“Akia.”
“A.. Seharusnya aku yang mengunjungi Anda,” ucapku terkejut.
“Hal ini ingin kujelaskan padamu secepatnya,” sahut beliau.
“Si...lakan duduk!”
Atharon duduk dengan elegan di atas bangku tua itu. Aku juga duduk di hadapannya. Vaya, tak kusangka, sudah duduk di sampingku.
“Sebelumnya, saya minta maaf karena baru sekarang menjelaskan ini kepadamu, Akia. Malah kami berniat untuk tidak pernah menjelaskan hal ini kepadamu. Tapi, kami juga berpikir kalau kau pasti ingin tahu tentang orangtuamu.”
Ehm, sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan mereka, Atharon.
“Yang pasti, ayahmu bukan Xue! Kemarin itu kesadaranku sudah dipermainkan olehnya,” jelas beliau.
“Baguslah! Aku juga tak percaya itu,” ucapku setuju.
“Tapi, ibumu memang Oracle Chril. Oracle Chril adalah Oracle sebelum Oracle Aly. Dia adalah wanita yang sangat hebat. Tsanya seolah tidak terbatas. Hampir semua elemen mampu ia kuasai. Wanita yang sangat luar biasa.”
“Oracle Chril jatuh cinta dengan seorang Nefelodis yang juga luar biasa. Malangnya, aturan pernikahan sudah ada saat itu. Mereka tak bisa bersatu. Tidak ada satu pun yang ingin meninggalkan profesi mereka masing-masing,” sambung beliau.
Vaya melanjutkan, “Aku adalah adik kandung ibumu, Akia. Dan Atharon adalah saudara sepupu kekasih ibumu itu. Kami berdua sebenarnya masih keluarga jauhmu. Ayah dan ibumu khilaf dan melakukan perbuatan terlarang. Aku tidak tega melihat kakakku itu, maka akulah yang membantunya melahirkanmu. Ibumu merasa sangat bersalah kepada dirinya sendiri, kepadaku, dan kepadamu. Setelah kau berumur satu tahun, ia memberikanmu kepadaku. Oracle Chril pergi mengembara untuk menebus segala kesalahannya. Sementara ayahmu, kami tidak tahu tentangnya lagi. Kabar burung mengatakan kalau dia juga pergi berkelana untuk menebus dosanya.”
Jantungku berdegup sangat kencang. Ternyata aku bernasib sama dengan ibuku, bermasalah dengan seorang laki-laki Nefelodis.
“Maaf, Akia. Aku sudah berusaha membujuk ibumu supaya tetap tinggal. Dia sangat depresi. Dia juga sangat menyesal telah memberikan penderitaan kepadamu dengan melahirkanmu. Ibumu itu berpikir kalau dia akan semakin menyebabkan penderitaan kepadamu. Dengan bodohnya dia juga menyuruhku untuk tidak pernah menceritakan tentangnya kepada anaknya sendiri. Dia akan selalu menghindarimu bila ia melihatmu. Ibumu itu benar-benar...”
“Vaya, sudahlah! Itu sudah keputusan Oracle Chril. Kita tak mungkin melawan kehendaknya untuk menebus dosanya. Jadi, Akia, sesungguhnya kau pun bisa menjadi seorang Nefelodis. Kami takkan melarangmu,” lanjut Atharon Akazia.
“Maksud Anda? Kenapa saya harus pindah dari Safis?” Aku tidak mengerti.
“Aku tahu, Akia. Hanya melihat sekilas bagaimana kau sangat peduli kepada Aran, kami tahu kau mencintainya. Dia juga tampaknya mencintaimu hingga rela menjadikan tubuhnya sebagai tameng. Aran tidak mungkin pindah ke Safis. Kelihatannya dia juga tidak mungkin pindah ke Voteis maupun Ebonis. Kau, kau bisa pindah ke Nefelodis. Aku tidak ingin kejadian ibumu terulang lagi,” tegas ayah angkatku itu.
“A..ku tidak seperti itu,” bantahku.
“Cinta tidak sesederhana itu, sayang. Kau takkan mampu mengenyahkan perasaan itu meski hilang ingatan sekali pun. Aku sendiri pernah mengalaminya. Memang sangat menyusahkan! Dienyahkan tidak bisa, disambut tidak datang, ditinggalkan malah terus mengikuti, dilupakan justru terus menghantui. Kalau kau tidak melihatnya, kau akan terus merasa gelisah dan khawatir. Aku tahu, Akia, belakangan ini kau lebih sering melamun di jendela,” tutur Vaya lembut sambil tersenyum.
Aku telah kalah telak!
“Aku tak seperti itu, Vaya! Artinya aku bukan jatuh..”
“Berbohong pun percuma. Kalau mau jujur, aku jatuh cinta kepada ibumu. Bahkan sampai sekarang. Akulah yang paling merasa kehilangan ketika ia pergi mendadak dan tak kunjung kembali. Akulah yang mendesak para tetua untuk memasukkanmu ke Kasta Safis. Aku selalu mencari ibumu dan tak pernah menemukannya. Sejujurnya, aku pun tak ingin kau pindah kasta. Namun aku tak ingin kau seperti aku. Tolonglah, Akia. Bersatulah dengannya,” pinta Atharon sungguh-sungguh. Beliau sampai berlutut di hadapanku.
“A.. Atharon..” ucapku terbata-bata. Siapakah aku ini sehingga membuat seorang pemimpin kasta berlutut memohon kepadaku?
“Tolonglah kami, Nak! Pikirkanlah baik-baik, ya?” bujuk Vaya lemah lembut.
Aku tak tahu menjawab apa. Padahal aku tidak merasa berlebihan seperti itu. Aku baru berhubungan dengan Aran selama setengah tahun, dan itu tidak intens. Aku tidak melihatnya sehari-hari seperti apa yang dialami Vaya maupun Atharon. Dan aku sudah mencintai Safis lebih dari apapun, sampai melupakan impian untuk berpetualang.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan keluar, meninggalkan Vaya dan Atharon yang tetap pada posisinya. Sesungguhnya aku hanya berjalan tanpa tujuan. Seperti terpanggil, akhirnya aku sampai ke lereng gunung latihan. Ada seseorang yang latihan disana.
Oh! Dialah yang paling tak ingin kutemui sekarang.
“Akia? Kau sudah kembali dari Dunia Tengah? Aku terkejut sekali,” sapa Devas riang.
“Ya, sudah!” Aku berjalan terus tanpa melirik kepadanya.
“Ada apa? Tak biasanya kau seperti ini.” Devas terlihat sangat khawatir.
“Oh, tidak ada apa-apa,” jawabku acuh.
“Ehm, sebenarnya ada yang ingin kukatakan,” ucapnya serius
“Aku sedang tak ingin menerima informasi.”
“Ini bukan sekadar informasi. Ini perasaan manusia.”
“Maaf, Devas. Aku sedang banyak masalah. Aku tak ingin menambahinya,” balasku ketus.
“Tolong, dengarkan saja! Aku terus menundanya sejak bertahun-tahun yang lalu. Aku takut menyesal tidak sempat mengungkapkannya seperti saat kau hilang kemarin, aku seperti takkan melihatmu lagi.”
“Apa yang mau kau sampaikan?”
Untuk menghargai pertemanan kamilah aku masih tidak menggunakan teleportasiku untuk melarikan diri.
“Aku mencintaimu! Sungguh-sungguh aku ingin kau selalu bersamaku.”
Aku terdiam. Sudah kuperkirakan kalau berbicara dengannya akan menambah beban pikiranku.
“Akia?” panggil Devas dengan sayu.