Aku berjalan menuju pos. Prein dan Zeo biasanya akan menggodaku sebelum mengizinkanku melewati gerbang. Aneh, tidak ada celotehan mereka meski aku sudah tinggal dua meter lagi menuju pos mereka. Betapa terkejutnya aku melihat kalau pos itu kosong.
“Kemana Prein dan Zeo?” gumamku.
Jarang sekali Gerbang Utama tidak ada penjaganya seperti ini. Apa mereka berdua sedang bolos? (aku tahu kalau mereka sesekali bolos dan pergi ke kota).
Aku membuka gerbang itu, dan gerbangnya tidak dikunci juga. Aneh! Setelah aku berada di Pondok Tamu (tempat para pengunjung menunggu seseorang yang ingin mereka temui, tepat berada di tengah-tengah Markas Safis) juga tidak ada seorang pun kulihat. Pasti ada sesuatu yang terjadi, dan itu terkait dengan peristiwa di Pegunungan Perbatasan.
Sesampainya aku di asrama, kusempatkan berjalan menuju dapur tempat Vaya biasanya berada. Tidak ada juga! Asrama kosong melompong. Kemana mereka semua pergi? Tidak mungkin tidak ada seorang pun tinggal di tempat ini lagi.
Aku sudah sangat lelah untuk menyelidikinya. Kuputuskan untuk beristirahat di kamarku. Tempat tidur yang sudah lama sekali, sejak aku sudah bisa tidur sendiri, sangat nyaman untukku membaringkan diri. Hari sudah sangat sore, sore yang mendung. Aku tertidur dengan cepat. Sangat bukan Akia biasanya.
Aku terbangun keesokan harinya. Matahari sudah terbit lama. Aku kesiangan. Biasanya, walaupun hari libur, aku tetap bangun sebelum matahari terbit. Aku bangkit berdiri dan memerhatikan, ternyata asrama tetap kosong. Tubuhku segar sekali setelah tidur hampir dua belas jam. Tsaku terisi penuh. Sekarang aku siap untuk mencari tahu penyebab keganjilan di markas ini.
Aku mengganti pakaianku (dengan model yang sama persis) dan segera turun ke lantai satu menuju dapur. Vaya tidak ada juga. Aku menuju ke kamarnya. Nihil. Aku keluar dari asrama menuju jalan utama. Tetap saja tidak ada tanda-tanda kehadiran seorang pun disini.
Aku menuju ke Akademi. Aku sedikit berharap kalau mereka semua sedang belajar di kelas, meski itu artinya aku terlambat dan akan dimarahi habis-habisan oleh Nyonya Stolma. Namun ganjil sekali. Akademi tidak dihuni siapapun sekarang. Aku berjalan ke Kantor Kepala Akademi. Pak Kepala tidak ada disana. Aku berlari ke lereng gunung latihan. Tidak ada yang berlatih disana. Karena kesal, aku teleportasi ke rumah Vyen.
Aku terkejut sekaligus bahagia.
“Vyen?! Syukurlah! Kemana semua orang? Tidak ada seorang pun,” ungkapku sukacita.
“AKIAAA!!! Ya ampun! Kau selamat?? Kami semua mengira kalau kau tidak akan kembali dalam waktu dekat ini. Aku sampai menulisi banyak pesan ini untukmu supaya kalau kau datang 100 tahun lagi, kau tidak lupa kepadaku. Aku rindu sekaliii. Ak..”
“Kemana perginya semoa orang?” potongku cepat. Kalau tidak kulakukan, Vyen akan menghujaniku dengan ucapannya itu sampai besok.
“Oh! Banyak sekali yang terjadi ketika kau pergi selama dua minggu ini,” ujarnya.
“Dua minggu?? Aku pergi selama itu? Rasanya hanya dua hari saja aku di Dunia Tengah,” tuturku.
“Aku diperintahkan Atharon Akazia untuk bertarung dari sini saja, supaya aman. Aku mengerahkan semua makhluk hidup untuk mengalahkan Xue dan pasukannya,” terang Vyen.
“XUE?? Ma.. makhluk itu disini?” Aku sangat terkejut dan takut.
“Ya! Saat kau dan Aran diculik Myedus, kami melarikan diri dengan teleportasi Wiluto. Kami langsung melaporkannya kepada Pak Kepala Akademi, Aluki, dan Atharon Akazia. Saat itu juga Atharon Akazia mengadakan rapat mendadak di Pondok Pemimpin. Atharon sangat panik, apalagi mendengar kalau kamu diculik ke Dunia Tengah,” tutur Vyen takut.
“Untungnya Atharon masih berusaha untuk tenang dan berpikir panjang. Beliau mengajukan untuk segera mengumpulkan semua divisi dan para petarung. Semua pemimpin setuju,” sambungnya. “Anak-anak dan lansia diungsikan ke Markas Nefelodis. Hampir semua orang yang bisa bertarung pergi menyebar ke seluruh titik Gerbang Dunia Tengah. Beberapa tinggal disini untuk memasok makanan, bertarung dari jarak jauh, dan menjaga anak-anak dan lansia.”
“Kalian sudah bertarung berapa lama?” tanyaku penasaran.