Ini adalah kali pertama aku mengunjungi Markas Nefelodis. Dari posisiku saat ini, hanya ada tembok semen yang tinggi dan tebal yang mengelilingi Markas Nefelodis. Ada semacam gerbang disana. Tidak begitu besar mungkin karena gerbang tersebut bukan gerbang utama. Aku ingin berlari ke arah gerbang namun sesuatu menahanku, atau lebih tepatnya mencegahku bergerak.
“Jangan mendekat sembarangan! Bisa jadi nanti kau ditembak penjaga gerbang,” ujar sang penyelamatku.
“Apa kau tak bisa berjalan lebih cepat? Percuma saja kau Nefelodis,” desakku kesal.
“Ya sudah, pergilah!” dia kemudian melepaskan tanganku dari cengkeramannya.
Dasar manusia ini! Tentu dia bisa bilang seperti itu karena tahu aku tak mungkin pergi. Awas saja, ketika ada kesempatan, akan kubuat rambutnya gosong!
Lelaki itu akhirnya sampai di gerbang Markas Nefelodis. Dia meraih sesuatu semacam pin dari sakunya dan memasukkannya ke lubang yang bentuknya sesuai di gerbang tersebut. Gerbang pun terbuka.
Aku mengikutinya masuk. Lelaki itu pergi ke sebuah pos penjaga di sisi kiri gerbang. Dia berbicara dengan seorang pria tinggi dan besar dari pos penjaga sembari menunjuk ke arahku. Menurut pemikiranku, dia sedang menjelaskan mengapa seorang Safis sepertiku masuk ke daerah mereka. Namun ketika aku akhirnya memutuskan menyusul lelaki penolongku ini, lelaki yang satunya berkata kepadaku,
“Lain kali jangan ngejar kodok sampai ke dalam hutan belantara ya, Dek.”
“Apa?” aku berpura-pura kurang mendengar dengan jelas.
“Sudah, Ro! Jangan diganggu lagi! Bisa jadi nanti dia membakar pos jagamu,” cetus sang penyelamatku sambil tertawa.
“Kau! Apa yang kau ceritakan kepadanya?” tanyaku ketus.
“Ayo pergi! Kau mau cepat kembali ke Safis, kan?” kata lelaki itu mengejek.
“Tentu saja!” balasku jengkel.
Benar. Aku harus kembali secepatnya sebelum lelaki itu merasa berkuasa atas driku. Kalau aku sudah pulang, mana peduli lagi aku kepadanya. Mungkin saja aku akan mengirimkan api kecilku untuk membuat bokongnya gosong.
“Kau bisa saja membakar bokongku setelah kau aman. Oleh karena itu, aku harus memastikan bahwa kau benar-benar pergi dengan bersih dari Nefelodis.”
“Jadi?”
“Aku harus mengawasimu dari dekat dengan sikap siaga dua,” katanya serius.
“Hah?”
Lelaki itu kemudian mengambil pisau dari dalam tas kecil di pinggangnya dan mengarahkannya ke leherku.
“Mari kita pergi ke markas pusat seperti ini,” katanya dari belakangku.
Aku terkejut dan juga malu karena beberapa orang melihat kami. “Kau sudah gila? Kau pikir aku tahanan?” kataku dengan volume suara yang rendah.
“Iya.”
“Hei!!!”
Lelaki itu benar-benar menggiringku seperti tahanan. Aku ingin kembali protes ketika mendadak ada seseorang yang menegur lelaki itu dari belakang kami.
“Aran? Apa yang sedang kau lakukan? Menyandera seorang Safis?”
“Tidak, hanya mempertahankan diri.”
“Hei, siapa pun itu, kumohon tolong aku! Dia dengan seenaknya memperlakukanku seperti preman pasar,” keluhku kepada entah siapa pun dia.
“Aran, lepaskan dia!” perintah orang itu.
“Tidak.”
“Aran, lepaskan dia! Kau mau mencari masalah dengan Safis?” serunya lagi dengan lebih tegas.
“... baiklah.”
Lelaki itu menyimpan kembali pisaunya ke dalam tas kecilnya.
“Aran, biar aku yang mengantarkan dia. Kau dipanggil Kapten Bumi. Beliau ada di Markas Pusat.”
“Oke...”
Lelaki itu pergi meninggalkanku bersama dengan orang yang akhirnya kulihat rupanya seperti apa. Seseorang ini memiliki rambut panjang yang lurus dan hitam legam. Ia memakai seragam Nefelodis. Aku berpikir ia adalah perempuan, dan memang benar. Ketika ia berbalik untuk menghadapku, ia memiliki wajah yang sangat cantik. Garis mukanya menunjukkan bahwa ia tegas dan berani mengambil keputusan yang besar. Sekali lihat aku langsung terpesona dengan wanita ini. Ingin sekali aku memanggilnya kakak.
“Maaf, ya? Aran mungkin sedang stres jadi dia kurang berpikir dengan waras,” bujuk perempuan ini. Suaranya terasa sangat dalam dan berwibawa. Aku benar-benar jatuh hati kepada perempuan ini.
“Ya, tidak masalah,” balasku dengan senyuman, berlagak memiliki kesabaran seluas samudera.
“Ayo, ikut aku! Biar kuantar pulang,” ajaknya dengan ceria.
“Oke.”