Sacrifice Of Sacred

Katara Nadir
Chapter #14

Apakah Kejujuran Benar-Benar Ada?

Warga Perancis kembali gempar kala headline di berbagai media, khususnya media daring, berubah dalam sekejap mata. Kabar penyerangan yang terjadi di negara tetangga siang tadi tak lagi menjadi hot news. Berita pelatnas untuk Tour de France dan sejumlah olimpiade musim panas pun harus rela berada di urutan ke-3. 

Pun dengan kabar Belle yang baru saja meneken kontrak dengan brand baru setelah kerjasamanya dengan salah satu rumah mode asal Perancis berakhir. Penyebabnya, hanya satu orang. Si pesaing raja skandal, Rachele Giroud yang juga mencuri atensi publik sejak kematian Dusan.

Pada akhirnya, setelah panggilan demi panggilan ia penuhi, juga drama berkepanjangan yang memecah publik menjadi dua kubu—Rachaele atau Felix yang menjadi tersangka—atlet balap sepeda berusia 26 tahun itu menyerahkan diri pada polisi. Catat itu baik-baik, menyerahkan diri. Mengakui tindak kriminal yang ia lakukan atas menghilangnya nyawa Dusan si jaksa muda.

Tak mengherankan memang. Sebab seluruh bukti yang kudapat dari Zo selalu mengarah pada Rachaele. Meski sudah tertebak, aku tetap tak bisa diam saja. Sebab pertanyaan-pertanyaan baru lahir tanpa dikomando, berjejalan di kepala dan menuntut untuk dituntaskan malam ini juga.

Dan di sinilah aku berada setelah menuruti pergolakan batin, berdesakan di antara para reporter yang memadati depan kantor polisi distrik 15. Persetan dengan jarum jam yang melangkah ke angka 10 atau pergelangan kaki yang mungkin saja akan bengkak setelah kondisinya membaik berkat istirahat beberapa hari. Persetan pula dengan getaran ponsel di saku mantel yang kukenakan. Sebab yang kuinginkan saat ini hanyalah menyaksikan Rachaele digelandang menuju tahanan di pinggir kota sembari membaca gerak-gerik tubuhnya dengan harapan menemukan petunjuk lain.

Namun sayangnya, hingga gadis itu muncul dengan kedua tangan terborgol, tak ada satu pun hal penting yang kudapatkan. Rachaele tak tunjukkan ekspresi apa pun—kecuali wajah penuh penyesalan. Juga tatapan kosong dari sepasang matanya.

Bahkan, langkah kakinya pun terlihat pasrah. Seolah seluruh bagian dalam dirinya telah menerima konsekuensi atas tindakannnya. Sungguh, sebuah pemandangan berbeda dari yang kulihat terakhir kali saat ia diperiksa polisi.

“Di mana orang-orangnya?” Aku celingukan ke segela arah ketika tak mendapati satu pun tim hukum yang Rachaele sewa. “Sekalipun dia menyerahkan diri, bukankah pengacaranya harus mendampingi? Tapi ini ….”

Untuk kesekian kalinya, aku kembali menjenjangkan leher. Melongok—mencari Raimond—di antara kerumunan yang mendesak makin maju.

Seingatku, ini bukan kali pertama pria itu menangani kasus pembunuhan. Selama kami berkencan dulu, ia pernah beberapa kali menangani kasus serupa. Meski tak pernah menang dalam perkara tuduhan pembunuhan, tapi Raimond selalu berhasil meringankan masa hukuman. Lantas, di mana pria itu malam ini? Apa Rachaele tak menggunakan jasanya lagi? Atau asumsiku tentangnya benar?

“Kau … benar Corin, bukan? Reporter Du Monde?”

Aku mengalihkan atensi pada pria berambut keriting di sampingku. Pria berkumis tipis dengan mata berwarna biru yang memanggilku dengan ragu.

Entah siapa namanya, aku tidak ingat, tapi wajahnya begitu familier. Jika tidak salah, kami pernah bersua saat aku menempati desk kota. Meskipun enggan terlibat obrolan—karena fokusku pada Rachaele jadi terpecah—aku tetap mengangguk.

“Kau kembali lagi ke desk kriminal?”

Sial. Orang luar pun tahu perihal aku yang ditendang keluar dari divisi paling prestisius. Pasti ulah Pierre dan mulut besarnya.

“Biasanya Du Monde selalu berada di barisan terdepan untuk mendapatkan berita ekslusif. Pierre pasti mengomel kalau tahu anak buahnya berdesakan di sini.”

Aku mengerutkan alis. “Setahuku dia yang bertugas hari ini. Harusnya dia yang berada di depan sana, untuk apa mempermasalahkanku.”

Sekali lagi aku mencoba positive thinking. Bisa saja dia mengirim reporter lain bukan? Du Monde media nasional, menaungi ratusan—bahkan lebih—reporter yang mengamati kasus di 56 kota besar di Perancis. Juga isu dunia yang tak kalah menarik. Kriminal tak hanya dihuni Pierre seorang. Ada Cedric yang bergabung tiga bulan lalu, Eric yang datang satu bulan setelahku, Curtis dan Martinez yang seangkatan dengan Pierre, serta kontributor yang tak kuingat namanya karena jarang ke kantor. 

Si rambut keriting kudapati menaikkan satu alisnya. Giliran ia yang dilingkupi bingung.

“Benarkah? Aku tidak melihatnya ataupun rekanmu yang lain. Satu-satunya reporter Du Monde yang kulihat di sini hanya kau.”

Bukan hal baru bila sesama reporter hapal siapa saja yang mereka temui saat liputan sekalipun tak berasal dari media yang sama. Kebiasaan berkumpul dan mengobrol saat jumpa di tempat liputan lah yang membuat memori kami membekas antara satu sama lain. Jangan lupakan pula tanda pengenal yang jadi identitas selama liputan dan pertemuan akbar setiap setahun sekali untuk memperingati hari pers. Atau seminar-seminar rutin yang diselenggarakan tiap beberapa bulan sekali.

Dan Pierre termasuk jajaran orang penting. Rekam jejaknya di dunia jurnalistik tak perlu dipertanyakan lagi. Semua desk pernah ia cicipi. Sejumlah penghargaan pernah ia menangi. Sebelum Du Monde, terhitung ada dua media yang pernah menjadi tempatnya singgah. Soal kawan, siapa yang tak mengenalnya?

Pierre yang easy going, Pierre yang punya selera humor bagus, Pierre yang pandai mencairkan suasana, yang punya dedikasi tinggi, juga Pierre yang malang-melintang di berbagai kesempatan. Bahkan, dia pernah menjadi dosen tamu untuk jurusan pers di salah satu universitas di negeri ini. Maka siapa yang tak kenal dengannya?

Lihat selengkapnya