“Seseorang pernah berkata, hidup itu singkat. Awalnya aku tak setuju, sebab lebih dari seperempat abad telah kulewati dengan segala pencapaian luar biasa dan akan terus begitu sampai tahun-tahun mendatang. Awalnya aku menganggapnya sok bijak, tapi kini aku harus mengamini petuahnya. Dia benar, hidup itu singkat. Kebahagian, kekayaan, kesuksesan, ketenaran, kepedihan, semuanya singkat. Tak ada yang benar-benar bertahan dalam keabadian. Begitupun dengan kejahatan.
“Selama masih ada manusia yang menggunakan hati nuraninya untuk menjalani hidup, kurasa kebenaran masih bisa berkuasa. Dan aku bersyukur karena semesta mempertemukanku denganmu di sisa hidupku. Lewat sepasang matamu, Tuhan menjawab segala keraguan dan ketakutanku tentang kematian Dusan. Juga kematianku suatu hari nanti.
“Aku kira, dunia akan selamanya bungkam, membiarkan kami hilang ditelan peradaban. Aku kira, tak akan ada satu pun yang memperjuangkan kisah kami. Hingga akhirnya, kau hadir dengan serentetan tanya yang tak pernah terbesit dalam benakku. Kau hadir dengan pemikiran kiritis dan kecurigaan yang begitu besar. Bahkan kau sadar dengan rasa takut yang kusembunyikan hanya dengan melihat gesturku yang samar. Merci.
“Sebagai tanda terima kasihku, aku akan menjawab rasa penasaranmu. Tapi sebelumnya, izinkan aku memberi saran, jangan melangkah sendirian jika ingin menang. Sebab ‘dia’ yang datang ke apartemen Dusan malam itu lebih berbahaya dari yang kau kira. Dia manipulatif. Hitam diubahnya jadi putih. Benar diubahnya jadi salah. Korban diubahnya jadi tersangka. Cinta dipermainkannya, dan semua itu dia lakukan tanpa kita sadari.
“Dengan jumawanya ia menyebut dirinya sebagai Seigneur dan menghalalkan segala cara untuk menguasai dunia. Tidak, aku tidak berlebihan. Aku bicara yang seujujurnya, Corin. Ambisinya benar-benar untuk menguasai dunia dengan menjadikan kami sebagai tumbal.
“Pun malam itu. Aku tak sadar telah dijadikan pion caturnya. Setiap langkahku, bahkan tutur kataku berada dalam kendalinya. Kebebasanku dalam berpendapat direnggutnya dan dogma-dogma sesat dijejalkannya nyaris setiap hari. Aku harus merasakan sesaknya tercekik separuh dosa yang tak kulakukan. Hingga rasanya, menyusul Dusan adalah opsi terbaik untuk terlepas dari belenggunya.
“Ditengah ketakutan demi ketakutan yang menghantuiku siang dan malam, Tuhan mempertemukanku denganmu sesaat setelah menjalani pemeriksaan kedua di kantor polisi. Tatapan penuh kecurigaan yang kau layangkan hari itu menjadi titik balik untukku. Membuatku yakin untuk menyusul ayahku yang berada di tahanan sekaligus menebus dosaku pada Dusan—sosok yang begitu kucinta, tapi harus meregang nyawa akibat kebodohanku.
“Jika mengikuti skenario awal, aku hanya perlu melontarkan alibi yang telah ia rangkai untuk menjawab setiap pertanyaan yang kuterima. Apalagi posisiku diuntungkan dengan kemunculan Felix malam itu. Akan tetapi, kegiighanmu menggugah hatiku. Berita demi berita yang kau tulis mengundang keberanianku, hingga aku memutuskan untuk menyerahkan diri ke polisi dengan harapan kau semakin menaruh minat dan menyelidikinya lebih dalam.
“Dan rencanaku berhasil. Kita benar-benar dipertemukan, tetapi dalam kondisi yang tak memungkinkan. Sebab detik dimana aku menyerahkan diri, aku sedang menggali kuburanku sendiri. Statusku bukan lagi pionnya, melainkan santapan empuk untuknya.
“Meski begitu, aku tak pernah menyesal. Setidaknya dengan mempertaruhkan nyawa, aku telah menebus kesalahanku pada Dusan sekaligus melindungi sahabat karibnya, Felix. Corin, aku benar-benar bersyukur bisa mengenalmu walau hanya sekejap. Dari lubuk hati terdalam, aku ucapkan terima kasih … terima kasih sudi mendengarkan sekelumit kisahku. Terima kasih telah memperjuangkan kebenaran dengan caramu.
“Terima kasih karena tidak menyerah ditengah rumitnya kasus yang kau hadapai, juga minimnya dukungan dari berbagai pihak. Aku tahu, banyak tangan tak kasatmata yang bisa meluruhkan ambisimu kapan pun. Banyak sosok yang akan menjegal langkahmu, karena sejak awal, kematian Dusan telah di-setting sebagai kasus yang akan hilang ditelan isu-isu baru. Bahkan, kalau boleh jujur, ada lingkaran setan dibalik kematian Dusan.
“Lalu soal pesanku yang kau retas … aku ahrap kau tak menyesal setelah mengetahui siapa yang kuhubungi. Sebab kau mengenalnya, bahkan lebih daripada aku. Cari dia, Corin. Kau pasti bisa menemukannya.”
Aku kehilangan suara, padahal aksara dalam kertas berwarna kuning yang kugenggam masih belum tuntas. Situasinya benar-benar diluar dugaan. Tak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa pertemuan dengan Zo berbuah informasi sepenting ini.
Sejak memintanya menjauh dari kasus kematian Dusan, kukira Zo benar-benar tak menaruh minat. Faktanya, ia justur menyelam lebih dalam, menemukan kepingan puzzle paling penting yang kucari selama ini.
Dan fakta bahwa Rachele telah menyusun rencananya sedemikian rupa membuatku kagum. Ya, aku kagum pada keberaniannya melawan Seigneur dikala jeratan merantai langkahnya. Aku kagum pada keputusan yang diambilnya padahal dogma-dogma sesat mengantarkannya ke jurang neraka.
Namun, aku merasa naif di waktu yang sama. Aku kira semuanya mengalir begitu saja. aku semestata memang ingin tunjukkan jalan bagiku. Nyatanya, Rachaele lah sutradar dibalik lakon yang ia jalani. Secara tidak langsung, Rachaele mengirim tiket ekslusif untukku bergabung lebih jauh lagi.
Masih dengan bungkam—juga spekulasi yang mulai bermunculan—Auguste Blanqui yang padat di jam makan siang kupindai sejenak waktu. Rasanya seperti ada dunia lain di tempat yang aku huni. Sebuah dunia dengan kehidupan gelap yang tak mampu kutembus.
Entah karena aku kurang peka pada simbol-simbol di sekitarku atau mereka yang terlampau lihai berkelit. Yang jelas, ada empat poin utama yang kutangkap; Seigneur, tumbal, lingkaran setan, dan kasus yang di-setting. Rachaele sedang memberikan clue lewat empat poin tersebut. Sialnya, naluri detektifku kembali mencuat. Satu per satu kata kutelaah. Satu per satu kejanggalan kurangkai, mencoba melengkapi petunjuk, juga menyempurnakan spekulasi yang hadir.
Jika Rachaele menyebut kami sebagai tumbal berarti Seigneur memiliki banyak pion yang telah dan akan dijadikan tumbal untuk menuntaskan ambisinya dalam menguasai dunia. Sementara soal kasus settingan, inilah yang kutakutkan sejak awal. Kasus besar yang sengaja ditutupi demi kepentingan pribadi.
Dan soal lingkaran setan, seberapa banyak yang terlibat? Kenapa Rachaele sampai memintaku untuk tak melangkah sendiri? Apakah nyawaku benar-benar di ujung tanduk karena menggali kebenaran ini? Mungkinkah Pierre juga termasuk salah satunya? Sial, semakin dalam menggali, semakin tinggi kecurigaanku pada orang-orang di sekelilingku.
Aku menghela napas panjang sebelum mengalihkan atensi pada wanita berkacamata yang duduk di hadapanku. Penampakan kami terlihat kontras. Aku dengan ketakutan dan kebingungan, sedangkan Zo nampak menikmati dunianya sendiri. Ia sibuk mencelupkan potongan croissant ke kopi sebelum melahapnya dengan senyum mengembang. Zo dan kecintaannya pada pastry benar-benar luar biasa—tak kenal waktu, tak kenal kondisi.
“Kau ….” Napasku terbuang dengan begitu berat. “Kau … bagaimana bisa? Surat ini … bagaimana bisa kau mendapatkannya, Zo?”
Wanita berkemeja abu-abu itu mengangkat tangan, memintaku diam selagi menantinya menelan makanan. Zo lantas meraih cangkir keramik di hadapannya dan menyesap isinya perlahan.
“Temanku.”
Sejenak mataku terpejam. “Zo, informasimu benar-benar berguna untukku, tapi kau tidak perlu melakukannya. Aku sudah memintamu untuk berhenti, bukan?”
Jujur, ada rasa khawatir yang begitu besar di benakku. Kematian Dusan bukanlah kasus biasa. Banyak pihak yang terlibat dan bergerak tanpa dapat diprediksi. Jika harus mempertaruhkan nyawa, biar aku yang melakukannya. Jangan sampai orang-orang terdekatku menderita karena ambisiku yang begitu besar.
“Je suis desole pour ca. Lain kali aku tidak akan melakukannya lagi, tapi jujur, kematian Rachaele terlalu janggal dan aku tidak bisa diam saja. Jadi kuputuskan untuk menghubungi temanku yang bertugas sebagai sipir dan meminta informasi apa pun terkait Rachaele. Siapa sangka, dia menemukan surat itu di lipatan baju tahanan Rachaele.”
Beban yang menindih tengkukku terasa kian berat mendengar penuturan Zo. Lidahku masih kelu tuk menimpalinya. Tepatnya tak habis pikir kenapa ia masih tak berubah sedikit pun sejak pertama kali kami berteman: suka ikut campur. Bahkan, penguntitan yang ia alami beberapa waktu lalu seolah terhapus dari ingatannya. Ketakutan yang sempat terpancar dari matanya kala itu lenyap tak tersisa.
Meninggalkan pikiran tentang Zo, atensiku kembali tertuju pada tiga lembar kertas bertuliskan tangan yang tergeletak di meja besi berwarna hijau mint di antara kami. Aku merasa lega karena kecurigaanku tentang Seigneur benar adanya. Bukti demi bukti yang dihilangkan—termasuk riwayat panggilan milik Rachaele yang terasa janggal—hanya untuk menghapus jejaknya.
Di sisi lain, aku tengah mencoba menerka makna yang tersembunyi dibalik rangkaian aksa yang Rachaele tinggalkan. Meski tak sepenuhnya yakin, aku mampu menarik kesimpulan bahwa Seigneur mengamati pergerakan kami. Artinya, bukan tidak mungkin bahwa pertemuanku dengan Rachaele jadi alasan terbesar melayangnya nyawa gadis itu.
Oh, ya Tuhan, orang macam apa sebenarnya yang sedang kuhadapi? Setidakberharga itukah setiap nyawa yang ada di dunia ini?
“Nikmati kopimu dan singkirkan tampang bingungmu itu, Corin. Kau membuatku iba.”