“Jawabanku tetap sama, Zo, tidak. Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu selama ini. aku juga terlalu sering bergantung padamu. Jadi kumohon, biarkan aku menyelesaikannya sendiri.”
“Kau yakin? Risikonya lebih besar dari yang terakhir kali, Corin. Kau tahu itu, bukan?”
“Ya.”
“Dan kau tetap ingin menyelesaikannya sendiri? Ayolah, jangan membuatku khawatir. Nyawamu bisa saja jadi taruhannya kalau nama-nama yang terlibat dengan Rachaele terungkap. Ya, walaupun aku tidak tahu apakah orang itu telibat secara langsung dengan kasus kematian Dusan atau tidak. Tapi intinya, dia tahu nomormu … maksudku begini, kemungkinannya dia bukan orang asing.
“Dia tahu kau menjalin hubungan dengan Raimond saat itu, dia tahu nomormu, dia tahu aktivitas Raimond, dan dia tahu bahwa kalian akan menikah hari itu. Tidakkah rasanya seperti dimata-matai?”
Tiga hari berlalu sejak pertemuan dengan Zo, dan aku masih berselimut gundah. Opini yang Zo lontarkan tidak salah, mengingat rencana pernikahanku kala itu cukup tertutup. Hanya orang-orang terdekat yang menerima undangan. Posisiku kala itu pun tidak seperti sekarang yang menerima atensi dari seluruh dunia.
Aku hanya Corin Lafebvre. Seorang reporter media cetak dengan reputasi yang tak sebanding public figure. Pengikut sosial mediaku saja hanya seperempat dari pengikut Felix. Dan aku tak pernah mengumbar kehidupan pribadi. Seharusnya tak ada celah bagi orang asing untuk mengetahuiku sedetail itu, ‘kan?
Aku menghela napas panjang. Meringkuk di sofa dekat pintu balkon, tanganku bertopang dagu dengan atensi yang tercurah sepenuhnya pada sosoknya yang baru terlelap satu jam lalu—saat jarum jam mengarah pada angka satu.
Ditemani cahaya temaram, setiap jengkal dirinya tak luput dari pengamatanku. Rambut dan alisnya yang sehitam arang, kulit yang seputih susu tapi pucat, hidung lancip, bibir yang nyaris memporak-porandakan pertahanku, juga dada yang naik turun seirama dengan deru napas teraturnya.
Dalam keadaan terlelap seperti ini, ia nampak begitu damai. Serupa bayi yang terbebas dari dosa, kelicikan tak sedikit pun tertinggal di parasnya. Kalau boleh jujur, aku nyaris merutuki petuah Debora. Melewati malam bersamanya dan menghabiskan hari untuk menunggunya pulang menghadirkan keinginan tersendiri untuk mengenalnya secara lebih dekat.
Terkadang ada keinginan untuk bertanya, apakah harinya lancar? Apakah dia baik-baik saja? Namun, analisis dangkal dari Zo—yang sayangnya tak kutemukan alasan kuat untuk menyangkalnya—membuatku menaruh curiga.
Tak hanya pada Felix, sosok-sosok familier seperti Flo, Amiee, Lyle, hingga Pierre pun turut kucurigai. Dihadapkan pada situasi semacam ini rasanya seperti berada di ujung jurang. Di satu sisi aku ingin melangkah lebih jauh untuk menggali segala hal yang berkaitan dengan Dusan dan Rachaele, tapi aku takut tersuruk. Sedangkan di sisi lain, aku tak ingin melangkah mundur. Seandainya Felix tak mengajukan kerja sama pun aku tetap tak ingin menyerah. Kepalang tanggung.
Lagipula, Dusan adalah satu dari sekian jaksa yang masih berpegang teguh pada kebenaran. Kepergiannya jadi pukulan besar bagi kantor kejaksaan Paris. Tak pantas rasanya jika kasus kematian Dusan dibiarkan begitu saja. Andai kata tak ada media yang sudi mengungkap kebenarannya, aku tetap ingin menggalinya. Setidaknya ini menjadi bentuk penghormatan terakhir untuk Dusan.
Diujung kegundahan yang enggan sirna, napasku tercekat mendapati Felix terjaga. Aku tertangkap basah tengah mengaguminya. Meski begitu, tidak ada sedikit pun keinginan tuk berpaling darinya. Mata abu-abunya yang mirip dengan black hole melumpuhkan sistem sarafku.
Dalam diam, tatapan kami saling beradu, membuatku menghela napas dengan berat, mengirimkan sinyal bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Seandainya bisa, aku pun ingin berkata bahwa aku butuh teman untuk mengurai simpul rumit di kepala.
“Sedang apa kau di situ?” tanyanya sembari besandar di kepala ranjang. Tatapannya masih enggan beranjak dariku.
Mengagumimu. Harusnya aku menjawab seperti itu. Namun, tak lucu rasanya jika aku ditertawakan karena jawaban yang begitu konyol. Jadi, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah berdalih.
“Huh?” dengkusku bingung. Kepalaku menoleh ke kanan dan kiri secara bergantian, sementara tangan kiriku bergerak mengusap tengkuk. “Entahlah.”
Felix kudapati menyeringai. Tangannya lantas terulur meraih ponsel di nakas samping ranjang. Matanya yang terlihat masih mengantuk sedikit menyipit saat menatap layar ponsel.
“Masih terlalu pagi untuk memikirkan urusan dunia.”
Felix benar. Masih terlalu pagi untuk memikirkan urusan dunia yang berpotensi mengancam nyawaku, tapi sayangnya semua teka-teki itu merasuk ke alam bawah sadarku. Menjejali setiap jengkal tubuh dan mengalir dalam aliran darah. Aku tak bisa tidur. Bahkan memejamkan mata dengan tenang barang sejenak waktu pun rasanya amatlah sulit. Yang kuinginkan hanya mengungkap segalanya secepat yang kumampu.
“Felix,” panggilku. Ia yang nyaris rebah menggunakan sikunya sebagai tumpuan. “Kapan kau akan menepati janjimu?”
Pria berambut hitam itu mendengkus dengan raut kesal yang terpeta di wajahnya—tentu saja, waktu istirahatnya yang tak seberapa kurenggut demi mengusir kegundahan. Katakanlah aku tidak tahu diri dan terlalu egois, tapi rasa dahagaku akan kasus Dusan kian menjadi-jadi.
“Kalau sudah waktunya.”
Felix Francois benar-benar licik. Katanya akan membantuku kembali ke desk kriminal setelah kami menikah. Nyatanya, aku masih harus berkawan dengan jawaban ambigu dan teka-teki baru yang ia buat.