“Atharon Akazia, Xue sudah mati! Bisakah anda menceritakan yang sebenarnya kepadaku?” tuntutku tegas kepada pemimpin tertinggi Safis yang masih mematung.
“Akia, aku... Sekarang bukan saat yang tepat untuk..”
“Anda sudah berjanji! Lagipula, Xue sudah mati!” desakku marah.
“Xue belum mati, Akia. Dia itu...”
“Akan selalu membelah dirinya saat merasa terancam.”
Suara yang memotong ucapan Atharon itu dekat denganku. Begitu aku berpaling ke sumber suara, si pembicara sudah langsung berhadapan denganku.
Xue!
Xue menjambak rambutku dan memaksa mataku untuk melihat matanya dalam jarak yang terlalu dekat. Sakit sekali kurasa.
“Cukup sudah kau durhaka padaku! Sebagai ayah, aku pun sesekali harus tegas memperingatkanmu!” ancamnya serius. Suaranya sangat dalam dan menekan.
“A.. Aran,” ucapku terbata-bata. Hanya Aran yang bisa menolongku setidaknya untuk tidak menatap mata Xue.
“Sayang sekali. Serdadumu itu sudah kucampakkan jauh dari tempat ini,” ejek Xue.
Celaka!
Aku dibanjiri oleh ketakutan yang sangat besar. Kakiku gemetar. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Air mataku susah payah kutahan agar tidak keluar.
“Kau harus tahu, Nak! Tujuh belas tahun yang lalu, aku berhasil menembus pertahanan yang dibuat oleh Kaum Safis di Gerbang Dunia Tengah. Aku tidak bermaksud langsung menyerang. Aku mengubah wujudku menjadi manusia Safis,” tuturnya.
“Aku memakai jubah mereka dan bertingkah laku seperti mereka. Mereka tidak mencurigaiku sama sekali. Bodoh, bukan? Bahkan seorang perempuan Safis jatuh cinta kepadaku. Ia memohon-mohon supaya aku membalas perasaannya. Akhirnya aku menghampirinya. Ia mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan. Anak itu adalah kau!” sambungnya.
“Akhirnya kuceritakan kepada perempuan itu kalau aku adalah Xue. Aku adalah seorang raja yang beranggungjawab. Kuajak perempuan itu dan anaknya tinggal bersamaku di Dunia Tengah. Perempuan itu tidak sanggup mengkhianati kaumnya. Ia bunuh diri begitu saja. Aku tidak mungkin bisa membesarkanmu sendiri di Dunia Tengah. Karena itulah aku meletakkanmu di depan pintu Asrama Safis. Pasti kau akan dirawat oleh seseorang, itulah yang kupikirkan. Maafkan aku sudah meninggalkanmu, tapi itulah pilihan terbaik. Sudah mengerti?” jelasnya sembari mendesakku.
Aku bergeming. Sebagian karena tidak mau percaya, sebagian karena tubuhku tak sanggup lagi untuk kugerakkan.
“Dari awal hanya akulah tumpuanmu, Akia. Kau tidak punya siapa-siapa selain aku. Ibu angkatmu? Dia bahkan tidak mau kau sebut Ibu, bukan? Itu karena ia setengah hati merawatmu. Kau mau mengandalkan bocah Akazia? Dia hanya pemimpin yang lembek dan penakut. Vyen? Dia hanya memanfaatkanmu untuk kau ajari dalam akademik. Kau tidak pernah ada di dalam hati siapapun disini. Kau tidak pernah, Akia,” hipnotisnya.
Kesedihan dan kesepian yang kuyakin sudah kukubur dalam-dalam menyeruak dari hatiku. Aku sudah termakan mantra Xue bulat-bulat. Sedikit dari kesadaranku paham kalau aku hanya diperdaya oleh makhluk ini. Namun, perasaan negatif yang selama ini kupendam menyeruak dengan cepat. Jantungku terasa perih. Pandanganku bergoyang-goyang. Tiba-tiba saja amarah menguasaiku. Bunga-bunga api terpercik dari kulitku. Xue melepaskan kunciannya dariku.
“Kau adalah anakku, Akia. Jangan percaya kepada manusia mana pun. Ayo, kemarilah! Bantu Ayah membasmi serangga-serangga ini,” bujuknya dengan lembut.
Gas-gas ungu yang menghitam keluar dari pori-pori kulitku. Aku tidak merasakan tubuhku lagi. Amarah yang menggerakkanku mengikuti Xue. Aku tak bisa melawan perasaanku. Wktu yang cukup lama untuk menguburnya sia-sia saja. Xue dengan mudah mampu membukanya dan mengendalikan diriku yang penuh dengan perasaan negatif. Maafkan aku, Safis. Aku sudah bukan anggotamu la..
“Bodoh!!!”
Teriakan yang kukenal. Maaf, Aran. Hinaanmu tidak bisa menembus hipnotis Xue.
“Heh? Ternyata kau sebegitu bodohnya?”
Ejekannya itu berhasil membuatku menolehkan kepalaku ke arahnya.
Aran berjalan dengan bertopang ke sarung pedangnya. Satu kakinya patah. Tubuhnya penuh luka dan lebam. Keadaannya payah sekali. Namun, ia masih saja terlihat gagah meski datang dengan terpincang-pincang.
“Akia!!”
“Dengarkan aku!”
“Bagaimana pun statusmu!”
“Kau adalah kau!!!”
“MENGERTI??”
Kau seharusnya jangan berteriak, dungu! Itu akan memperparah kondisimu. Tapi, hanya untuk mengeluarkanku dari pengaruh Xue, kau mau mengorbankan dirimu? Dasar keras kepala. Selalu ingin melebihi aku.
Aran...