Aku terbaring di tanah. Kesadaranku timbul tenggelam. Ditengah keadaan yang seperti mimpi, aku mendengar suara yang kukenal.
“Tolong selamatkan Akia!”
Tidak salah lagi. Suara tersebut milik Vyen. Perasaan lega seketika membuatku tenang kembali.
“Dia hanya kehabisan tenaga. Setelah beristirahat seharian ia akan sembuh.”
“Benarkah? Syukurlah!”
“Masalahnya adalah yang seorang lagi.”
“Maksud Anda prajurit laki-laki dari Nefelodis itu?
Aran!
“Ya! Lukanya sangat kompleks. Dia memiliki luka bakar normal dengan luka bakar dari makhluk gaib. Dia terkena tubrukan yang dilapisi Tsa dengan sangat keras sehingga tulang punggungnya patah. Kaki kanannya juga patah karena jatuh dari ketinggian yang sama berkali-kali. Sudah cukup hebat dia masih bisa hidup sekarang.”
Aran masih hidup? Syukurlah.
“Tapi masalahnya...”
“Dia takkan berguna lagi!”
Suara itu.. Kalau tidak salah itu adalah...
“Aran sudah tak mampu menjadi prajurit tangguh seperti biasanya. Dia hanya akan mengurusi hal yang remeh temeh. Masa depannya sudah hancur.”
Lana?
“Jasanya dalam perang ini pasti akan selalu diingat. Tapi tetap saja dia tidak bisa apa-apa lagi. Kalaupun dia cukup beruntung masih mampu berlari, dia tidak bisa gesit,” jelas Lana singkat.
“Salah sendiri kenapa kau tidak menurut untuk diam saja di markas. Kau tetap nekat dengan alasan ada hal penting yang harus kau lindungi dengan nyawamu sendiri. Apakah itu? Apakah sudah terliindungi? Bodoh!!” rutuk Lana.
Melindungi dengan nyawa?
Sudah melanggar aturan?
Ja... Jangan-jangan!!
Aku berusaha bangkit. Jangankan bangkit, menggerakkan jariku saja aku tak bisa. Aku mencoba berbicara.
“Vy.. Vyen!” ucapku.
Tak ada jawaban.
“Vyen!! Ucapku lebih keras.
Dasar tuli!
“Vyenn!!
“Eh? Akia? Kau memanggil?” balas Vyen heran.
“Ya! Bagaimana Aran?”
“Ah, dia baik-baik saja. Seperti kau, hanya perlu istirahat,” jawabnya sok polos.
“Jangan berbohong!”
“Akia, maafkan aku! Aku segera menyusul kalian kemari dengan menaiki burung elang hitam yang besar. Butuh waktu yang lama untuk sampai, dan aku juga sedikit bingung untuk menentukan kemana kau pergi. Devas dan teman-teman setimmu lainnya ada di titik yang jauh sekali darimu,” jelas Vyen.
“Aku sempat berada di arena mereka dan kembali kesini lagi. Begitu aku datang, Pak Zeo dan pasukan lain sudah pingsan karena lelah, tapi mereka menang melawan anak buah Xue. Kau dan Aran tergeletak di tempat ini. Buru-buru kupanggil medis. Inilah hasil terbaik yang dapat mereka lakukan,” lanjutnya.
“Kabar baiknya, tim kita dan divisi lainnya berhasil mengalahkan Ontarunt dan pasukannya. Kita bahkan tak akan melihatnya lagi! Ia sudah terbunuh!” serunya riang.
Menyadari kalau bukan itu berita yang kuperlukan, Vyen kembali lagi ke topik yang semula.
“Aran tertolong, Akia. Dia sangat kuat. Hanya saja, ada kemungkinan dia lumpuh total. Sudah sangat beruntung bila dia masih bisa berjalan.”
“Oh.”
“Akia, maafkan..”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Vyen. Bergembiralah karena Xue sudah mati!” potongku cepat.
“Oh, ya! Tentang Atharon Akazia, ia sempat terkena pengaruh empati dari Xue. Beliau menitipkan pesan padaku. Pesannya adalah silakan pergi ke kediaman beliau ketika kau sudah merasa sanggup menerima kenyataan,” tuturnya senang.
“Kenapa kau senang?” tanyaku bingung.
“Karena ini pasti mengenai orangtuamu, kan?” tebaknya.
“Oh, benar juga,” jawabku tak acuh.
“Akiaa!!”
“Zzzzz...”
“Lagi-lagi pura-pura tidur!!”
Aku tersenyum sebentar kemudian sungguh-sungguh tertidur.
Tidak terasa seminggu sudah berlalu. Luka, lebam, dan nyeri di tubuhku sudah sembuh total. Aku sudah sehat walafiat. Tetapi, bagaimana dengan Aran?
“Hei, sang pahlawan!”