Safis

Shin-Shin
Chapter #10

Awal Peperangan

“Tim Inti Angkatan Akhir diharapkan datang ke Kantor Kepala Akademi. Sekarang!” perintah Nyonya Stolma tepat setelah semua anggota tim kami sampai di lereng gunung latihan. Tanpa banyak tanya kami spontan berlari menuju kantor kepala akademi. Kami sampai lupa kalau dengan bakat Wiluto, kami bisa sampai kesana dengan lebih cepat.

Sesampainya di Kantor Pak Kepala, Pak Kepala mengajak kami masuk dan menutup pintu dengan cepat. Beliau terlihat cemas, ketakutan, dan panik. Aku langsung bisa memperkirakan apa yang akan ia ucapkan.

“Maafkan saya. Saya tahu kalian masih perlu sedikit latihan lagi, namun sekarang juga kalian harus bersiap-siap. Kita bersama satu orang wakil dari masing-masing divisi akan pergi ke hutan belantara siang ini,” jelas Pak Kepala cemas.

“Apakah sudah ada tanda dari dunia tengah, Pak?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Ya! Tadi pagi daerah Pegunungan Perbatasan mengeluarkan cahaya hijau selama sepuluh menit. Biasanya kalaupun bercahaya, Pegunungan Perbatasan hanya memantulkan sinar matahari. Tapi kalau cahaya hijau yang muncul, maka berarti ada makhluk dunia tengah yang masuk ke dunia manusia.

“Oracle Aly, bagaimana?” tanyaku lagi.

“Anehnya ia tidak melihat apapun dalam ramalan atau mimpinya. Beliau bilang kalau ia seperti sedang dikendalikan atau dikacaukan. Sudahlah! Kita harus segera bersiap sekarang ini. Meski level rendah, jangan pernah meremehkan makhluk dunia tengah,” perintah Pak Kepala.

Baik, Pak!” seru kami serentak.

Sesudah membawa perlengkapan seperlunya, kami menunggu Para wakil dari tiap divisi di lereng gunung latihan. Seperempat jam kemudian mereka datang. Mereka adalah wakil dari Divisi Api, Angin, Air, dan Tanah. Ketua untuk perjalanan ini adalah wakil dari divisi api. Kami berkenalan dengan singkat lalu langsung memulai perjalanan ke Pegunungan Perbatasan.

Diperkirakan waktu kami untuk pergi pulang dari Pegunungan Perbatasan adalah seminggu. Kami kesana dengan berjalan kaki. Mengapa tidak menggunakan teleportasi? Jawabannya adalah karena kami ingin memeriksa daerah di sekitar Gerbang Dunia Tengah. Pak Kepala berspekulasi bahwa sudah ada makhluk Dunia Tengah yang melewati gerbang tersebut. Dengan bantuan Vyen, kami akan mudah melewati Hutan Belantara ini. Rute yang kami ambil melewati dua titik Gerbang Dunia Tengah sebelum sampai di Gerbang Dunia Tengah di Pegunungan Perbatasan. Rute ini melewati ruteku menuju Hutan Alyotia.

Aku sedikit khawatir bila hutan tersebut akan ditemukan olek timku. Aneh juga. Biasanya aku tidak pelit berbagi informasi.

Kami melewati Hutan Cemara dengan mudah. Ketika akhirnya kami memasuki Hutan Belantara, suasananya sama sekali tidak berubah. Malah menurutku lebih menyeramkan dibanding sebelumnya. Sinar matahari sungguh tidak dapat menembus lebatnya dedaunan hutan ini. Akar-akar mencuat membuat susah untuk berjalan. Akar-akar gantung ramai bergantungan disetiap pohon membuat sulit untuk melihat. Ditambah adanya kabut putih yang memenuhi rongga di hutan ini lengkaplah sudah untuk menutup indra penglihatan. Tekstur tanah yang tidak tertebak. Hewan- hewan buas yang menanti. Suara-suara mereka juga menghiasi indra pendengaran kami. Bebatuan yang tidak dapat terlihat dengan jelas. Ilalang yang panjangnya sepaha. Sungguh hutan belantara yang terawat keasliannya.

Ada kemungkinan kalau makhluk gaib yang ‘berkunjung’ sudah memasang jebakan untuk kami. Kami berjalan dengan langkah berhati-hati agar tidak terpeleset. Pemimpin jalan adalah Vyen. Seharusnya aku tenang kalau Vyen yang menjadi penunjuk arah. Kalau ada apa-apa dia bisa tahu dari pohon-pohon di hutan ini. Hewan pun mampu ia bujuk untuk tidak menyerang kami. Tapi aku terus merasa gelisah.

Sudah seperempat jalan menuju Pegunungan Perbatasan. Lima ratus meter lagi kami akan sampai di salah satu Gerbang Dunia Tengah. Begitulah kata Vyen (tentu saja aku tidak tahu apa-apa).

“Vyen, apakah betul tidak ada ‘mereka’ di sekitar sini?” tanya ketua kami untuk keempat kalinya.

“Menurut pohon-pohon ini tidak ada, Pak Ketua. Namun, aku memang merasakan ada yang aneh. Aku tidak menemukan Tsa hewan-hewan pada jarak dua ratus meter dari titik gerbang. Tetapi lain cerita kalau makhluk tersebut dapat membuat pohon-pohon ini berbohong.”

“Atau ia justru membohongi pohon-pohon ini?” tebakku.

“Kalau begitu, hanya ada satu makhluk dunia tengah yang mampu melakukannya,” kata Ketua.

“Kalau tidak salah, makhluk itu disebut...”

Ketika aku belum selesai berbicara, terdengar suara gemuruh yang sangat memekakkan telinga. Kami bersebelas refleks berlari, walau dengan susah payah, ke sumber gemuruh tersebut. Ternyata sumber gemuruh yang kami dengar berasal dari Reet, sesosok makhluk gaib yang sanggup membohongi pohon-pohon di dunia manusia. Bentuknya sendiri sudah seperti pohon pinus yang besar. Bedanya yaitu ia mampu berjalan menggunakan akar yang menjadi kakinya. Makhluk ini juga mempunyai dua batang yang menyerupai dan berfungsi sebagai tangan.

“Bagaimana? Apa kita bunuh saja makhluk ini?” tanya wakil Divisi Air kepada Ketua sembari mengambil kuda-kudanya.

“Reet tidak terlalu berbahaya. Ia tidak beracun dan tidak mampu mengendalikan Tsanya. Kita kembalikan saja ke dunianya,” jawab Ketua.

“Baiklah. Bagaimana kalau kita serahkan Reet kepada mereka bertujuh saja? Hitung-hitung sebagai latihan,” anjur wakil Divisi Udara.

“Setuju! Akia, segera pulangkan makhluk itu ke tempat asalnya dengan dibantu oleh teman-temanmu!” perintah Ketua.

“Baik, Pak Ketua,” sahutku.

“Vyen, bisakah kau suruh dia untuk pulang sendiri?” tanyaku kepada Vyen.

“Daritadi kucoba tapi signalku tidak ditanggapi,” keluh Vyen.

“Kalau begitu, kau tidak keberatan, kan, Vyen?” bujukku.

“Terserahmu saja, Ketua,” balas Vyen. Ia mengeraskan suaranya dibagian kata ‘ketua’. Dasar!

“Keynan, kurung dia dengan tanahmu!” Ini adalah perintahku yang pertama untuk timku.

“Baik, Ketua,” balas Keynan tersenyum.

Dengan ayunan tangannya, Keynan membuat tanah bergerak ke atas dan membentuk setengah bola lebih besar sedikit dari Reet untuk mengurung makhluk tersebut. Reet pun terkurung di penjara tanah setengah bola milik Keynan. Reet meronta-ronta dan memaksa keluar dengan cara memukul-mukul kurungan tanah buatan Keynan. Keynan sudah lebih kuat dari Reet. Kurungan tanahnya tetap bergeming.

“Keynan, arahkan kurunganmu ke Gerbang Dunia Tengah! Kalau mereka pasti akan masuk sendiri dan sulit untuk keluar lagi,” jelasku.

“Aye, Ketua,” sahut Keynan.

Keynan melakukan tepat seperti apa yang kuperintahkan. Akhirnya tanpa membuang tenaga berlebih, kami berhasil mengalahkan satu makhluk gaib.

“Kerja bagus, Akia dan teman-teman. Ayo kita lanjutkan perjalanan!”

Setelah Vyen memastikan tidak ada lagi yang mencurigakan di sekitar Gerbang Dunia Tengah yang pertama, Kami pun melanjutkan perjalanan kami menuju titik kedua Gerbang Dunia Tengah. Aku lebih percaya diri untuk menghadapi rintangan apapun didepan nanti. Saat itu aku belum menyadari kalau Reet hanyalah makhluk gaib level rendah.

               

Belum seperempat jalan menuju ke tempat tujuan, Pak Ketua memutuskan kalau kami harus bermalam di tempat kami berdiri sekarang. Tempat kami berdiri adalah sepetak tanah yang tidak lebar namun bebas dari akar-akar pohon yang mencuat juga batu-batuan yang mengganggu. Terlihat cocok sebagai tempat untuk beristirahat. Langit juga bisa sedikit terlihat. Ya, memang langit sudah gelap. Aku bertanya sudah seberapa “malam” sekarang ini kepada Pak Ketua.

“Sekarang sudah tengah malam, Akia. Saya keasyikan berjalan sampai lupa memeriksa waktu,” jawab beliau.

“Darimana Bapak tahu kalau sekarang sudah tengah malam?” tanyaku penasaran.

“Dari matahari, Akia. Matahari adalah penunjuk waktu khususnya untuk para pengendali api. Ya, kan, Devas?” jelas beliau.

“Ya, Pak!” jawab Devas.

“Istirahatlah selama enam jam! Tepat pukul tujuh nanti kita langsung melanjutkan perjalanan. Sepuluh meter dari pohon yang sudah saya tandai disana, ada sebuah sungai kecil. Pergunakanlah dengan sebijak mungkin!” perintah Pak Ketua.

“Akia, tidur bersama disini, ya?” rayu Vyen.

“Boleh,” jawabku.

Kami membentangkan alas tidur kami yang hanya selembar kain tipis. Jubah kami sudah cukup hangat dan menutupi kami dari bahu sampai mata kaki, jadi kami tidak membutuhkan selimut. Tepatnya kami tidak membawanya untuk meringankan beban bawaan.

“Akia, sebenarnya aku sudah bisa menghangatkan diriku,” ungkap Vyen tiba-tiba.

“Oh, ya? Sejak kapan?” tanyaku bersemangat.

“Semasa kita berlatih selama dua minggu ini, aku berlatih ini bersama Devas. Devas sangat baik mau mengajariku dengan serius. Dia menjelaskan pelajaran yang bagi murid lain amat sangat mudah kepadaku dengan mendetail tanpa ada rasa merendahkan sedikit pun. Devas orang yang baik, ya?” puji Vyen.

“Ya! Dia memang orang yang baik,” kataku setuju.

Lihat selengkapnya