Semua orang sepertinya tahu kalau berdiri di atas gunung setinggi 1400 meter di atas permukaan air laut saat fajar belum muncul akan membuat bulu kuduk merinding akibat dingin yang menusuk kulit. Jubah berjuntai yang kami pakai, meskipun tampak tebal dan serba tertutup, tetap tidak sanggup mencegah respons tubuh yang seolah membeku. Anehnya, ada saja sekelompok orang yang memutuskan untuk berkemah di tempat dan waktu tersebut, termasuk aku. Aku dan teman sekelasku di akademi harus menahan hasrat menghangatkan diri untuk menuntaskan pelajaran kami di area yang kurang bersahabat ini.
Pelajaran yang kumaksud bukan tentang tanah dan vegetasinya atau metode bertahan hidup di hutan rimba. Pelajaran kami tak lain dan tak bukan adalah bagaimana cara mengendalikan cahaya matahari agar dapat menghangatkan tubuh. Hangat yang dimaksud adalah suhu yang sesuai untuk tubuh. Kalau bisa juga sekalian menghangatkan tubuh orang atau makhluk lain. Mengapa kami memulai pelajaran ini padahal sang raja api belum muncul? Nah, alasannya adalah guru kami yang sangat pengertian menginginkan muridnya merasakan dingin yang hebat sehingga lebih termotivasi untuk menghangatkan diri.
Masih mengantuk, kuputuskan untuk duduk dan menunggu keindahan yang sebentar lagi akan menunjukkan diri. Sebenarnya aku sudah lama mahir menghangatkan diri bahkan tanpa bantuan sinar matahari. Pada malam hari, daerah tempatku bernaung terlalu dingin untuk manusia pada umumnya. Ilmu menghangatkan diri sangat berguna untuk keberlangsungan hidupku sehari-hari.
“Harlock, saya minta tolong kamu untuk membimbing Nona Verrunt menghangatkan diri. Sampai sekarang saya masih tidak percaya mengapa ia bisa naik ke tingkat akhir padahal membuat api dari gesekan kayu saja tidak mampu,” gerutu seorang wanita tua.
“Ya, Nyonya!” jawabku sekenanya.
Wanita tua yang menggerutu barusan adalah guru kami, Nyonya Stolma. Beliau benar-benar tidak peduli kalau ucapannya akan sangat menyakiti hati siswanya seperti sahabatku yang ia sebut barusan, Vyene Verrunt. Terus terang, Vyene memang kurang mamapu dalam pelajaran Pyrokinesis atau pengendalian api. Namun, ia hebat di bidang lainnya. Malang sekali nasibnya, guru yang mengajari Pyrokinesis di Akademi Safis justru adalah Nyonya Chavandra Stolma, si galak nan sadis. Kesalahan sekecil telur semut dapat mengakibatkan terdakwa dihina sampai tujuh generasi diatasnya.
Matahari sudah mulai terbit. Puncak gunung semakin lama semakin ketahuan warnanya. Cahaya matahari layaknya pedang-pedang yang menyusup dari balik kabut. Hanya disaat seperti sekarang mata telanjang manusia dapat melihat matahari secara langsung tanpa perlu khawatir akan sakit mata. Warnanya kekuningan bercampur merah, juga sedikit sentuhan jingga. Cahayanya begitu lembut. Kehangatan Sang Raja Api di saat seperti ini nyaman sekali untuk kulit. Aku sangat menikmati menatap keindahan bola besar itu sampai tidak sadar kalau Nyonya Stolma sudah berdiri di sebelah kananku.
“Indah bukan? Inilah sumber dari segala ilmu api-apian di dunia. Matahari begitu menawan, megah, dan menakjubkan. Kalau kamu tertarik kepada matahari, kamu bisa belajar api lebih banyak lagi dengan saya setelah lulus nanti,” rayunya dengan nada halus.
“Ya, Nyonya Stolma! Tentu akan menarik mempelajari api lebih banyak lagi dengan Anda,” jawabku terpaksa. Aku juga sedikit mengangkat ujung bibirku, tersenyum simpul.
“Ayo! Sudah waktunya latihan,” ajaknya lembut.
Dimulailah latihan menghangatkan diri. Teman-temanku sibuk menutup mata dan memasang kuda-kuda seolah-olah mereka akan berubah menjadi raksasa atau sedang berusaha memunculkan sayap di punggung mereka. Aku merasa latihan ini tidak berpengaruh banyak terhadapku sehingga memilih untuk mengamati teman-temanku berlatih. Sebenarnya aku hendak tertawa dengan tingkah mereka, tetapi kutahan keinginanku demi menjaga kesopanan dan pertemananku kami.
Aku bengong saja, duduk diantara semak-semak Edelweis. Tidak terasa satu setengah jam berlalu. Nyonya Stolma mungkin sudah puas menghina-hina teman sekelasku yang belum mampu menghangatkan dirinya sendiri. Dengan teriakan khasnya, Nyonya Stolma mengakhiri pelajaran ini.
“Ayo semuanya! Pelajaran hangat-hangatan sudah selesai karena sekarang kalian tidak perlu lagi untuk menghangatkan diri. Dan lihat saja Nona Verrunt! Seandainya kamu masih belum bisa menghangatkan dirimu sendiri di pertemuan selanjutnya, dengan senang hati saya antar kamu ke tingkat 6! Sekarang semuanya turun ke lereng gunung tempat kita biasanya latihan!” serunya lantang.
Oh, ternyata beliau belum cukup puas mengejek muridnya.
“Vyen, ayo?” ajakku lembut.
“Akia, aku sangat takut kepada Nyonya Stolma. Bagaimana bila aku benar-benar diturunkannya ke tingkat 6?” jawabnya ketakutan.