Ketika Felix melontarkan ide untuk menyusuri Seine, aku menyetujuinya tanpa pikir panjang, mengekorinya dengan mulut bungkam saat ia terlibat percakapan dengan petugas dari salah satu operator kapal pesiar. Bahkan, ketika kapal berdinding kaca dengan dua dek ini berlayar pelan mengantarkan kami dalam private cruise, aku masih membisu.
Bukan karena teka-teki kematian Dusan dan Rachaele mencipta simpul makin erat. Bukan. Aku hanya sedang terpesona pada Paris dan segala keindahannya.
Langit kelam, pendar lampu berwarna kuning, Seine yang keemasan, dan pohon-pohon dengan ranting yang masih meranggas di sepanjang sungai—juga aroma cedar wood dari tubuh Felix—ciptakan suasana magis nan romantis. Dan aku harus mengakui bahwa tur menyusuri Seine adalah ide paling brilian untuk rehat sejenak dari kasus yang mengikat kami.
“Di mana mantelmu? Kau bisa mati kedinginan.”
Aku terperanjat saat suara serak milik Felix menyapa pendengaran. Pria berkemeja hitam yang baru saja menyusulku ke dek atas ini mengangsurkan mantelnya. Hey, apa bedanya? Dia juga bisa mati kedinginan jika melakukan hal sekonyol ini, ‘kan?
Ayolah, tak perlu berlagak romantis jika faktanya kau juga membutuhkan mantel untuk menghangatkan tubuhmu.
Harusnya kalimat itu kulontarkan dengan nada sengit, tapi aku memilih jadi pengecut. Alih-alih mendebat, niat baiknya kusambut tanpa sepatah kata. Terlalu sayang untuk menukar pemandangan yang Paris sajikan dengan berdebat kusir.
Mengabaikan Felix yang mengambil tempat di sampingku, bangunan di sepanjang tepi sungai mencuri atensi, membuatku berdecak kagum berulang kali. Rasanya seperti baru pertama kali menginjakkan kaki di Paris.
Baik, katakanlah aku norak. Namun, kalau boleh jujur, sudah terlalu lama aku menenggelamkan diri pada pekerjaan. Semenjak rencana pernikahanku dan Raimond gagal, liburan adalah sesuatu yang mahal bagiku.
Dalam kamus hidupku hanya ada kerja, kerja, dan kerja. Bahkan di akhir pekan sekalipun. Dan itu sungguh bertentangan dengan konsep work-life balance yang digalakkan di negeri ini. Akan tetapi, aku bisa apa? Hanya dengan cara tersebut aku dapat bertahan hidup dan mengalihkan rasa sakit hatiku.
Larut dalam pesona Paris, ingatanku berpindah haluan dalam hitungan detik. Bukan lagi ingatan tentang Raimond yang mendominasi pikiran, melainkan Felix.
Penyebabnya adalah Pont des Arts yang tersaji di depan mata. Masih segar dalam ingatanku bagaimana kami bersandiwara dengan iringan accordion yang dimainkan oleh seorang pria tua. Kala itu, kepalaku dipenuhi stigma tentang Felix. Bayangan sebuah hubungan yang penuh ketegangan mengakuisisi seluruh logika, membuatku menutup mata akan kemungkinan-kemungkinan lain dalam hidupnya, sebab yang kutahu, Felix itu picik.
Namun kini, aku mengaku salah. Penggalan cerita yang kukumpulkan dari Debora, juga sikap Felix yang belakangan ini tak tertebak, melunturkan sebagian stigma yang membelenggu. Aku sadar, bahwa setiap manusia terlahir dengan dua sisi yang berbeda; baik dan buruk.
Selama ini—entah sengaja atau tidak—sisi buruklah yang dominan Felix tunjukkan. Aku tak tahu kenapa, tapi ia seolah menyembunyikan sesuatu dibalik tabiatnya dan skanda-skandal yang memebelenggunya.
Perdebatan muncul dalam benak ketika penggalan hari-hari kami menelusup tanpa permisi. Disatu sisi aku ingin menjunjung tinggi egoku, menempatkan diri sebagai korban atas kegilaan Felix yang menawarkan perjanjian pernikahan. Disisi lain, aku ingin berdamai dengannya, sebab aku tak bisa menyelesaikan kasus Dusan dan Rachaele seorang diri.
Lelah dengan opini yang berseberangan, aku pun menyerah, menuruti petuah bijak Debora di hari pernikahanku lalu.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” tanyaku penuh ragu. Bukan karena takut Felix tak mengizinkan, hanya saja pikiranku terlalu random. Tanya demi tanya berjejalan jadi satu, saling tumpang tindih karena rasa penasaran yang memuncak hingga ke ubun-ubun.
Ya, aku penasaran akan banyak hal … tentangnya. Tentang masa kecilnya yang sengaja tak dilanjutkan Debora, tentang keluarganya, tentang alasannya membangun citra misterius di dunia hiburan, juga tentang kasus kematian sahabatnya yang memenjarakan kami dalam ikatan pernikahan.
“Hm,” gumamnya pelan. Dari arah samping, kudapati Felix menengadah, menghadap langit kelam Kota Paris dengan sepasang mata yang tertutup. Kulit putih pucatnya nampak lebih pucat dari sudut ini. Mungkinkah ia kedinginan?
“Aku tahu aku setampan itu.”
Alih-alih mencibir, aku justru mendengkus cukup keras sembari merekahkan senyum. Kalimatnya terdengar menyebalkan, tapi benar di waktu bersamaan. Harus kuakui, ia memang tampan. Dan aku tak ingin menyangkalnya lagi. Sebab sekeras dan sebanyak apa pun kalimat penyangkalan kulontarkan, fakta tetap tak berbubah.
Aku sempat berdeham sebelum merajut obrolan. “Apa kau pernah menyesali keputusanmu?”
Dari sekian banyak topik yang terlintas, penyesalan menjadi pilihan pertama yang kulontarkan. Bukan tanpa alasan, sebab kata penyesalan lah yang paling sering menghantuiku beberapa waktu belakangan. Pun selama perjalanan pulang dari area pemakaman sore tadi. Sesal memerangkapku begitu erat, hingga rasanya aku ingin memutar waktu dan mengulang segalanya.
“Ada banyak keputusan yang kubuat dalam hidupku. Keputusan mana yang kau maksud, Madame?”
“Mmm, semuanya … atau mungkin yang paling baru. Seperti keputusan menikahiku mungkin,” cicitku di akhir kalimat.
“Tidak.”
“Benarkah? Aku belum bisa memenuhi ekspektasimu sampai detik ini terkait kasus Dusan. Dan aku sempat mencuri dengar obrolanmu saat di rumah sakit tempo lalu, aku tidak tahu siapa lawan bicaramu, tapi suaranya terdengar seperti Stannes,” jujurku.
Sepasang matanya terbuka perlahan, lalu menatapku dengan begitu dalam dan hangat. Tak ada kesan mendominasi sedikit pun.
“Sebanyak apa yang kau dengar?”
“Tidak banyak, tapi cukup untuk menyimpulkan bahwa Stannes menentang pernikahan kita. Kenapa masih kau lanjutkan waktu itu? Kau yakin tidak akan menyesal?”
“Tidak ada yang harus disesali, karena hidup itu pilihan.”
Di detik yang sama ketika kalimat itu terucap, cengkeraman tanganku mengerat di salah satu sisi mantel yang kukenakan. Jantungku mencelos, tatapanku menajam, dan lidahku terasa kelu hanya untuk menimpali Felix. Sebab kalimatnya mengingatkanku pada sosok Antoine Lafebvre, sang cinta pertamaku.
Sungguh, jawabannya serupa dengan petuah yang ayah berikan saat aku masih kecil. Mungkin hanya kebetulan. Atau Felix memang sengaja dihadirkan untuk gantikan pahlawanku yang telah lama semesta renggut?
“Terdengar sok bijak, ya?”
Aku menggeleng. “Tidak. Hanya saja, kalimatmu mengingatkanku pada seseorang. Baginya, semua yang ada dalam hidup adalah anugerah yang harus disyukuri, karena setiap kebaikan dan keburukan yang menimpa pasti punya hikmah tersendiri, hingga tak pernah ada kata menyesal dalam kamus hidupnya.”
“Apa dia sama menyebalkannya sepertiku?”
Sekali lagi aku menggeleng. “Tidak, ayahku lebih hangat. Tidak sepertimu.”
Untuk pertama kalinya, aku berkata jujur di hadapan Felix, mengutarakan semua yang terlintas di kepalaku tanpa menutupinya sedikit pun. Untuk pertama kalinya, aku berbagi kisah tentang ayah setelah kematiannya. Dan untuk pertama kalinya pula, kami menanggalkan ego masing-masing tatkala kalimat demi kalimat terurai; mengabaikan tabiat satu sama lain; juga mengabaikan motif yang melatarbelakangi hubungan simbiosis mutualisme ini.
Sejenak, sepi mengambil alih, menemani perjalanan kami yang masih terus berlanjut. Pemandangan di sisi kiri dan kanan Seine makin semarak ketika satu per satu landmark Kota Paris kami lewati. Meski jarum jam bergerak menuju angka sembilan dengan angin musim semi yang masih terasa menggigit, tak ada sedikit pun keinginan untuk turun ke dek bawah. Sebab keindahan Paris makin menggila menjelang malam.