🍁
Alvaro menaiki motornya. "Ayo, naik Ta. Kalau kelamaan di sini nanti kita bisa telat ke sekolahnya," ujar Alvaro.
Aleta menurut, dia langsung menaiki jok belakang motor Alvaro. Alvaro mulai melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
Di perjalanan hanya ada keheningan di antara mereka, mereka sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing.
"Gue gak pernah ngerasain perasaan sebahagia ini kalau sama orang lain. Kenapa Aleta yang baru gue kenal bisa bikin hati gue kaya lari maraton gini?" batin Alvaro bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
"Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa ketemu sama orang baik seperti Alvaro. Aku bersyukur karena Alvaro telah hadir di kehidupanku, aku berharap aku bisa punya teman yang banyak di sekolah," batin Aleta tersenyum tipis.
Alvaro memarkirkan motornya di parkiran sekolah, banyak tatapan mata yang melirik ke arah Alvaro dan juga Aleta. Orang-orang menatap Aleta dengan tatapan jijik dan sinis, tidak ada tatapan suka dari satu orang pun.
Mereka mengamati Aleta dari atas sampai bawah, mereka langsung jijik ketika melihat sepatu Aleta yang sangat jelek.
"Lihat deh sepatunya, pantes banget disebut sampah."
"Ternyata dia orang yang dapet beasiswa itu. Astaga, kenapa harus orang miskin sih yang sekolah di sini, gak level banget sama kita."
"Akh, kenapa harus ada sampah kaya dia yang sekolah di sini."
Aleta hanya tersenyum miris dari balik helm yang ia pakai. Ternyata sama saja, di manapun ia berada pasti ada orang yang menghinanya. Aleta merasa hatinya terasa sesak saat orang-orang di sekitarnya selalu menghinanya. Apa Aleta seburuk itu di mata mereka?
"Biar gue bantu ngelepasin helmnya," tawar Alvaro.
Aleta hanya diam, dia masih terhanyut dalam pikirannya sendiri. Alvaro melepaskan helm dari kepala Aleta lalu ia menaruh helm itu di atas motornya.