Satu minggu berlalu sejak kematian Pierre, aku masih mengurung diri di apartemen. Katedral Notre Dame dan Seine jadi pemandangan yang saban hari tersuguh dari balik jendela berbingkai tinggi. Pun dengan padatnya jalanan Paris yang membuatku merindu pada segala aktivitasku.
Namun, aku harus mengakui keterpurukanku. Seorang Corin Lafebvre tak lagi mampu pura-pura baik-baik saja. Dalam waktu kurang dari satu tahun, aku kehilangan tiga orang secara berturut-turut. Kejam, bukan?
Terkadang terbersit keinginan untuk menyerah, menarik diri dari dunia dan segala intriknya. Sayangnya selalu ada celah untuk mengurungkan niat. Selalu ada ambisi yang membuatku terus melangkah meski tertatih. Sebab seluruh hidup kudedikasikan untuk bekerja.
Menyusuri setiap sudut kota dan berjibaku dengan polusi demi sebuah informasi ter-update adalah kebanggaan tersendiri. Saat namaku terpampang di kolom Du Monde bersama berita yang kutulis, ada gelegak haru yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Wajar saja, mengingat perjalanan untuk menjadi bagian dari surat kabar terbesar di Perancis bukanlah hal mudah. Ada jam tidur yang harus kukorbankan, lelah yang kutahan mati-matian, kebebasan yang mesti kulepas, nyali yang harus dibesarkan berkali-kali lipat, skill dan insting yang selalu diasah, juga teror dari para penguasa yang merasa terusik akan kehadiranku. Namun kini, aku benar-benar kehilangan arah.
Kepergian Pierre jadi pukulan terbesar untukku setelah kehilangan orangtua. Bayangan kematian pria itu terus datang menghantui malam-malam panjangku. Bahkan sering kali aku terjaga hingga pagi ditemani secangkir kopi. Seperti sekarang.
Duduk di tepi jendela sembari menikmati pemandangan Kota Paris, sapuan angin malam yang menelusup membawaku hanyut dalam pikiran bercabang. Berulang kali kata maaf terlontar pada mendiang Pierre karena aku tak mencari tahu lebih dalam alasan dibalik tindakannya memalsukan berita. Terkadang umpatan pun lolos begitu saja mengingat takdir yang kelewat kejam. Dan berbagai pertanyaan menyerbu tanpa aba-aba: kenapa harus ada makhluk bernama vampir? Kenapa harus manusia yang dihabisi? Kenapa pula aku yang terlibat dengan bangsa mereka? Serta masih banyak lagi pertanyaan yang tak kutemui jawabnya.
Aku menarik napas panjang sembari memejamkan mata saat harum kopi yang tertiup angin menggelitik penciuman. Meski hanya selintas, tapi terasa begitu menenangkan. Sayangnya, ini jadi cangkir kedua sekaligus terakhirku lantaran toleransi lambungku terhadap kafein makin menurun akhir-akhir ini.
"Kau baik-baik saja?"
Sejenak aku lupa, bahwa kamar ini bukan milikku seorang. Ada sosoknya yang selama satu minggu terakhir setia menemaniku melamun. Tak peduli meski kesibukannya terkadang baru usai menjelang tengah malam. Sekalipun aku terkesan menjaga jarak, ia tak pernah ambil pusing. Bahkan, ia selalu jadi satu-satunya yang secara sigap mendekapku erat setiap kali terbangun dengan napas memburu dan penuh ketakutan.
"Ya," balasku singkat. Atensiku masih tertuju pada Katedral Notre Dame dan Seine yang bermandikan cahaya di malam hari.
Dalam sunyi yang menyelimuti kami, ingatan tentang hari-hari yang kulalui bersama Felix melintas begitu saja. Sebelum hari pernikahan, aku begitu percaya diri akan menutup kisah kami dengan gugatan cerai. Yang ada di benakku kala itu hanya bagaimana caranya terlepas dari Felix Francois. Namun kini, aku justru mengutuk takdir kenapa kami terlahir dari bangsa yang berbeda.
Vampir dan manusia. Harusnya memang tak hidup berdampingan. Lihatlah, berapa banyak nyawa manusia yang melayang akibat ulah makhluk bertaring itu. Dan lihatlah bagaimana Felix membodohiku, menekanku agar mau menerima kerja sama yang berujung pernikahan. Kelicikannya membuatku gegabah dalam mengambil keputusan. Mutasi yang sebenarnya menyelamatkanku justru kuanggap sebagai hukuman, sebagai penghinaan atas dedikasiku. Gengsi yang teramat tinggi turut memperkeruh pikiran kala itu. Ditambah provokasinya yang terdengar amat meyakinkan.
"Kau yakin tidak perlu bertemu psikolog untuk mengatasi trauma? Selama satu minggu kau hampir tak pernah tidur."
Ia bahkan berpikir sejauh itu. Namun, daripada menanggapinya, aku justru tertantang untuk menghancurkan sekat di antara kami. Dalam situasi semacam ini, aku sadar betul takkan bisa bertahan seorang diri. Harus ada tameng jika sewaktu-waktu aku jadi target selanjutnya. Vampir hanya bisa dikalahkan oleh sebangsanya. Jadi, Felix adalah pilihan terbaik untuk mencari perlindungan.
"Kau sudah tahu sejak awal, bukan?" Aku bergeming di sofa panjang. Tak ada keinginan untuk menoleh dan menatapnya. Dari aroma cedar wood yang tercium kuat, cukup untuk mengabarkan bahwa Felix masih bertahan di ambang pintu.
"Maksudmu?"
"Sejak awal kita bekerjasama kau sudah tahu siapa yang kuhadapi, kan? Katakan saja, mau sampai kapan kau menyimpan rahasia?"
"Rahasia apa yang kau maksud?"
Aku tersenyum samar sebelum menoleh. Paras rupawan nan dingin itu kutatap penuh makna.
Skenario seperti apa yang sebenarnya menjerat kami? Apa yang semesta inginkan? Dua keturunan berbeda dipersatukan dalam pernikahan. Terlepas dari motif yang melatarbelakangi, janji suci itu kami ucapkan di hadapan Tuhan. Bahkan katedral yang jadi saksi bisu pun masih berdiri kokoh di seberang sana.
"Corin."
"Duduklah," pintaku seraya menunjuk sisi kosong di sofa yang kutempati.
Aku lantas beranjak, melewatinya yang mendekat dengan ekspresi penuh selidik. Tujuan utamaku saat ini adalah laptop yang tergeletak di meja dekat pintu balkon. Sejak mengajukan cuti satu minggu lalu, perangkat tempur itu tak kusentuh sedikitpun.
Beberapa kali aku menghela napas saat laptop menyala. Terlebih ketika USB yang Pierre berikan sebagai hadiah pernikahanku kembali tertancap. Butuh banyak keberanian untukku membuka kembali file yang pria itu tinggalkan. Karena bagaimanapun, Pierre bukan sebatas rekan kerja. Dia laksana saudara.
Setelah berhasil menguasai diri, aku mendekati Felix yang sejak tadi tak melepas pandangan dariku. Tanpa sepatah kata, laptop yang ada ditangan aku serahkan padanya. Tak perlu diperintah, Felix memutar video yang Pierre rekam secara sembunyi-sembunyi di area parkir Lycee Saint-Louis. Sementara aku hanya duduk tertunduk di tepi ranjang.