“Eh, Akia? Kenapa kau datang dari luar gerbang?” tanya Prein, salah satu bapak penjaga gerbang.
“Dan diantar oleh seorang Nefelodis?” sambung Zeo, bapak penjaga gerbang yang lain, tidak kalah heran.
“Panjang ceritanya, Pak. Aku bisa menceritakannya nanti secara lengkap. Sekarang aku harus segera kembali ke akademi sebelum terlambat. Aku masih ada kelas saat ini, Pak. Biarkan aku lewat?” pintaku sambil menampilkan wajah yang patut dikasihani.
“Hmm, gimana nih, Prein?”
“Yaudah, kasih saja. Akia tak mungkin berbohong. Ya, kan? Akia?” goda Prein.
“Ya, tentu saja!” jawabku dengan semangat.
“Kau boleh lewat, tapi bagaimana dengan pemuda ini?” timbang Zeo.
“Aku akan langsung pulang,” balas Aran, nadanya datar.
“Wah, berwibawa sekali suaranya,” canda Zeo. Prein ikut tertawa bersamanya.
“AKIAAA!!!”
Kami semua menoleh ke arah sumber suara.
“Vyen? Kenapa kau ada disini?” tanyaku tidak menyangka dia muncul di tempat ini.
“A, Aku ikutan bolos. Aku menunggumu disini sejak tadi kau masuk ke hutan.”
“Ya ampun, makasih,” balasku sambil memeluk sahabatku itu.
“Eh, ada Nefelodis mengantarmu? Kau laku sekali, Akia, sampai ke kasta lain,” godanya sambil menubruk bahuku dengan bahunya.
“Bukan begitu!!” seruku seraya mencubit pelan pipi Vyen.
Aran tampak bosan melihat interaksi kami, bersiap berbalik badan untuk pulang.
“Eh, Nak? Jangan pergi dulu! Kamu perlu mencatat namamu di kertas ini,” perintah Prein mencegah Aran melangkah lebih jauh.
Tanpa berkata apa-apa, Aran mencatatkan namanya di kertas yang disodorkan Prein. Sebelum benar-benar pergi, dengan baiknya ia memberikan amanat kepadaku:
“Jangan buat marah kambing lagi.”
Kemudian Aran pulang diiringi ringkikan kuda.
“Ini adalah pengalaman terburukku,” keluhku kepada Vyen ketika kami sudah berada di Markas Safis.
“Kenapa?”
“Aku dikejar kambing, tersesat di hutan, ditolong oleh lelaki sombong, dan diejek penjaga gerbang Nefelodis,” uraiku sebal. Aku tidak bilang tentang hutan dongeng yang Aran ceritakan.
“Wah, hebat sekali pengalamanmu. Apa kau melihat Hutan Alyotia?”
“Eh? hu, hutan apa itu?” tanyaku seolah tidak pernah mendengarnya.
“Itu adalah hutan indah yang ada di tengah hutan belantara timur. Itu juga disebut hutan cinta. Tapi tak sembarang orang bisa masuk kesana. Berarti kau juga tidak melihat hutan itu?”
“Begitulah,” ucapku lalu menelan ludah. Entah mengapa aku merasa kedatanganku kesana harus dirahasiakan.
“Kau juga pergi ke Markas Nefelodis? Asyiknyaaa... Seandainya aku juga ikut denganmu tadi.”
“Dasar! Untung bagimu karena kenyataannya kau tidak ikut.”
“Jadi, kita kembali ke Akademi?”
“Saat ini mungkin masih pelajaran Nyonya Stolma. Kita masuk saat pelajaran Nyonya Grees saja. Sekarang yang kupikirkan adalah apa alasan kita bolos.”
“Apalagi bolos saat Nyonya Stolma yang mengajar,” tambah Vyen ketakutan.
“Kau, sih, kenapa ikutan bolos?”