“Seandainya mesin waktu Doraemon benar-benar ada,
aku akan meminjamnya untuk kembali ke masa lalu.
Bukan untuk mengulang kenangan indah dulu, melainkan menghapus
semuanya tanpa ada yang tersisa.”
“Saya pesan stark paket satu.”
“Saya pesan yang paket dua.”
“Saya minumnya aja, justice juice.”
“Mohon maaf, menu-menu itu sudah lama tidak ada. Sekarang kami hanya menjual menu-menu yang ada di sini,” kata seorang pramusaji sambil membantu membuka buku menu di atas meja.
“Kalau avenger lunch?” tanya salah seorang dari empat orang pemuda berpenampilan santai.
“Itu juga sudah tidak ada.”
“Kenapa? Padahal, dua tahun lalu saya ke sini, menu-menu itu masih ada. Bahkan, menurut saya kafe ini cukup kreatif dengan menamakan menu-menu makanan menyerupai tokoh- tokoh superhero terkenal,” keluh pelanggan itu panjang lebar. Ia melirik buku menu di atas meja. Yang tertera di sana hanya menu biasa yang bisa ia dapatkan di kafe-kafe mana pun.
“Seandainya mesin waktu Doraemon benar-benar ada, aku akan meminjamnya untuk kembali ke masa lalu.
Bukan untuk mengulang kenangan indah dulu, melainkan menghapus semuanya tanpa ada yang tersisa.” Menanti Chat
Rombongan pemuda itu bangkit. Mereka jadi tidak berselera untuk makan siang di kafe ini. Padahal, awalnya mereka berharap bisa bernostalgia ke masa-masa dua tahun lalu saat mereka masih kuliah. Mereka sering mengajak teman-teman sekolahnya untuk nongkrong di tempat ini. Menyantap makan siang atau malam bersama-sama sambil menikmati etalase pajangan robot- robot mini di salah satu sudut kafe. Atau, sekadar membicarakan kesamaan hobi tentang segala hal yang berhubungan dengan mesin dan robot di tempat yang pas. Namun, suasana kafe ini tidak lagi mendukung.
“Pemiliknya udah bukan Pak Galang ya, Mbak? Kafenya jadi beda dari yang dulu,” salah seorang dari mereka bertanya.
“Iya deh kayaknya.” Temannya ikut menyahut sambil memindai pandangan ke sekitar. “Biasanya di tembok ini ada mural komponen robot Iron Man, tapi sekarang udah nggak ada. Jadi nggak seru.” Pramusaji yang masih berada di dekat mereka tidak bisa merespons apa pun. Keluhan seperti itu sudah sering ia dengar.
Namun, setiap kali ia menyampaikan keluhan macam itu pada anak pemilik kafe ini, ia selalu diminta untuk mengabaikannya saja.
“Di sini tempat buat makan, bukan buat ngomongin robot- robot nggak penting itu!” Suara Saga terdengar menginterupsi.
Semua mata kini memperhatikannya. “Nggak akan ada lagi robot di kafe ini!” Salah seorang dari empat pemuda itu menunjuk Saga.
“Lo anaknya Pak Galang, kan? Kenalin, nama gue Fajar, mahasiswanya Pak Galang waktu beliau masih ada.” Ia mengulurkan tangan ke arah Saga, tetapi Saga hanya menatapnya dengan tidak suka.
“Kalian bisa keluar sekarang! Di sini bukan tempat nongkrong buat mahasiswa-mahasiswanya Pak Galang!” kata Saga angkuh.
Kenyataannya, Saga paling benci bila ada yang mengingatkannya kepada sosok papanya.
Rombongan pemuda itu saling tatap dengan bingung.
Menurut mereka, tidak seharusnya Saga memperlakukan pelanggan seperti itu.
Mereka membubarkan diri dengan kesal karena usiran Saga.
Hal ini membuat Citra yang memperhatikan putranya dari meja kasir merasa sedih. Ia tidak menyangka kepergian suaminya dua tahun lalu menjadikan Saga seperti sekarang ini. Saga tidak lagi punya mimpi sejak ditinggal pergi oleh superhero-nya sejak kecil.
Saga kini menoleh kepada pramusaji yang masih berada di dekatnya. Ia memberi teguran singkat, kemudian menghampiri mamanya untuk memberi salam karena ia baru saja tiba.
“Saga, gimana kalau kita ubah konsep kafe ini seperti dua tahun lalu? Mama pikir itu ide yang bagus. Karena Mama sadar, sejak kita mengubah konsep menjadi seperti sekarang, kafe kita jadi nggak seramai dulu.”
“Aku nggak setuju!” Saga menyahut cepat.