Paris masih sama. Jejak-jejak musim dingin terasa di tiap embusan angina. Eksistensi musim semi pun enggan mengalah, tersirat lewat pucuk-pucuk ranting yang bertunas.
Jalanan masih padat di jam berangkat dan pulang kerja, terutama kawasan Arc de Triomphe dengan suguhan sunset-nya. Benar-benar tak ada yang berubah selama satu minggu ini. Pun denganku.
Apartemen st. Honore masih jadi tempat pulang seslepas liputan. Meski terkadang terselip rindu pada suasana ruang redaksi, tapi mengkonstruksi berita dari sudut kamar seperti ini adalah opsi terbaik u ntuk menarik diri dari segala hal yang berkaitan dengan Dusan, Rachaele, Debora, dan Felix.
Ya, pada akhirnya aku menyerah untuk sejenak waktu, mengambil jeda agar mampu bernapas sembari mengurai simpul rumit di kepala sebelum kembali berperang. Hey, aku tidak berlebihan. Sejak menemukan hadiah pernikahan dari Pierre, aku sadar betul, ada badai yang siap menerjang.
USB berwarna hitam yang dibungkus kotak merah muda itu serupa bom waktu. Entah apa isinya, tapi Pierre tak pernah main-main selama ini. Semua yang berkaitan dengan pria berjambang itu selalu menyimpan makna. Terlebih lagi bila mengingat hubungan kami yang beristegang. Bahkan ultimatum yang ia lontarkan terakhir kali kembali terngiang disela kegiatan mengirim berita.
“Bukalah dan mari kita lihat apa kau masih bisa menggonggong soal kebenaran di hadapanku.”
Sarkas dan penuh ancaman. Itulah yang terbersit dalam pikiran setiap mengingat pertemuanku dengan Pierre tempo hari. Hingga rasanya kepercayaan diriku terkikis sedikit demi sedikit. Berulang kali kuraih USB itu, berulang kali pula aku mengurungkan niat untuk membukanya.
Namun, detik yang berlaku tak membuatku tenang. Justru rasa penasaran kian membuncah. Di sela bimbang yang mendominasi, getar ponsel mengalihkan atensi.
Felix
Di mana?
Aku termenung menatap layar. Ada rasa aneh, asing, bingung, juga tersanjung yang menumpuk jadi satu mendapati Felix menghubungiku. Padahal, ini bukan pertama kalinya. Sejak insiden di Louvre siang itu, setiap pukul 4 sore, Felix mengirim pesan dengan template serupa. Entah apa tujuannya. Aku tak ingin ambil pusing ataupun menaruh curiga.
Benar kata Flo, kepalaku terlalu kecil untuk menampung semua maslah di dunia ini. dan aku tak ingin menambah masalah lagi dengan berprasangka buruk. Toh dia suamiku. Wajar bukan jika dia menanyakan keberadaanku? Ya, setidaknya begitulah petuah yang Flo jejalkan saat aku mengadu padanya perihal pesan dari Felix.
Ah, aku benar-benar berutang banyak pada gadis itu. Flo turut menekan egonya. Obrolan demi obrolan yang tercipta saleepas kerja serupa oase di padang tandus. Perspektif dan prinsip kami yang kadang berseberangan, kini sejalan. Berulang kali aku mengamini petuahnya, hingga tergugah untuk ulai berdamai dengan keadaan.
Corin
Apartemen Flo. Kau?
Aku kembali mengesampingkan gengsi. Mengenyahkan segala stigma tentang Felix yang kukenal selama ini. Jika sebelumnya percakapan kami terhenti di balasan pertama, kini aku berinisiatif bertanya.
Kalau boleh jujur, rasanya melelahkan terus-terusan bersitegang dengan Felix. Aku tak dapat apa-apa. Takdirku yang telah lewat takkan bisa diubah. Rencana pernikahanku dengan Raimond tetap batal. Orangtuaku tidak bisa hidup lagi. Dan desk kriminal? Aku sudah mendapatkannya kembali.
Perihal ulah Debora, jika dipikir ulang dengan kepala dingin, harusnya aku berterima kasih pada wanita paruh baya itu. Meski caranya menyebalkan, tapi setidaknya dia telah menunjukkan seperti apa Raimond sebenarnya. Walaupun menyakitkan, Debora telah menyadarkanku dari kebodohan yang berulang.
Akan tetapi, jangan harap aku bisa berdamai dengannya sekarang juga. Rasa kesal dan kecewa itu masih tersisa. Lagipula, gengsi rasanya jika harus memulai obrolan. Apa pun alasannya, wanita itu harus meminta maaf lebih dahulu.
Bayangan Debora yang sempat singgah dalam ingatan mendadak sirna saat ponsel dalam genggamanku kembali bergetar.
Felix
Di lokasi pemotretan, dekat Du Monde.
Aku mendengkus cukup nyaring. Seperti inikah ketika dua orang yang sama-sama keras dan sarkas harus mengontrol diri? Kenapa terkesan kaku sekali obrolan kami?