Seorang lelaki yang paruh baya sedang duduk di kursi empuk sambil meneliti beberapa laporan yang masuk. Ia hembuskan nafas. Banyak sekali pengeluaran yang menurutnya janggal dan tak perlu. Pekerjaannya memang direktur tapi bukan berarti ia tak turun tangan secara langsung atau sampai tak teliti. Ah usianya sudah memasuki angka 70 tahun. Harusnya ia pensiun lalu istirahat, bermain dengan anak cucu tapi sayangnya anak lelaki satu-satunya meninggal dan menyisakan satu cucu lelakinya saja.
Tok... tok... tok.
"Masuk," panggilnya tegas, lalu seorang perempuan cantik memakai blazer hitam, kemeja putih dan juga rok pendek senada berjalan masuk. Mengenakan sepatu hak tingginya yang amat runcing hingga terlihat tubuh proporsionalnya yang tampak begitu seksi serta berlekuk indah.
"Pak, ada Tuan Hermawan Adhitama di luar ingin bertemu dengan Anda." Mau apa ponakan mendiang istrinya kemari. Mengingat mereka jarang bertemu, walau di saat pertemuan keluarga sekalipun.
"Suruh dia masuk." Sekretarisnya yang bernama Irina lalu pamit keluar untuk mempersilakan tamu atasannya masuk.
"Selamat siang Om." Wisnu bangkit lalu memeluk ringan tubuh keponakannya. "Om sehat-sehat saja kan?"
"Kamu bisa lihat sendiri, Om sehat. Masih bisa jalan dengan baik dan juga masih bisa punya istri muda." Hermawan tertawa mendengar ocehan Omnya itu. Walau menduda cukup lama namun Wisnu layaknya biksu yang tak menikah lagi ketika sang istri meninggal 20 tahun lalu. Bukan masalah kesetiaan namun Wisnu berpikir praktis. Ia tak mau membagi kekayaannya dengan siapa pun. Walau Hermawan pernah dengar Wisnu sempat menjalin hubungan dengan beberapa artis muda nan cantik.
"Ah Om bisa saja. Rahasianya apa bisa sehat terus?"
"Sering cek kesehatan ke dokter, makan makanan sehat, olahraga juga walau jarang. Yah sehat itu tergantung isi dompet, bohong kalau semua fasilitas penunjang kesehatan itu tidak mahal." Hermawan tergelak lagi. Ia hafal betul perangai suami saudara ibunya ini. Suka membuat kelakar tapi kalau sudah serius, harga saham perusahaan lawan bisa saja turun drastis.
"Om ini tapi tetap aja dengan uang, nyawa gak bisa balik kan?"
"Yah mana ada yang bisa mengubah takdir Tuhan. Kamu ke sini ada urusan apa? Gak mungkin kamu jauh-jauh datang kemari kalau tidak ada urusan penting."
"Kita duduk dulu Om." Hermawan tak langsung menjawab. Ia memilih duduk terlebih dulu walau yang punya ruangan belum mempersilahkannya. "Sama sudah ketemu sama Helen dan putrinya."
Bola mata Wisnu yang sudah sedikit berubah abu itu membola. Ia jelas kaget. Hermawan bertemu dengan mantan menantu dan juga mantan cucunya. Wisnu meremas pergelangan tangannya yang di hiasi jam Rolex perak, ia panik. Jangan sampai cucu laki-lakinya tahu kalau keluarganya masih ada yang selamat saat kecelakaan naas itu terjadi. "Lantas?"
Hermawan menahan senyum, tua bangka ini sudah mulai risau. Hubungan Prasetya dan Helen dari awal memang tak di restui. Alasannya klasik, si miskin dan kaya tak akan pernah punya tempat yang sama. "Seperti janji saya dengan almarhum Prasetya, saya akan menjodohkan anak saya dengan putrinya Prasetya."
Wisnu yang semula tegang, kini mengerutkan dahinya yang di hiasi alis putih itu lalu tersenyum pongah. "Kamu pintar ternyata."
"Maksud Om?"
"Saya tahu di pikiran kamu isinya hanya bisnis dan kalkulasi untung-rugi. Apa manfaatnya menikahkan putra tunggal seorang pengusaha kaya dengan putri orang biasa. Saya tahu saham Prasetya di perusahaan kamu belum berpindah tangan atau dibalik nama. Saham itu hak dari anak-anak Prasetya. Intinya kalau putri Helen jadi menantu kamu maka saham itu tidak berpindah tempat." Hermawan menggeleng-gelengkan kepala. Si tua tak berkurang kadar kepintarannya sehingga tahu arah pemikiran Hermawan mau ke mana