Felix Francois si raja skandal kembali mencuri atensi. Namun kali ini tak sendiri. Sebab namaku turut mewarnai berbagai media di Perancis. Gambaran diriku dalam balutan gaun berwarna putih berlatar Pont Alexander III memenuhi halaman utama surat kabar Du Monde. Pun dengan Felix yang nampak gagah dalam balutan jas berwarna gelap. Ya, gagah, aku mengakui itu. Tidak hanya sekarang, tapi sejak malam itu. Ketika momen kami yang tengah bersandiwara dalam drama romantis karangannya diabadikan dalam jepretan kamera.
Meninggalkan potongan foto prewedding yang memakan dua kolom sekaligus, atensiku tertuju pada ulasan berita yang disuguhkan. Rangkaian aksara yang mereka pilih terlampau manis—bahkan aku nyaris tak bisa membedakan mana novel romance dan mana surat kabar—hingga membuatku mendengkus kasar.
Oh ayolah, ide siapa yang mengulas hubungan kami dalam bentuk feature semacam ini? Apa mereka sedang mencoba menggandakan keuntungan dengan menjual kehidupan pribadi karyawannya? Benar-benar konyol.
Muak denga pemberitaan yang secara tidak langsung jadi alat pencitraan bagi Felix, lembar pertama surat kabar aku sibak dengan kasar. Mataku lantas bergerak acak, memindai satu per satu headline yang tercetak tebal. Tujuanku hanya satu, menemukan kabar terbaru tentang Rachaele.
Akan tetapi, hingga halaman tengah terlewati, tak satu pun berita kriminal yang mengulas tentangnya. Artinya, tebakanku dan Zo dua hari lalu benar, bahwa persidangan Rachaele masih belum ditentukan. Beruntung. Setidaknya ada peluang bagiku untuk datang jika persidangan digelar minggu depan.
Setelah tak ada lagi yang menarik, surat kabar kubiarkan terlipat di pangkuan. Tatapanku beralih ke sisi kanan. Lewat kaca mobil yang berwarna gelap, jalanan padat Kota Paris di kala sore jadi pusat atensiku. Deretan mobil yang merayap melahirkan kerinduan dalam benakku setelah satu minggu mendekam di apartemen. Rindu pada jadwal harian yang padat. Rindu pada jalanan macet di dekat Arc de Triomphe. Juga rindu dengan deadline yang memburu.
Dan dibalik kerinduan yang mengungkung kian erat, ada satu fakta yang membuatku menghela napas panjang. Yakni waktu yang berlalu dengan begitu cepatnya. Siklus kehidupan yang enggan berhenti barang sejenak mengantarkanku pada titik baru: kehidupan yang lebih kompleks.
Sebab sebentar lagi hidup seorang Corin Lafebvre tak lagi menjadi milikku seorang. Meski dibangun tanpa landasan cinta, aku harus terbiasa berbagi oksigen di bawah atap yang sama dengan pria asing.
Tunggu dulu, jangan hujat aku karena menganggapnya sebagai orang asing. Aku tak keliru. Felix memang asing bagiku. Yang kutahu tentangnya hanya sebatas nama, profesi, tabiat buruknya saat diwawancara, serta rentetan skandal yang menjerat pria itu.
Selebihnya tak ada sedikitpun informasi yang kukantongi. Jejaknya misterius. Bahkan wanita yang duduk di sampingku, yang notabene tangan kanannya pun enggan berbagi cerita. Orang-orang terdekatnya kompak membuatku gugup menjelang momen gpaling penting dalam hidupku. Menyebalkan.
“Madame, kuperhatikan sejak tadi, kau terlihat kurang nyaman. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Debora menyentuh pundakku dengan lembut.
“Aku baik-baik saja, hanya sedikit gugup.”
Debora kembali tersenyum tipis. Ponsel yang sejak tadi jadi titik fokusnya kini beralih ke atas pangkuan. Sepasang matanya mengunci pergerakan mataku, sementara tangannya meraih jemariku yang sejak tadi meremas gaun, menggenggamnya tak terlalu erat untuk salurkan kehangatan.
“Ingin mengurangi kegugupan?”
Aku mengerut bingung, tak paham dengan maksud Debora. Berbeda denganku yang blank sesaat, Debora justru terkikik geli. Dengan senyum merekah yang baru pertama kali kulihat, wanita itu nampak lebih ramah dibanding pertama kali jumpa.
“Kau ingin berbagi cerita? Atau bertanya tentang Felix mungkin. Kurasa kalian belum mengenal terlalu dekat.”
Kalimat terakhir Debora membuat napasku tercekat. Di detik yang sama, aku menyadari kebodohanku. Selama ini aku beranggapan bahwa tak seorang pun tahu alasan pernikahanku dan pria itu. Terlalu fokus pada ambisi dan upaya mengungkap kebenaran di balik kematian Dusan membuatku lupa bahwa orang-orang kepercayaan Felix seperti Debora dan Stannes pasti tahu segalanya.
“Apa kau tahu tentang alasan … ah, lupakan.” Aku mengibaskan tangan di depan wajah. “Kau bilang aku bisa bertanya tentang Felix, bukan?”
Debora mengangguk. Senyumnya masih belum luntur meski tak semerekah tadi.
“Apa pun?”
“Tidak, hanya sebatas yang kutahu dan yang boleh kubagi.”
Aku berdecak kseal. Sisi menyebalkan dari wanita yang nampak anggun dalam balutan blazer hitam ini masih tersisa.
“Kalau begitu, bisakah kau ceritakan tentang masa kecilnya?”
Jujur saja, aku masih penasaran dengan kelanjutan kisah masa kecil Felix. Aku penasaran bagaimana bisa ia berada di titik sekarang. Juga penasaran akan keberadaan ibu dan saudaranya.
“Bukankah kita sudah pernah membahasnya?”
“Memang, tapi hanya sampai bagian Felix dan keluarganya yang turun kasta. Kau berutang banyak penjelasan dan aku penasaran bagaimana dia bisa sampai ke Paris. Apa ada hubungannya dengan orangtua Dusan?”
Debora menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Baiklah, sepertinya Felix sudah membuka kartunya, jadi mari kita lanjutkan …. Kau benar, orangtua Dusan lah yang menyelamatkan Felix setelah kepindahan yang kesekian puluh kalinya. Tak banyak yang tahu bahwa hubungan mereka sudah seperti keluarga.