Ketakutanku benar adanya. Satu per satu kepingan puzzle yang coba kususun selama ini melahirkan spekulasi yang mengoyak kepercayaan diri. Puncaknya, penggalan surat yang Rachaele tinggalkan seolah menyadarkan betapa naifnya diriku.
“… kau mengenalnya, bahkan lebih daripada aku.”
Harusnya aku paham, Rachaele sedang memintaku waspada, memberiku petunjuk bahwa sosok yang memantik api pertikaian antara aku dan Raimond beberapa bulan lalu berada dalam jangkauan.
“Corin, kau masih di sana?”
Mataku kembali terbuka dengan kepalan tangan yang sedikit mengendur. “Ya … hanya sedikit terkejut, karena aku juga sedang di Louvre.”
Ada suara gaduh di seberang panggilan. Juga rintihan Zo yang terdengar samar. Entah apa yang sedang wanita itu lakukan. “Ka-kau serius? Dengan siapa kau di sana? Corin, aku mohon, jangan nekat mencarinya. Tolong dengarkan aku kali ini saja. Jika urusanmu sudah selesai, cepat pulang …. Ya Tuhan, harusnya aku tidak memberitahumu hari ini.”
Aku membuang napas dengan kasar. Dari intonasinya, bisa kubayangkan gurat kekhawatiran di wajah Zo. “Tenang saja, aku bersama Felix … Bagaimana pun, terima kasih untuk informasinya. Dan tolong, menjauhlah, Zo. Jangan libatkan dirimu lagi, oke?”
“Kuharap Felix bisa menjagamu dengan benar. Dan kuharap kau tidak berbuat nekat di belakangku, Corin. Kumohon. Aku tidak akan mencampuri urusan itu lebih jauh lagi, kecuali dalam kondisi tertentu. Jadi tolong, jangan gegabah lagi kali ini.”
Aku hanya tersenyum tipis sebelum memutus sambungan secara sepihak. Degup jantungku masih tak menentu. Semua ini benar-benar di luar dugaan. Agenda pemotretan dan wawancara yang kuanggap pencitraan belaka, ternyata justru menghadirkan kejutan yang tak dinyana.
Sejenak mataku terpejam. Berulang kali aku menarik napas panjang untuk mencari ketenangan. Aku sudah menunggu lama untuk hari ini. Hari di mana satu per satu misteri mulai terpecahkan, hari di mana satu per satu petunjuk kukantongi. Namun ironisnya, ada kegelisahan yang mendekapku begitu erat hingga kedua tanganku terasa dingin.
Jujur, keyakinanku mulai goyah. Sebab tanpa tahu malu bayangan Felix dan Stannes melintas di pikiran. Sosok Felix yang Zo harapkan bisa menjagaku justru jadi orang pertama yang kucurigai. Kelicikannya yang terlanjur terpatri dalam ingatan seolah mengolok kenaifanku. Pun dengan bayangan Stannes. Sikap apatisnya seolah menertawakanku dengan lantangnya.
Di tengah segala kekalutan, aku ingin memenuhi permintaan Zo. Akan tetapi, sisi detektif dalam diriku kian berontak. Sudah sejauh ini. Kepingan puzzle datang tanpa kucari. Terlalu bodoh jika aku melepaskannya begitu saja. Rasa penasaranku pun tak terobati dahaganya. Bukankah begitu?
Maka, dengan tangan yang masih bergetar, aku menggulir kontak di ponsel. Dengan pelan, aku menempelkannya ke telinga kanan sembari merapal dalam hati, berharap bukan Felix yang menjawab teleponku. Seiring sambungan yang berdegung, jantungku mulai tak terkendali, berdetak dua kali lebih cepat dibanding sebelumnya. Rasanya nyaris meledak. Bahkan sensasinya lebih menegangkan dari percakapan terakhirku dengan Pierre di lorong ruang redaksi beberapa hari lalu.
Lima kali panggilan berdengung, aku nyaris menyerah. Ada satu sisi dalam diriku yang belum siap menerima realitas. Akan tetapi, jantungku dipaksa bekerja tiga kali lebih cepat ketika panggilanku tersambung.
“Hallo.”
Kepalaku sontak menoleh ketika suara itu terdengar sangat nyaring. Bukan hanya dari sambungan telepon, tapi juga dari balik tubuhku. Dan inilah yang kudapati setelah aksi nekatku. Dengan napas yang tertahan dan mata melebar penuh kejut, genggaman tanganku kembali mengerat mendapati sosok familier berdiri beberapa langkah dari tempatku. Di sana, di depan ruangan yang kutinggalkan beberapa menit lalu, dengan ponsel menempel di telinga kanannya, sosok itu menatapku tanpa gentar. Juga menyunggingkan separuh bibirnya yang membuat sekujur tubuhku tak berdaya.
Tanpa aba, lututku membentur dinginnya lantai. Tersungkur sebagai bentuk kekalahan. Rutukan dan puluhan tanya pun berjejalan silih berganti. Bohong jika aku tidak marah. Nyatanya, dadaku bergejolak dengan amarah yang nyaris meledak. Namun sialnya, tanganku justru terkulai lemas dengan panggilan yang masih tersambung. Lidah pun terlampau kelu hanya untuk mengucapkan sepatah kata. Ini gila. Sosok yang kucari ternyata begitu dekat denganku.
“Madame.”
Tatapanku enggan berpaling darinya yang mematikan sambungan telepon sembari mengikis jarak. Seiring dengan ketukan heels-nya yang menggema di ruang dengar, satu per satu kenangan terputar bagai kaset usang. Dan rasanya seperti mimpi buruk.
Orang yang menghancurkan rencana pernikahanku tak lain adalah Debora. Atas dasar apa dia melakukannya? Kenapa dia mencampuri urusanku hingga sejauh ini?
Aku memejamkan mata dengan perasaan campur aduk; bingung, marah, kecewa, semuanya bercampur menjadi satu dengan ingatan masa lalu.
“Anda baik-baik saja?”
Perlahan, aku kembali membuka mata. Dari jarak sedekat ini, dapat kulihat ekspresi datarnya yang teramat menyebalkan dan menakutkan di waktu bersamaan. Kukira sosok paruh banya ini hanya menjalani peran sebagai ibu kedua untuk Felix. Ternyata, ia hanya berkamuflase. Satu topengnya baru saja terkuak. Akankah ada topeng kedua, ketiga, dan seterusnya?
“Anda pasti terkejut.”
Berengsek! Setelah apa yang terjadi, Debora masih bisa bertanya dengan begitu tenangnya. Andai ia tahu, setiap ruas tubuhku ingin melumatnya habis-habisan. Bahkan niat untuk melupakan sikap menyebalkannya saat di Le Café Marly mendadak sirna.
“Kenapa kau melakukannya? Aku punya salah apa denganmu?”
Wanita paruh baya itu menarik napas panjang. “Anda tidak punya salah apa pun.”
“Lalu kenapa? Kenapa kau menghancurkan hidupku? Kenapa kau menghancurkan pernikahan impianku kala itu? Kenapa, Debora? Kenapa?!” Napasku terengah dengan tatapan kian nyalang.
“Karena takdirmu adalah Felix, bukan Raimond. Sesuatu yang dipaksakan tidak akan bagus, Madame.”
“Sialan! Memangnya kau siapa sampai berani bicara soal takdir? Kau sama pendosanya denganku.”
“Aku?” Debora kembali terdiam. Sepasang matanya lekat menatapku. “Anda benar, aku memang pendosa sepertimu. Tapi asal Anda tahu, aku hanya menjalankan tugasku untuk menyelamatkan Anda dari lubang kekecewaan.”
“Kau mengolokku?”
“Tidak, aku hanya bicara seujujurnya. Kalian memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Sekalipun aku tidak mengirimkan bukti perselingkuhannya malam itu, kalian tetap akan berpisah. Dan percayalah, perpisahan setelah menikah justru lebih menyakitkan.”
Aku mendengkus kasar. Tak habis pikir dengan ketenangan yang Debora pertahankan hingga detik ini. Dia benar-benar mirip dengan tuannya. Entah dosa apa yang kulakukan dulu hingga dipertemukan dengan orang-orang rumit macam mereka.
Ditengah deru napas yang masih memburu, aku mencoba mengumpulkan tenaga. Genggamanku pada ponsel mulai mengerat. Tubuhku lantas beranjak, berdiri dengan kaki yang masih terasa lemas.
Aku sempat menatap Debora sekilas sebelum berbalik. Satu-satunya keinginanku saat ini adalah menyendiri. Muak rasanya menatap Debora dan segala kepalsuannya. Meskipun sejak awal ada kecurigaan pada orang-orang terdekatku, tapi tetap saja ada rasa kecewa yang terselip di benak.
“Madame, Anda mau ke mana?”
“Bukan urusanmu!” desisiku sambil lalu.
“Aku harus menjawab apa jika Felix mencari Anda?”
Langkahku terhenti detik itu juga. Aku lantas berputar, menghadap Debora yang masih mematung di tempatnya. Pertanyaan wanita itu menyadarkanku akan satu hal. Persekongkolan.
“Aku tidak akan mengulangi pertanyaanku, jadi dengarkan baik-baik dan jawablah dengan jujur, karena aku muak melihat sandiwaramu.” Aku menarik napas panjang sembari mengumpulkan keyakinan. “Apa Felix yang memintamu melakukannya?”
Wanita berpipi tirus itu menggeleng. Matanya terlihat lebih tegas dari sebelumnya. “Jangan libatkan Felix dalam hal ini.”