Belum ada tanda-tanda matahari akan tenggelam ketika langkahku terus berpacu dengan segala gejolak dalam dada. Keringat kian deras membanjiri tubuh meski udara terasa dingin. Napas pun tersengal tatkala aku melebarkan langkah, menjadikan jalanan Paris yang padat sebagai arena lari dadakan.
Persetan dengan tatapan aneh atau umpatan dari pejalan kaki yang kutabrak tanpa sengaja, juga klakson memekakkan telinga ketika aku menyebrang dengan cerobohnya. Pikiranku benar-benar kalut usai membuka dua file terakhir dari Pierre.
Berbagai stigma dan ketidakpercayaan muncul dalam benak. Bahkan penyangkalan terus kusuarakan saat kilasan video yang kutonton berulang kali berkelebat dalam ingatan. Rasanya seperti terlempar ke dunia lain, tempat asing dengan segala hal diluar nalar.
Selama ini, baik aku maupun Pierre sama-sama tak percaya makhluk mitologi. Bagi kami, bangsa peri, vampir, ogre, hingga centaur hanya sebatas karangan orang-orang terdahulu, sebuah cerita pengantar tidur yang penuh dengan kebohongan dan khayalan. Namun, apa yang semesta hadirkan lewat rangkaian fakta tak masuk akal ini?
"Felix Francois, berapa kali kau menjilat ludahmu sendiri? Kuingatkan prinsip yang kalian agungkan ... manusia dan vampire tidak bisa hidup berdampingan dan salah satunya harus musnah. Bukankah begitu?"
Kukira Pierre sebatas memberiku tumpangan di hari reuni kala itu. Nyatanya, ia punya siasat yang tak dapat kuprediksi. Alih-alih meninggalkan lokasi, Pierre justru bertahan di area parkir Lycee Saint-Louis untuk menelusuri orang-orang yang terlibat dengan Sebastian Giroud. Dan pria itu benar-benar mendapatkan jackpot yang sialnya justru mengingatkan pada perdebatan Felix dan Stannes di rumah sakit pasca penyeranganku.
"Terlambat, Felix, terlambat. Tidak ada lagi masa depan untuk kita."
"Omong kosong! Sampai kapan kita harus melarikan diri? Sampai kapan kita harus bersembunyi?"
"Selamanya."
"Berengsek! Setelah orangtuaku memberikan nyawanya untukmu, hanya ini yang bisa kau lakukan? Bersembunyi dibalik identitas palsu, tidakkah kau malu?"
Kukira identitas palsu yang mereka maksud sebatas mengganti nama atau menyembunyikan status. Nyatanya, aku salah besar.
Dalam hitungan detik, aku seolah bertukar peran dengan Bella Swan. Padahal masih segar dalam ingatan bagaimana aku mencibir Flo lantaran tergila-gila pada Edward Cullen si makhluk mitologi yang hidup di dunia modern. Lucu bukan? Jujur, aku berharap ini sebatas mimpi dan akan kembali normal saat bangun nanti. Sayangnya, rasa panas yang menjalari kaki usai berlari meninggalkan taksi yang terjebak macet justru menyadarkanku bahwa segalanya nyata.
"Kau tidak takut aku mengusiknya?"
Lagi, potongan percakapan dalam video itu menyadarkanku. Suara bernada remeh yang teramat familier di telinga. Pun dengan paras berengsek yang seolah tak punya dosa. Paras yang dulu begitu kupuja, kini teramat menyeramkan hingga aku tak tahu harus bersyukur karena terlepas darinya atau kembali meratapi takdir yang seolah mempermainkanku karena menghadirkan Felix ke dalam lembaran kisahku.
Seandainya bisa, aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Aku ingin menangis dalam dekapan hangat ibu, karena jujur saja, semesta terlalu kejam dengan menjebakku dalam skenario seperti ini.
Vampir ... oh ayolah, itu hanya ada dalam mitologi bukan? Siapa pun tolong katakan padaku bahwa makhluk bertaring itu tidak benar-benar ada. Tolong sadarkan aku bahwa segala yang kudengar dan kulihat hanya halusinasi dari lelah yang menghunjam diri. Tolong jelaskan padaku bahwa Felix hanyalah manusia biasa sepertiku, seperti Flo, dan seperti Dusan. Serta tolong beritahu aku bahwa sebenarnya Dusan terbunuh karena tusukan Rachaele bukan sebab Seigneur mengambil jantungnya dengan teramat brutal. Siapa pun tolong ... tolong bantu aku untuk keluar dari kegilaan ini.
"Argh!" Aku tersungkur dengan kedua tangan menopang tubuh saat lututku membentur kerasnya aspal.
Dengan napas terengah dan tanpa ada keinginan tuk bangkit, tatapanku mengedar sembari sesekali berdesis menahan perih. Satu per satu pejalan kaki kutelisik secara acak. Tangan-tangan dengan buket bunga, paper bag berisi pastry, cup kopi ... benar, seperti inilah Parisian. Seperti inilah kehidupan yang kujalani. Aku bagian dari mereka, manusia yang berangkat pagi pulang petang untuk bekerja. Aku bagian dari mereka yang kerap kali mengagungkan gastronomi negeri ini. Lantas apa yang aku dengar dari Pierre? Pria itu ingin membodohiku atau apa?
Pierre, di mana dia?
Aku bergegas merogoh ponsel di saku mantel. Lima kali panggilanku berdengung tanpa ada jawaban. Pun dengan panggilan kedua dan ketiga. Sejenak aku melirik arloji di pergelangan tangan. Pria itu harusnya sudah kembali ke ruang redaksi untuk menghabiskan penghujung hari bersama naskah-naskah berita dan secangkir kopi. Atau berada di ruang rapat untuk turut serta menentukan berita yang layak dijadikan headline utama. Ya, harusnya begitu. Akan tetapi, untuk pertama kalinya, firasatku berbicara lain.
Rahasia yang dikubur dalam-dalam justru sengaja ia bawa ke permukaan. Bukankah polanya sama seperti Rachaele saat kami bertemu tempo lalu? Jika Rachaele bisa dihabisi dengan mudah, maka Pierre ....
God!