Berdiri di atas reruntuhan kuil pagan, Katedral Notre Dame punya sejarah panjang yang tak terlupakan. Sempat mengalami kerusakan dan kemunduran selama berabad-abad, ikon yang terletak di jantung Kota Paris ini kembali mendapatkan perhatian setelah Napoleon Bonaparte memilihnya sebagai lokasi penobatan pada 1804.
Popularitasnya kian melejit lewat The Hunchback of Notre Dame karya Victor Hugo pada 1831 yang menginspirasi restorasi besar-besaran oleh Eugene-Emmanuel Viollet-le-Duc di pertengahan abad ke-19. Sejak saat itu, bangunan yang dianggap sebagai arsitektur Gotik terbaik pada abad pertengahan ini mulai dikenal dunia.
Dan sampai detik ini, Katedral Notre Dame tak pernah sepi pengunjung. Baik untuk menikmati keindahan fasadnya, interiornya, maupun melangsungkan pernikahan seperti yang kulakukan saat ini.
Berjalan beriringan dengan Lyle, aku masih mencoba memahami apa yang sedang kualami. Sebab ekspektasiku tak sejalan dengan realitas. Sejak jauh-jauh hari, pernikahan alakadarnya lah yang terlintas di benakku. Sebuah proses yang tak ubahnya pelengkap dari panggung sandiwara besutan Felix Francois. Pengalaman mengajarkanku untuk tak menaruh harapan besar. Sebab kisah cinta yang kuelu-elukan saja berakhir mencekam. Apalagi yang sebatas kerjasama. Tentu tak akan ada yang spesial, bukan?
Ya, harusnya begitu. Tak ada yang spesial. Namun faktanya, ekspektasiku meleset. Alih-alih sebatas formalitas, pernikahan yang kujalani lebih pantas disebut sebagai prosesi sakral yang mungkin akan membekas dalam ingatan seumur hidup.
Tak ada awak media di dalam katedral. Tak ada kalangan selebriti. Dan tak ada satu pun tamu undangan yang melakukan live report dengan harapan akunnya menjadi viral. Semuanya takzim. Larut dalam iringan yang membuat jantungku bertalu. Pada paras-paras asing yang kutatap sekilas, ada senyum bahagia setulus hati. Seluruh atensi mereka jatuhkan padaku. Bahkan, atap setinggi 115 kaki dan pilar-pilar berhias lampu gantung pun seolah tunduk merestui langkahku.
Pada detik inilah aku sadar, bahwa semua yang kuharapkan ada dalam pernikahanku dulu, sedang Felix wujudkan.
Oh ayolah, jangan membuatku goyah dan mendamba harapan semu, Felix. Hubungan kita tak boleh lebih dari kerja sama.
Sempat mengeluh tanpa suara, kesadaranku kembali saat genggaman Lyle sedikit mengerat. Dari sudut mataku, Lyle nampak menarik napas panjang saat langkah kami sampai di tengah-tengah katedral. Bukan reaksi berarti sebenarnya, tapi di mataku, Lyle justru terlihat seperti seorang ayah yang gugup sekaligus enggan melepas buah hatinya pada sang calon suami. Aku jadi penasaran, seandainya anak perempuannya tak memilih melayani Tuhan, apakah Lyle akan bereaksi serupa di hari pernikahannya?
Mengabaikan Lyle dan segala reaksinya—yang sedikit berlebihan mengingat kami tak ada hubungan darah—Felix yang berdiri di altar mencuri atensiku. Berlatarbelakang patung Louis XIII dan Louis XIV, pria itu nampak luar biasa dalam balutan jas berwarna putih.
Pesonanya lima kali lipat lebih mematikan daripada malam skandal waktu itu. Kalau boleh jujur, tananan hair up-nya membuat pria itu terlihat lebih seksi. Sial. Aku kembali mengakui keseksiannya.
Dari segala pesona yang sedang ia pamerkan, tatapan matanya adalah senjata paling ampuh untuk melumpuhkan sistem sarafku. Mata abu-abunya yang terbiasa memancarkan dominasi dan kelicikan, kini nampak lebih teduh, lebih hangat, juga lebih tulus. Seandainya aku tak ingat motif dibalik pernikahan kami, mungkin aku akan mendeklarasikan—dengan jumawa—ke seluruh dunia bahwa Corin Lafebvre adalah wanita paling beruntung dalam sejarah manusia.
“Corin,” lirih suara Lyle menyentakku. Usapan ibu jarinya di punggung tangan menayadarkanku dari pikiran penuh pemujaan untuk Felix.
Tatapanku masih beradu dengan mata tua milik Lyle ketika pria setengah baya itu mengulas senyum hangat. Lewat tatapannya, Lyle seolah bertanya perihal apa yang sedang kulakukan.
Dari celah anak rambut yang terurai, mataku bergerak penuh kebingungan. Melirik ke kanan dan kiri tuk memahami situasi saat ini. Aku mendadak naif. Dan kurasa, deretan tamu undangan pun tengah menatapku penuh tanya. Sementara Aimee dan Flo yang berdiri di samping seorang suster di dekat altar komat-kamit tanpa suara.
Dari gerakan bibir mereka, aku berani bertaruh, bahwa keduanya tengah mengumpat dan menghujat kebodohanku. Ya, sebuah kebodohan sebab beberapa detik berlalu aku hanya mematung. Enggan menerima uluran tangan dari sosok yang mengacaukan perintah di seluruh sistem sarafku.
Aku berdeham pelan sembari mengeratkan genggaman pada buket baby breath. Di detik berikutnya—ketika tangan kiriku berpindah haluan—ada rasa dingin yang menyelubungi. Rasanya benar-benar kontras dengan genggaman Lyle yang begitu hangat. Apa seorang Felix Francois yang terbiasa disorot kamera dan memamerkan pesonanya di runway juga merasakan kegugupan seruap denganku?
Mengenyahkan segala kemungkinan yang melintas tanpa permisi, pikiranku kembali fokus pada prosesi hari ini. Kata demi kata dari janji pernikahan yang meluncur begitu fasihnya dari bibir mungil Felix membuatku terpana untuk kesekian kalinya. Bahkan, tanpa diperintah, setiap kalimatnya kuresapi, kamaknai, sekaligus kuamini. Sebab dibalik suara baritone-nya yang terdengar tulus, ada petuah bijak Debora yang menghantuiku.
Serupa perisai yang melindungi diri di medan perang, suara Debora terus terngiang di sisi luar pemikiranku. Intensitasnya kian bertambah setiap kali logika ingin menyangkal perlakuan Felix. Rasanya membuatku nyaris gila jika pertarungan batik terus kulanjutkan. Namun, mengalah pada logika dan mengizinkan hati tuk mengambil alih kendali pun bukan keputusan terbaik.
Karena kini, di bawah tatapan teduh yang Felix layangkan, aku mengikuti naluri untuk suarakan jani pernikahan tanpa ada kendala sedikit pun. Lewat sepasang mata abu-abunya pula, aku mencoba menyelami sisi lain dari dirinya, mencari makna sekaligus keyakinan sebelum turuti petuah Debora; mengenali Felix dengan hati bukan prasangka ataupun logika.
Di tengah gundah yang nyaris terkikis, pelan tapi pasti, bibir kami kembali menyatu. Entah sejak detik ke berapa, yang aku tahu, Felix menawarkan sensasi berbeda.
Jika ciuman pertama kami—yang menjadi awal dari setiap kerumitan hidupku—didominasi dengan ambisi yang memabukkan, maka kali ini berbeda. Setiap pergerakannya terasa lebih nyata. Lebih dalam, juga lebih berhati-hati. Cecapannya ibarat candu, begitu manis dan layak didamba. Dan satu hal yang dapat kurasakan dengan pasti, ada pernyataan kepemilikan di setiap lumatannya yang meruntuhkan pertahananku hari ini.
****
Kata orang, awal pernikahan ibarat mencecap manisnya madu dunia. Nyatanya, istilah itu tak berlaku bagiku. Sempat terbuai dengan kepiawaian Felix dalam hal berciuman, aku kembali mendapati hidupku seperti sedia kala.