Paris masih terlelap dalam buaian sang fajar ketika sayup-sayup suara Felix terdengar, memaksaku membuka mata, lalu menjelajahi setiap jengkal kamar hanya untuk menemukan sosoknya. Dari celah rak buku yang memisahkan ranjang dan meja kerja, Felix kudapati duduk di sofa panjang dekat jendela dengan ponsel menempel di telinga kanannya.
Aku tidak tahu—dan tak ingin tahu—apa yang dia bahas dengan lawan bicaranya di telepon. Sebab wajah seriusnya menyita seluruh atensiku.
Dahinya, alis hitam tebal, mata tajam, hidung cukup mancung, bibir mungil, dan rahang tegasnya. Tak salah jika seantero Perancis, bahkan dunia, mengelu-elukan ketampanannya. Namun, bukan anggapan itu yang sebenarnya bersarang di benakku kini. Melainkan rasa simpati.
Dia memang rivalku sejak kami menempuh pendidikan di Lycee Saint-Louis karena menggeser posisiku di segala bidang—kecuali olahraga—hingga membuatku tak lagi menjadi bintang sekolah. Dia juga narasumber paling kubenci sepanjang karierku sebagai reporter. Sebab jawaban singkatnya yang seringkali bernada dingin selalu mematikan langkahku.
Dia memang musuh terbesarku saat dengan lancangnya masuk ke dalam hidupku, mengusik ranah privasi hingga membuatku kehilangan posisi di desk kriminal. Dan dia memang orang paling picik yang menyeretku dalam hubungan mutualisme berkedok pernikahan, membuatku nekat mempertaruhkan masa depan.
Akan tetapi, dibalik segala stigma tentangnya, ada banyak rahasia yang mencengangkan. Juga kondisi yang jauh dari kata adil. Felix yang turun kasta dan Felix yang ditargetkan menjadi tersangka membuat rasa simpatiku muncul begitu saja.
Ah, sial. Kepalaku kembali berdenyut hebat ketika rangkaian peristiwa semalam berkelebat dalam ingatan. Sampai detik ini, aku masih berharap bahwa segalanya hanyalah mimpi. Namun, kehadiran Felix di kamarku sepagi ini menjawab segala keraguan, menyadarkanku bahwa sekali lagi, seorang Corin Lafebvre menunjukkan sisi lemah saat dengan sialnya air mataku mengalir tanpa mampu kucegah.
Jujur, aku kecewa. Bahkan sekalipun bukan Felix yang mereka incar, aku tetap akan murka. Karena Pierre bulan lagi sosok yang kukenal.
Masih segar dalam ingatan bagaimana ia membakar semangatku di masa lalu hanya dengan satu kalimat sederhana, ‘Apa pun yang terjadi, seorang reporter harus berkawan dengan kebenaran’. Akan tetapi, setelah hampir empat tahun berlalu, segalanya hanyalah omong kosong.
Kebenaran yang begitu diagungkan ia ubah menjadi lawan. Ia kesampingkan. Juga ia permainkan. Apa semenarik itu bisa melihat Felix hancur?
“Sudah puas menatapku, Nona?” Suara baritone milik Felix membawaku beranjak dari kenangan semalam. Aku lantas berpaling, mengedarkan tatapan secara acak saat tertangkap basah masih mengamatinya. “Jangan pernah tunjukkan ekspresi itu lagi di hadapanku. Aku tidak suka dikasihani.”
Setelah semua yang terjadi, Felix tetap sosok menyebalkan. Nada suaranya masih terdengar datar dan sedikit angkuh, seperti biasa.
Aku menghela napas panjang tanpa ada keinginan untuk menimpali. Rasanya terlalu lelah dengan semua yang kualami. Bahkan aku seolah tak mampu mencerna satu per satu insiden yang kuhadapi. Semua terasa seperti mimpi, seperti tidak benar-benar terjadi.
Dan diujung kelelahan yang tak kasatmata, aku menyibak selimut yang membungkus separuh tubuh. tujuanku hanya satu, kamar mandi. Berharap dengan berendam air hangat mampu membuaktu lebih rileks.
Namun, sebelum kaki kananku berpijak sepenuhnya di lantai, rasa nyeri menyerang dengan hebat. Rasanya mendominasi dan menjalar dari pergelangan kaki ke bagian tubuh lainnya. Hampir saja aku membentur nakas di sisi ranjang jika Felix tak menangkapku dengan sigap. Lengan kokohnya meraih pingganggu dengan posesif, menahan berat tubuhku agar mampu berdiri dengan benar.
Rasanya seperti déjà vu. Tubuh kami yang nyaris tak bersekat, mata kami yang saling menatap, juga aroma cedar wood yang kuat, mengingatkanku pada malam skandal yang menjadi awal dari kegilaan ini.
Ditengah pikiran yang meliar, ada ingatan yang menyadarkanku. Mengembalikan kewarasanku yang sempat hilang lantaran mata abu-abunya nampak begitu memikat. Yakni, alasan kedatangan Felix ke apartemen Dusan.
“Felix, boleh aku bertanya sesuatu?”
“Sejak kapan kau punya sopan santun dan meminta izin sebelum bertanya padaku?” sindirnya telak. Lengan kanan Felix yang menopang pinggangku lepas begitu saja, hingga jarak antara kami sedikit lebar.
“Tentang kau dan … umm, Dusan ….” Kalimatku tak tuntas, sebab ekspresi yang Felix tunjukkan lebih menarik untuk ditelisik.
Dari jarak sedekat ini, bisa kulihat dengan jelas rahangnya yang mengeras. Sepasang matanya pun menajam dalam hitungan detik.
“Maksudku, malam itu kenapa kau bisa ada di apartemennya? Apa kalian saling mengenal sebelumnya? Atau kalian terlibat cinta segitiga?” cicitku di penghujung kalimat. Meskipun aku tahu hubungan antara mereka, tapi aku ingin mendengar langsung dari mulutnya. Siapa tahu ada informasi tambahan yang bisa kudapatkan.