Di sekeliling kami sudah bergelimpangan tubuh manusia. Kebanyakan adalah petarung Safis, beberapa adalah prajurit Nefelodis. Tidak tahu apakah diantaranya ada yang masih hidup atau tidak. Ada juga beberapa makhluk asing yang tergeletak dan mengeluarkan cairan hijau. Kuduga itu adalah pasukan Xue. Aran semakin yakin kalau arah yang ia tuju itu benar, maka ia mempercepat larinya. Aku menyiap-nyiapkan mentalku sendiri sejak bertemu dengan mayat Prein.
Sampailah kami di lokasi pertempuran. Pepohonan yang begitu lebatnya sudah rata dengan tanah di lokasi ini. Lubang-lubang banyak tercetak di tanah, batu, dan pohon yang masih berdiri di daerah pinggir. Bercak merah tidak kalah banyaknya menghiasi tanah yang sudah tidak jelas lagi warna apa. Pasti pengaruh dari mantra-mantra kelompok Safis. Di tengah kulihat segelintir pasukan Safis dengan yang sebenarnya sudah terluka, namun memilih untuk tetap berjuang mempertahankan harga dirinya. Kami berlari dengan sangat cepat ke arah mereka. Salah satu dari mereka melihat kedatangan kami. Dia adalah Zeo.
“Akia?? Syukurlah! Kabarnya kau terperangkap di Dunia Tengah. Ayo, bantu kami,” ungkap Zeo dengan perasaan lega.
“Ya! Aku juga sudah melihat Prein, tadi,” ucapku berduka.
“Aku sangat sedih melihatnya. Dia adalah partner penjaga gerbang yang asyik. Tapi, kita bisa saja menyusulnya sekarang juga kalau kita mau,” jawabnya, terdengar bercanda namun maksudnya sangat serius.
“Aku tidak mau! Prein juga tidak mau!” tegasku.
“Ya, kau benar!” Zeo setuju.
Aku berlari ke tengah-tengah arena peperangan. Beberapa makhluk asing menghalangiku. Aku sudah bersiap menembakkan bola Tsa, namun seseorang sudah menembaki mereka.
“Aku akan menjadi perisaimu!” teriaknya tegas.
Seketika jantungku bereaksi lagi. Keberanianku semakin menjadi-jadi, terutama kalau Aran sendiri yang menawarkan diri menjadi pelindungku. Makhluk-makhluk gaib itu biasanya tidak mempan bila diserang pakai senjata seperti senapan, panah, dan alat manusia lainnya. Kecuali kalau peluru dan panahnya sudah diberi kekuatan Tsa. Makhluk-makhluk yang ditembak Aran tidak bangun lagi. Apakah Aran menembak mereka dengan peluru Tsa?
“Nanti kujelaskan!” katanya seolah membaca pikiranku. Dia pelari yang jauh lebih cepat dariku. Saat ini dia sudah mengambil posisi sepuluh meter di depanku.
Dari kejauhan kulihat sesosok makhluk sedang berbicara dengan tersenyum sinis kepada... Atharon Akazia! Gawat! Makhluk itu pasti Xue! Xue itu mampu memengaruhi pikiran lawannya hanya dengan perkataannya.
“Atharon Akazia!!!” teriakku keras.
Beliau menoleh ke arahku, begitu juga dengan Xue. Wajah Atharon terlihat pucat seperti mayat.
“AKIA! JANGAN MENDEKAT!!” perintah Atharon Akazia.
Aku spontan berhenti berlari. Padahal Atharon tinggal dua puluh meter lagi dariku. Aran juga berhenti berlari. Dia mundur dan mendekat kepadaku.
“Pulang! Bawa serta teman Nefelodismu itu! Cepat!!” teriaknya. Atharon Akazia tidak seperti biasanya. Beliau terlihat sangat ketakutan. Keringatnya bercucuran.
“Dimana tim saya, Atharon?” Dengan kemampuan sehebat itu, kecil kemungkinan Wiluto dan kawan-kawan sudah tiada sekarang. Mereka pasti di titik perang yang lain.
“Mereka ada di Hutan Belantara! Ontarunt mengalihkan kami semua kesana sehingga iblis ini dapat leluasa muncul dari gerbang lain,” jelas beliau. “Sebaiknya pakai teleportasimu dan pergi saja dari sini! Bantuan dari negara akan segera datang.”
“Oh, Akia?” suara lembut yang ganjil memanggilku.
Dan yang memanggilku adalah Xue!
Raja Dunia Tengah itu tidak seperti yang kubayangkan. Tinggi badannya sepantaran Atharon. Tubuhnya ideal, berotot namun tidak kekar. Wajahnya manis. Kulitnya putih bersih. Dia seperti laki-laki yang polos dan kikuk. Namun, matanya sangat tajam dan menyeramkan. Warna pupilnya merah darah, sementara bagian warna putih yang biasanya ada pada mata manusia digantikan oleh warna hitam. Siapa pun yang melihat matanya akan merasa seperti ditarik masuk ke dalam kendali makhluk itu. Sangat pantas untuk mata raja monster.
“Kau datang juga, sayangku,” sambut makhluk itu dengan suara rendah namun merdu.
Detik itu juga aku merasa sangat jijik sekaligus takut yang amat sangat.
“Jangan-jangan kau belum tahu hubungan kita, ya?” tanya Xue tetap lembut. Lembut mengerikan.
Makhluk ini bicara apa dari tadi!
“Aku adalah Xue, raja para makhluk gaib di Dunia Tengah. Dan kau, Akia, adalah anakku.”
Jantungku berdetak kencang hingga terasa sakit sekali. Amarahku berkumpul di ubun-ubun. Rasanya sangat panas sampai kepalaku mau pecah.
“Siapa yang akan percaya!!!” bantahku keras.
“Safis sangat tega tidak menceritakan ini padamu. Coba kau tanya saja bocah ini, kalau tidak percaya!” katanya tetap tenang.
“Tidak perlu bertanya! Jawabannya sudah jelas!” bentakku. Beraninya dia mengatai Atharon kami bocah!
“Bagaimana, bocah? Apakah aku berbohong?” tanya Xue kepada Atharon Akazia. Aku menoleh ke arah beliau.
Atharon diam saja. Beliau tunduk menatap tanah di tempatnya. Apakah, apakah ini adalah jawabannya?
“A.. Atharon..” ucapku terbata-bata.
Atharon memalingkan wajahnya dariku. Ekspresi beliau terlihat menahan sesuatu di kerongkongannya, namun tidak mau ia keluarkan.