“Apa artinya pintar kalau nggak punya attitude?”
Hari ini Selin tiba di sekolah lebih cepat sepuluh menit dari biasanya. Bahkan, Pak Wawan, satpam sekolahnya, menyadari hal itu.
“Hai, Non Selin tumben datang lebih cepat sepuluh menit dari biasanya,” sapa Pak Wawan ketika melihat Selin baru saja memasuki gerbang sekolah dengan tergesa-gesa.
Pak Wawan memang terkenal ramah kepada murid perempuan. Selin berterima kasih sekali kepada Pak Wawan karena saat hari terakhir MOS beliau mengizinkannya masuk gerbang secara diam-diam, padahal ia sudah terlambat. Sejak hari itu Pak Wawan hafal dengan namanya.
“Iya, Pak. Lagi ada perlu,” jawab Selin sekenanya. Tanpa menunggu tanggapan dari Pak Wawan, Selin segera berbelok ke area parkir sekolahnya.
“Apa artinya pintar kalau nggak punya attitude?”
Matanya dengan mudah menemukan Vespa berwarna biru langit yang terparkir di sana. Selin berdecak kesal. Padahal, ia berharap Saga belum sampai. Selin berencana akan menunggunya di tempat parkir untuk mengambil buku catatannya. Namun, lagi-lagi ia kalah cepat.
Tidak ada pilihan lain, Selin harus ke kelas Saga sekarang juga. Ia berjalan cepat. Daripada naik lift yang pasti dipenuhi senior, Selin lebih memilih naik tangga menuju area kelas XII di lantai tiga.
Sesampainya Selin di sana, ia baru sadar bahwa ia tidak tahu Saga berada di kelas apa? Ia hanya tahu bahwa Saga kelas XII.
Selin memberanikan diri bertanya kepada dua orang cowok yang berjalan hampir melewatinya.
“Kak, boleh tanya? Yang namanya Kak Saga ada di kelas mana ya?” Kedua cowok itu saling tatap sesaat, kemudian salah seorang di antaranya bertanya balik.
“Saga yang mana, nih? Gamadi Sagara atau Sagara Miller?” Waduh! Selin tidak tahu nama panjang Saga.
“Saga anak IPA atau IPS?”
“Eh?”
“Saga yang kalem atau yang songong?”
“Eh?” Selin makin kebingungan.
“Ciri-cirinya gimana? Rambut hitam atau merah? Selin sungguh tidak tahu Saga yang dicarinya adalah Saga yang mana. Dia hanya tahu Saga adalah anaknya Om Galang.
Bila Selin mengatakan itu, apa mereka tahu Saga mana yang ia maksud?
Sebelum Selin melontarkan kalimatnya, ia merasakan sebuah getaran singkat di saku. Ia buru-buru meraih ponselnya.
Ada pesan balasan masuk.
Selin menghela napas lega, kemudian mengangkat kepalanya.
Ia menatap dua kakak kelas yang masih menunggunya bersuara.
“Nggak jadi, Kak. Makasih,” katanya sambil tersenyum sungkan.
Selin segera berbalik, menuruni anak-anak tangga menuju kelasnya di lantai satu. Dalam hati, ia masih berharap agar Saga tidak membuka, apalagi sampai membaca isi buku catatannya.
Di kelas, Saga duduk di kursinya sambil memperhatikan sebuah foto di ponsel yang baru saja ia ambil beberapa waktu lalu secara diam-diam.
Tidak ingin membuang waktu, Saga bergerak cepat. Sejak pagi-pagi sekali ia sudah berada di dekat rumah yang ia duga adalah tempat tinggal wanita simpanan papanya.
Seperti dugaannya, tidak lama kemudian seorang cewek berseragam khas sekolah Nuski keluar dari rumah itu dengan tergesa-gesa. Saga segera mengambil gambar dengan ponselnya sebelum cewek itu melaju dengan ojek online yang sudah menunggu di depan pagar.
Foto di ponselnya tidak terlalu jelas menangkap wajah cewek itu. Namun, setidaknya, Saga jadi punya gambaran seperti apa ciri-ciri anak dari wanita simpanan papanya. Seorang cewek berambut hitam lurus sepunggung, kulit putih, dan tinggi sedang.
“Wih, diam-diam lo demen sama cewek?” Suara Agam tiba-tiba saja mengejutkan Saga. Saga buru-buru mengunci ponselnya.
“Syukurlah. Gue pikir selama ini lo nggak normal.” Agam mengusap dadanya dengan berlebihan, kemudian duduk di sebelah Saga.