di lorong rumah sakit, bukan?”

Seandainya aku terlahir sebagai gadis penakut, segalanya akan terdengar lumrah. Namun sayangnya, jawabanku adalah kebohongan untuk memulai hari. Kebosanan dan uji nyali hanya sebatas alibi, sebab aku enggan berbagi kenangan buruk yang masih menghantui.

Lihat selengkapnya