Sacrifice Of Sacred

Katara Nadir
Chapter #20

Fakta Yang Terkubur

Untuk kesekian kalinya, semesta mempermainkanku, menggerakkan tangan-tangan tak kasatmata untuk menjegal langkahku. Polanya selalu sama. Satu langkah aku mendekat pada fakta, maka satu langkah pula aku dipukul mundur.

Masih segar dalam ingatan bagaimana aku terlempar jauh ke belakang saat menaruh curiga di awal kematian Dusan. Aksesku ditutup. Posisiku dimutasi tanpa kompromi. Saat penyelidikan kulakukan secara ilegal dengan meretas informasi, aku kembali dipaksa mundur lewat penyerangan yang nyaris merenggut nyawaku. Dan kini, ketika benang merahnya berhasil kutemukan, justru kabar tak masuk akal yang berembus, Rachaele bunuh diri.

Ini gila. Benar-benar gila. Sebanyak apa pun media memberitakannya, aku tetap tak percaya. Bahkan tulisan Pierre yang baru saja diunggah Du Monde pun tak mampu meyakinkanku. Mustahil bagi Rachaele mengakhiri hidupnya sendiri.

Baik, katakanlah aku sok tahu, tapi kenyataannya memang begitu. Sekalipun baru pertama kali aku bercakap dengannya secara personal, tapi gerak-gerik dan caranya berpikir menguatkan opiniku.

Logikanya, jika ia benar-benar ingin mengakhiri hidup, kenapa tidak dilakukan jauh-jauh hari? Karier yang ia bangun sejak belia hancur dalam sekejap mata saat namanya terseret dalam kasus kematian Dusan. Sosoknya tak lagi dielu-elukan sebagai atlet nomor satu di cabang olahraga balap sepeda. Penggemarnya berpaling—meski tak semua—meninggalkan jejak komentar yang tak beradab. Bukankah semua itu cukup untuk dijadikan alasan jika ingin mengakhiri hidup?

Akan tetapi, ia justru mengambil opsi lain. Alasan terbesarnya rela menjebloskan diri ke penjara adalah sang ayah. Katanya, ia ingin menikmati waktu bersama sang ayah dalam status serupa, tahanan, selain untuk menebus rasa bersalahnya pada Dusan.

Terdengar sedikit aneh memang. Namun, setiap perbuatan harus dipertanggungjawabkan, bukan? Terlepas dari status aslinya yang kurasa bukanlah pembunuh Dusan, Rachaele tetap bersalah karena aksi penusukan.

“Dia tidak mungkin bunuh diri,” lirihku untuk yang kesekian kalinya, menyangkal kabar yang telah tersebar ke seluruh penjuru negeri.

“Apanya yang tidak mungkin? Kau membaca—”

“Aku berani bertaruh, Rachaele tidak bunuh diri!” Mata tajam Stannes kutatap dengan penuh ketegasan.

“Kau—”

“Pulanglah, Stannes!” titah Felix setelah beberapa lama hanya bungkam dan bersandar pada pintu kaca menuju balkon di ruang tengah. Dari matanya yang terlihat menggelap, rahang yang mengeras, juga kedua tangan menyilang di depan dada menandakan bahwa ia tak ingin dibantah.

Stannes kudapati menghela napas panjang sembari menyimpan ponsel ke saku mantel. Tanpa melontarkan sepatah kata, pria itu beranjak dari sofa. Langkahnya lebar meninggalkan kami yang masih membisu. Setidaknya hingga pintu aparetmen kembali tertutup.

Sebab setelahnya, Felix menjeratku dengan tanya beruntun. Kurasa keahliannya melontarkan tanya kian meningkat setelah berulang kali menjalani pemeriksaan polisi.

“Kenapa kau begitu yakin kalau Rachaele tidak bunuh diri? Kau mengetahui sesuatu?”

Alih-alih menjawab, aku justru menatap sepasang matanya. Dan ini menajadi keputusan yang kusesali detik berikutnya, karena aku terpana.

Rasanya sudah lama aku tak mendapati tatapan mengitimidasi dari Felix. Jika aku tidak salah, terakhir kali ia menunjukkan sorot mata semacam itu saat insiden kecelakaanku di musim dingin lalu. Ah, sial, aku jadi ingin memaki jika mengingat malam itu.

“Corin!”

Aku menarik napas panjang sembari mengalihkan fokus pada layar ponsel yang masih menyuguhkan laman Du Monde. Satu per satu headline yang mengulas kematian Rachaele kulewatkan begitu saja. Sementara batinku terus merapal, meyakinkan diri bahwa inilah saat paling tepat untuk menceritakan semuanya pada Felix.

“Sebenarnya, aku bertemu dengan Rachaele sore tadi.”

“Kau mengunjunginya? Untuk apa?” Felix mulai menaruh minat atas jawabanku. Terbukti dengan ia yang berpindah ke sampingku.

“Hanya ingin.”

“Jangan bertindak ceroboh, Madame. Nasibmu bisa sama sepertiku, dituduh sebagai pembunuh hanya karena berkunjung. Dan kurasa, kalian tak sedekat itu untuk saling bertukar kabar, ‘kan?”

“Aku bisa belajar darimu jika hal itu sampai terjadi, Monsieur. Bukankah kau ahli dalam membersihkan nama dari tuduhan?” olokku, “Dan, ya, aku memang tidak sedekat itu dengan Rachaele. Lalu, bagaiman dengan hubungan kalian? Apa kalian sedekat itu sampai-sampai dia memintaku menyampaikan kata maafnya untukmu? Sejak kapan kalian saling kenal?”

“Cemburu?”

Singkat, padat, dan mematikan. Begitulah kebiasaannya yang tak akan pernah bisa hilang sampai kapan pun.

Aku merotasi bola mata dengan kesal. Bukan pertanyaan penuh penghakiman yang ingin kudengar saat ini. Melainkan kejujuran. Entah atas dasar apa aku menginginkan ia berterus terang. Yang aku tahu, ada resah, juga ketakutan saat Felix masih enggan membuka suara. Aku takut mereka memiliki hubungan lebih dari teman.

Beberapa detik berlalu tanpa suara, aku meraih ponsel di meja. Kakiku menghentak kuat, siap beranjak menuju kamar. Namun sayangnya pergerakan Felix lebih cepat. Pergelangan tangnaku ia sambar hingga tubuhku limbung. Punggungku membentur sandaran sofa dengan cukup keras. Seandainya tak ada jarak yang memisahkan kami, mungkin aku akan jatuh ke pangkuannya.

“Kami sudah cukup lama berteman, bahkan jauh sebelum Rachaele menjalin hubungan dengan Dusan,” jelasnya tanpa melepaskan genggaman.

“Tidak ada pertemanan yang murni antara pria dan wanita.”

Lihat selengkapnya