Tiga hari berlalu dan hidupku masih di titik yang sama, terbelenggu simpul rumit tanpa sedikit pun titik terang. Kalimat terakhir yang Pierre lontarkan hari itu serupa lonceng kematian, mengantarkanku pada ketakutan terbesar dalam hidup.
Aku takut pencarianku berujung pada luka. Aku takut kebenaran yang kugaungkan selama ini berkaitan erat dengan sisi lain dari orang-orang di sekitarku. Aku pun takut jika fakta yang kucari justru menjadi belati yang akan menikamku.
Dihadapkan pada situasi semacam ini, hanya ada satu keinginan dalam benakku, yaitu berbagi cerita. Namun, pada siapa?
Zo? Keahliannya memang berguna, tapi wanita itu hanya akan memperkeruh suasana. Aksi penguntitan yang berujung penyerangan terhadapku waktu itu jadi pertanda bahwa pergerakannya telah terendus oleh Seigneur. Jika aku nekat melibatkannya, bukan tidak mungkin bahwa Zo yang akan menjadi korban selanjutnya.
Flo? Huh, wanita itu tak tahu menahu tentang kasus ini. Percuma jika berbagi beban dengannya. Apalagi tabiatnya yang seringkali menghakimi dan terlalu rasional hanya akan menjebakku pada masalah baru.
Aimee? Wanita bermata bulat itu terlalu lembut untuk bersinggungan dengan teka-teki kelam kematian Dusan. Instingnya belum terasah. Sangat riskan jika ia harus berhadapan dengan pion-pion milik Seigneur. Alih-alih meringankan beban, justru penyesalan yang akan membekas dalam diriku jika melibatkannya.
Felix? Ya, harusnya aku berbagi dengannya. Menagih janjinya yang akan menjamin keselamatanku. Terlepas dari itu, Felix punya korelasi erat dengan kasus ini.
Akan tetapi, logikaku terus menolak. Firasatku berkata untuk tidak menggantungkan harapan pada pria yang masih enggan bertukar sapa denganku sejak kembali dari tur menyusuri Seine beberapa hari lalu.
Atau, Debora? Tentu bukan opsi terbaik. Meski sosok di hadapanku kini mampu membaca kegelisahanku, tapi hubungan kami tak sedekat itu untuk berbagi.
“Madame, kau baik-baik saja?” Untuk ketiga kalinya, Debora melontarkan pertanyaan yang sama.
“Hmm, hanya sedikit kesal karena Flo belum membalas pesanku sejak kemarin.” Aku tak sepenuhnya berdalih. Pesan terakhirku sejak kemarin sore memang belum Flo balas.
“Kau mau mampir setelah ini? Mumpung kita tidak jauh dari apartemen lamamu. Lagipula, masih ada waktu sekitar satu jam sampai pemotretan Felix selesai dan wawancara dengan majalah.”
Seandainya bisa, sudah sejak tadi—bahkan sejak tiga hari lalu aku bertandang ke apartemen lamaku daripada terjebak di Le Café Marly bersama Debora. Meskipun Louvre dan jejak-jejak sejarahnya mampu menghipnotis pengunjung kafe, tetapi tak sedikit pun keresahan dalam diriku terurai. Apalagi mengingat alasanku duduk di tempat ini adalah semata-mata untuk pencitraan. Rasanya aku benar-benar ingin memaki siapa pun yang mencetuskan ide untuk wawancara ekslusif bersama kami—aku dan Felix.
Aku menggeleng lemah. “Flo sedang ke luar negeri dan baru akan kembali besok siang. Sepertinya dia naik jabatan sampai Bibi Claire mengajaknya berkunjung ke Milan.”
Sepi mendominasi meja yang kutempati. Debora kembali fokus pada chicken salad-nya setelah mengangguk paham. Sementara aku masih tak jemu mengaduk-aduk tomato basil penne pasta yang sisa setengah. Bukan sebab rasanya terlalu hambar, tetapi nafsu makanku turun drastis sejak tiga hari lalu.
“Sepertinya kau benar-benar penggila kopi. Itu cangkir ketiga, ‘kan?” Debora mengusik lamunanku, tepat ketika seorang pelayan kafe meletakkan cangkir keramik berwarna putih berisi espresso yang kupesan beberapa waktu lalu.
“Cangkir keempat, yang pertama kuminum saat sarapan,” ralatku sebelum meraih cangkir, menghirup aromanya, lantas menyesapnya perlahan. Tak pernah berubah, kopi di kala resah serupa endorfin; menenangkan.
Sembari meletakkan cangkir, atensiku tercurah sepenuhnya pada Debora yang nampak berbeda. Wajahnya terlihat muram. Sorot matanya mendadak redup, digantikan dengan tatapan kosong ke arah piramida kaca yang dikerubungi pelancong. Pun dengan genggaman tangannya yang mengerat.
“Est-ce que ca va?”
Butuh waktu beberapa detik hingga wanita yang mengenakan blazer hitam itu menatapku. “Kebiasaanmu mengingatkanku pada Dusan. Sama sepertimu, Dusan dan kopi juga tak bisa dipisahkan.”
“Benarkah?”
“Hmm. Kopi sudah seperti belahan jiwanya. Bahkan kurasa, dia lebih mencintai kopi daripada Rachaele.” Debora tersenyum miris. “Benar-benar berbeda dengan Felix yang menjadikan kopi sebagai selingan saja.”
“Sepertinya kau mengenal mereka dengan baik,” gumamku alakadarnya. Jujur saja, aku tidak tahu harus merespon seperti apa. Sebab ekspresi tak biasa yang Debora tunjukkan membuatku mati kutu.
Ingin aku menimpali, tapi tak tahu harus membicarakan apa. Sebelum kasus ini, aku tak begitu dekat dengan Dusan. Satu-satunya yang kutahu, Dusan adalah salah satu jaksa yang disegani di negeri ini karena prinsip dan komitmennya. Sedangkan Felix … hanyalah raja skandal. Dua kepribadian yang sangat bertolak belakang disatukan dalam ikatan persahabatan. Cukup menarik memang hubungan keduanya.
“Tentu saja. Aku menyaksikan mereka tumbuh dewasa. Jangankan makanan dan minuman kesukaannya, aku pun tahu siapa cinta pertama mereka, terutama Felix. Asal kau tahu, berbeda dengan Dusan yang lebih ekspresif dan mudah tertarik pada orang-orang baru, Felix justru cenderung menutup diri. Aku masih ingat bagaimana Felix seolah menjauhi dunia ketika ibunya meninggal. Berbulan-bulan dia mengurung diri dan tak satu pun orang bisa mendekatinya, bahkan Dusan pun tak bisa berbuat lebih.
“Jujur saja, aku sempat khawatir Felix akan mengalami hal yang sama saat mendapati kematian Dusan. Kukira dia akan berada di titik terendah untuk kedua kalinya. Ternyata, responnya justru diluar dugaan. Dari banyaknya orang yang ada disekitarnya, justru kau yang pertama kali dia cari.”
Aku mengerutkan alis. Ada sedikit kebingungan yang singgah ketika aku mencoba memaknai kalimat terakhir yang Debora lontarkan.