Jika ditanya, mengapa menggeluti profesi jurnalis, maka jawabanku hanya satu: ingin membuka mata dunia lewat informasi yang kutulis. Sebab media massa tak hanya berperan sebagai penyampai berita, tapi juga agen perubahan.
Mungkin aku terkesan kolot. Disaat netralitas bisa saja goyah karena kepentingan pribadi, aku justru mengedepankannya. Disaat banyak orang menukar kebenaran dengan kenyamanan hidup, aku justru mengabdi untuknya, membahayakan nyawa demi mengungkap kebenaran yang mungkin saja tak berpengaruh pada tatanan kehidupan masyarakat.
Seperti halnya kini, mengabaikan peringatan yang Pierre layangkan kemarin, aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke tahanan di pinggir kota. Dan di sinilah aku, duduk berhadapan dengan Rachaele yang sedari tadi menunduk.
Rasanya miris menatapnya berseragam tahanan. Paras cantiknya yang dulu berhias senyum lebar, kini nampak sayu. Rambutnya yang digulung dengan asal nampak tak terawat. Pun dengan jemarinya yang saling memilin, tak lagi secantik dulu.
Kondisi Rachaele saat ini mengingatkanku pada pesan yang Zo retas. Aku kian ragu, benarkah Rachaele yang membunuhnya? Atau ia terpaksa mengaku lantaran rasa bersalahnya pada Dusan?
Aku menghela napas panjang sembari melirik arloji di pergelangan tangan. Nyaris dua menit kami berselimut sepi. Aku tak tahu harus memulai obrolan dari mana. Jujur, ada sedikit rasa iba menyaksikan Rachaele. Namun, terlalu gengsi untuk menanyakan kabarnya sebab kami hanya orang asing. Situasinya berbeda dengan liputan.
“Bisakah aku mempercayaimu?” Racahele membuka obrolan. Wajahnya mendongak, menatapku dengan pandangan kosong.
“Maksudmu?”
Rachaele kudapati menghela napas panjang. Tubuhnya beringsut mendekati meja yang memisahkan kami. Dengan kedua siku yang bertumpu di meja, kepalanya condong ke arahku.
“Bukankah kalian ingin tahu tentang kematian Dusan?” tanyanya sembari menatap id card yang mengalung di leherku.
“Hanya aku. Kasus Dusan diliput wartawan lain dan dia belum tentu tertarik untuk mengetahuinya secara detail.”
Rachaele mendengkus. “Bukan kau dan Du Monde, tapi kau dan Felix. Kalian ingin tahu tentang kematian Dusan, bukan?”
“Bagaimana kau tahu?”
Bukannya menjawab, Rachaele justru menundukkan kepala. Kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk senyum tipis dengan makna yang tak terdefinisikan—entah miris, menyesal, atau apa, aku tidak bisa menebaknya.
“Jadi, bisakah aku mempercayai—”
“Tentu,” sahutku cepat.
“Off the record.”
Aku melebarkan mata dengan bibir terbuka tanpa suara. Jujur, aku kecewa. Pengakuan Rachaele bisa dijadikan bukti untuk Felix, sekaligus bahan untuk menulis berita. Meski tak meliput kasus Dusan, bukan berarti jalanku tertutup. Ada banyak celah untuk mengungkap kebusukan. Salah satunya dengan menulis feature tentang Dusan.
Akan tetapi, Rachaele justru menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan agar pengakuannya tak dijadikan sumber berita. Mau tidak mau, aku harus mengalah daripada pulang dengan tangan kosong.
“Baiklah.”
Rachaele membuang napas dengan lega. Pundaknya terlihat lebih santai. Tubuhnya pun kembali bersandar ke kursi. Hanya ekspresinya saja yang tak berubah sedikit pun, datar dengan tatapan kosong.
Setelah berdeham dua kali, ia berkata, “Sebelumnya, tolong sampaikan maafku pada Felix. Karena aku, dia harus kehilangan sahabatnya dan hampir menjadi tersangka,” tuturnya penuh rasa sesal, “Selebihnya, aku tidak tahu harus memulainya dari mana, tapi aku yakin, ada banyak pertanyaan yang berjejalan di pikiranmu. Katakan. Aku akan menjawabnya.”
Aku mengernyit bingung. Sikap Rachaele membuatku sangsi. Sempat meragukan Rachaele sebagai pelaku sebenarnya, aku justru disuguhi pemandangan yang cukup mengerikan. Dia yang bersikap tenang terlihat seperti pembunuh berdarah dingin.
Cukup lama aku mengamatinya dalam diam, mencoba mencari kejanggalan di wajah Rachaele sembari menyusun tanya tuk melanjutkan obrolan. Namun, Rachaele terlalu ulung dalam memainkan ekspresi. Beberapa detik berlalu, aku tak mendapati perubahan berarti dari parasnya. Bahkan, satu kerutan saja tak ada yang berubah.
“Waktu kunjunganmu bisa sia-sia, Corin,” tegurnya menyentakku dari lamunan.
Aku membuang napas dengan berat. Atensiku lantas beralih ke buku catatan yang tertutup di atas meja.
“Sebenarnya aku sama sepertimu, tak tahu harus memulainya dari mana, karena ada banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan. Rasanya waktu kunjungan hari ini pun tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaanku. Tapi, jika tidak keberatan, bisakah kau ceritakan tentang pertengkaran kalian? Kudengar malam itu kalian merayakan hari jadi?”
Untuk pertama kalinya—sejak aku berhadapan dengan Rachaele—ada gurat kesedihan dibalik senyumnya yang tipis. Ia lantas menarik napas panjang-panjang sembari meremas telapak tangan.
“Malam itu aku membicarakan kasus ayahku yang terancam mendapatkan hukuman berat karena lalai dalam mengemban jabatan. Dan … yah, seperti yang kau tebak, aku mencoba bernegosiasi dengan Dusan. Tapi kita sama-sama tahu, bahwa Dusan tidak mudah diajak kompromi dengan imbalan apa pun. Berulang kali aku mendesaknya, tapi dia tetap meyakinkanku soal pentingnya menegakkan hukum.”
Sampai disini aku bisa menangkap kegelisahan seorang anak yang takut ayahnya mendekam dalam bui. Seandainya di posisi serupa, mungkin aku akan melakukan hal yang sama dengan Rachaele—mencoba segala macam cara tuk selamatkan ayahku. Sebab seburuk apa pun tabiatnya, seorang ayah tetap cinta pertama bagi putrinya.
“Naifnya, aku justru membuat keputusan keliru dengan menemui orang yang salah sebelum datang ke apartemen Dusan."