“Reporter bukan Tuhan, wajar bila melakukan kesalahan, Corin. Terlebih lagi, ini pertama kalinya kau meliput demo rompi kuning dan berakhir ricuh. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Sesekali datanglah ke Colmar dan jernihkan pikiranmu. Penginapan kami selalu terbuka untukmu. Katakan pada Nyonya Cour kalau kau adikku dari Paris."
"Jangankan adik. Aku akan dengan senang hati mengaku sebagai pacarmu asal bisa mendapat diskon 50% di penginapan elit kalian."
"Oke! Voucher gratis menginap selama satu minggu kalau kau berani mengaku sebagai pacarku."
Dua tahun berlalu sejak taruhan itu dibuat, aku benar-benar menjejakkan kaki di tanah ini. Colmar, sebuah kota di pinggiran Perancis yang selalu dielu-elukan Pierre semasa hidupnya.
Rumah-rumah bergaya gotik khas Jerman dan neo baroque yang dicat berwarna-warni, kanal dengan kapal-kapal wisata, juga bunga yang bermekaran di sepanjang jalan, tak pernah luput dari penuturannya setiap kali membicarakan kampung halaman. Pun dengan kereta wisata yang selalu dipenuhi pelancong.
Ucapannya tentang negeri dongeng di dunia nyata bukan sekadar isapan jempol. Sayangnya, kedatanganku bukan untuk menikmati kemolekan setiap sudut kota ini. Bukan pula untuk mencari magis dan ibu peri layaknya kartun Disney. Melainkan untuk mengunjungi Pierre de la Cour di peristirahatan terakhirnya.
Terlambat? Benar. Harusnya aku datang bersama Felix saat pemakaman pagi itu. Sialnya, aku harus mengurungkan niat usai menjumpai mobil berwarna putih terparkir di depan apartemen. Tubuhku mendadak bergetar dengan keringat dingin bercucuran. Lututku kelewat lemas untuk sekadar menopang tubuh. Bahkan aku nyaris tersungkur bila Felix tidak gesit menangkapku. Mau tak mau, aku pun harus kembali mendekam di apartemen.
Setelah dua minggu berjuang melawan trauma—yang akhirnya melibatkan psikolog—di sinilah aku berada, bersimpuh di samping makam Pierre dengan tubuh bersandar ke pohon oak.
Sejak kedatanganku 5 menit lalu, tepatnya pada pukul tiga, tak ada sepatah kata pun yang terlontar. Pun dengan air mata yang seolah habis terkuras sepanjang perjalanan dari Paris. Beruntung kami urung menggunakan kereta. Bila tidak, mata sembabku hanya akan jadi tontonan. Begitu pula dengan kotak karton hitam berisikan barang-barang milik Pierre yang kini berada di sisi tubuhku.
Aku menyempatkan bertandang ke Du Monde pagi tadi atas permintaan Lyle. Pria tua berambut putih itu tak jemu memantau kondisiku usai kematian Pierre. Nyaris tiap hari, sosok yang pernah membuatku naik pitam perkara mutasi tugas itu mengirimiku pesan. Inti pertanyaannya selalu sama, bagaimana kondisimu?
Lyle pula yang mencarikan psikolog terbaik untukku, mengatur jadwal temu, bahkan menanggung semua tagihannya. Aku benar-benar benci terlihat rapuh dan dikasihani. Namun, setiap kali Felix dan aku menyuarakan keberatan, tanggapan pria tua itu tak berubah sedikit pun, ini bagian dari fasilitas kantor, jadi jangan menolaknya karena kau masih karyawan Du Monde.
Dan saat mendengar kabar aku akan ke Colmar, pria itu mengirimkan foto kubikel Pierre yang nampak kesepian. Buku-buku menggunung bercampur dengan koran, sticky notes masih tertempel di pojok monitor komputer, serta dua bingkai foto, semuanya masih di tempat yang sama ketika aku sampai di kantor pagi tadi. Lyle sengaja melarang penghuni ruang redaksi untuk menyentuhnya.
"Dua hari sebelum kepergiannya, Pierre menemuiku untuk berterimakasih sekaligus meminta maaf. Dia juga berpesan, jika sesuatu terjadi, jangan ada yang menyentuh kubikelnya sebelum kau. Kukira dia akan pergi untuk menyelidiki kasus besar seperti beberapa tahun lalu. Ya, kau tahu seperti apa nekatnya anak itu. Apalagi sebelum kasus kematian Dusan, dia sempat bertanya padaku perihal perdagangan manusia dan organ dalam ... kini, aku sudah memenuhi wasiatnya. Kau bisa membereskan barang-barangnya."
Selama ini kami bekerja dengan logika hingga tak jarang orang-orang menganggap tak berperasaan. Padahal, begitulah cara mempertahankan netralitas. Kami dilatih untuk mengedepankan profesionalitas agar tak menimbulkan bias. Bila ditanya apakah tidak memiliki simpati, tentu punya.
Akan tetapi, saat bertugas sebagai reporter, pantang untuk terbawa suasana. Dalam kondisi mencekam sekalipun, kami dituntut untuk berani dan tetap tenang. Bahkan tak jarang, aku kesulitan menebak perasaan Lyle dan para senior di kantor saking lihainya mereka dalam mengendalikan perasaan. Namun hari ini, sepasang mata tua itu menyiratkan kehilangan mendalam ketika menyampaikan wasiat Pierre.
Langkahnya tak setegas hari-hari lalu. Kepala yang biasanya tegak saat berjalan, hari ini nampak tertunduk begitu dalam. Lyle bahkan tak menemaniku mengepak barang-barang Pierre ke dalam boks. Ia baru menjumpaiku lagi saat turun ke lobi. Berdiri bersisihan dengan Felix yang mengambil alih kotak dari tanganku, Lyle menepuk lenganku dua kali sambil berkata, ‘hati-hati di jalan dan jaga diri kalian’.
Aku menghela napas saat semilir angin musim semi membelai wajah, mengusik ingatan tentang Du Monde dan seisinya yang kutinggalkan dua minggu ini. Tatapanku beralih dari batu nisan ke note teratas yang ada di antara tumpukan barang milik Pierre. Tampilannya tampak usang dan tidak layak disimpan. Warna hitamnya mulai pudar dan kotor di bagian ujung. Pun dengan magnet pengait yang tak lagi erat. Meski begitu, isinya adalah harta berharga yang mampu mengoyak emosi.
Dibuka dengan serangkaian kasus besar yang lewat begitu saja karena pengalihan isu, bagian tengah hingga akhir catatan justru serupa rekaman hidup sang redaktur desk kriminal. Tak terkecuali tentang pergolakan batinnya beberapa waktu terakhir. Rasanya tidak berlebihan bila note setebal novel 200 halaman ini kusebut sebagai sisi rapuh seorang Pierre.
"Maaf menempatkanmu dalam kesulitan dan meluruhkan segala ambisimu untuk menjadi reporter terbaik di kriminal. Seharusnya, sejak awal aku tidak menugaskanmu meliput kematian Dusan. Kini, satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk menyelamatkanmu hanyalah mengajukan mutasi tugas ke Lyle. Keselamatanmu adalah prioritas utama. Sebab kau dan rasa penasaranmu yang begitu besar adalah santapan empuk untuk Raimond."
Rasanya sangat terlambat untuk mengucapkan kata terima kasih. Meski begitu, aku tetap merapal tanpa suara. Batinku memanjatkan syukur lantaran pernah memiliki rekan kerja setulus Pierre. Dia menjaga orang-orang di sekitar dengan caranya sendiri. Bahkan sekalipun salah paham membelenggu kami, ia tetap menyebutku dalam wasiatnya.
"Kurasa penilaian Corin tentang Felix sangatlah benar. Raja skandal si pengacau. Susah payah aku menyingkirkan Corin dari kasus Dusan, justru dia datang bak pahlawan. Aku tidak peduli apakah mereka pernah punya hubungan di masa lalu atau tidak. Harusnya bukan dengan cara seperti ini jika ingin menolong Corin yang dipermalukan dalam acara reuni.
"Dan bodohnya lagi, si bebal Corin Lafebvre itu seperti sudah mengenal dunia dengan baik. Berulang kali diingatkan tapi masih bertindak ceroboh dengan mengikuti insting. Padahal instingnya tidak lebih baik dariku saat pertama kali terjun ke dunia jurnalistik. Sial, harusnya aku menyusup saja ke acara mereka malam itu, bukannya melakukan investigasi penjualan organ."
Kekesalan dan keputusasaan tergambar jelas dalam tulisan tangannya. Sama sepertiku saat pertama kali terjerat skandal dengan Felix. Sama seperti perasaanku saat bertemu dengan Pierre di atap kantor usai kecelakaan yang disengaja.
Malam itu, awal dari kecurigaanku terhadap Pierre. Detik di mana dia ingin tahu lebih banyak mengenai kesepakatanku dengan Felix, adalah detik di mana aku mulai mempertanyakan keberpihakan pria itu. Serta merta aku memandangnya dari sudut negatif. Ternyata, asumsiku keliru. Dibalik tampangnya yang menyebalkan saat mengolokku, juga ketenangan yang coba dia tunjukkan, Pierre justru menyimpan penyesalan sekaligus kebingungan yang begitu besar.
"Lelucon macam apa lagi ini? Sepertinya Tuhan benar-benar mengirimkan Corin Lafebvre ke dalam hidupku sebagai hukuman. Mungkin Tuhan ingin aku mengingat kesalahan fatal yang kubuat di masa lalu. Namun, harusnya bukan dengan kisah seperti ini, 'kan?
Menikah dengan Felix, yang benar saja? Kenapa dia begitu bodoh? Bukannya keluar dari kubangan setan, dia justru terperosok makin dalam. Aku harus mengingatkannya dengan cara apa lagi? Baik Raimond maupun Felix mereka sama saja. Kau tidak akan pernah bisa bersatu dengan mereka. Dunia kalian berbeda."
Aku mengerutkan alis, merasa bingung tentang kesalahan fatal yang dia singgung. Sebab aku buta akan masa lalu Pierre. Pria berhidung mancung itu tak pernah menceritakan hidupnya secara detail. Justru dia lah yang jadi 'tempat sampah' setiap kali aku merindukan mendiang orangtuaku.
Namun, izinkan aku untuk berterimakasih sekali lagi. Nyatanya, aku terlihat begitu berharga di mata Pierre. Saat kukira tak ada yang memikirkanku begitu dalam—selain Flo—justru ada sosok yang diam-diam mengkhawatirkanku. Ada sosok yang selalu memastikan keselamatanku.