“Alka, lari!!”
Tiba-tiba tanganku ditarik oleh seseorang saat aku tengah menyusuri koridor sekolah. Aku berlari tanpa diberi kesempatan untuk mencerna perintahnya. Lalu kulihat melalui bahuku ada segerombolan cewek juga sedang berlari ke arah kami.
Hei, ada apa ini?!
Siapa seseorang yang tengah menarikku tanpa alasan ini? Tapi aku tak bisa berpikir sepagi ini. Jadi, aku hanya mengikutinya berlari sampai akhirnya kami berbelok, lalu masuk ke satu ruangan.
Aku mengatur napasku. Pagi-pagi sudah olahraga. Untung saja aku terbiasa berlari karena suka main basket. Lalu, kuperhatikan di mana aku berada.
WHAT?!
Toilet cowok?
Antara kaget dan malu ketika sadar aku berada di tempat ini. Argh!! Aku menunduk untuk menenangkan debaran jantungku. Kudengar suara air mengalir. Sedetik kemudian, lelaki yang membawa kabur diriku berada di hadapanku. Aku mendongak dan dahiku mengernyit.
“Kenta?” tanyaku.
“Iya, ini gue.” Dia juga kelihatan masih mengontrol napasnya. “Sorry, kalau gue sampai bawa-bawa lo ke sini,” katanya.
“Kenapa lo sampai dikejar-kejar cewek-cewek begitu?” tanyaku.
Kenta mengangkat bahu.
Aku mengamatinya.
“Ada yang salah sama lo, Kent,” sahutku, “kacamata Harry Potter lo mana?” Aku pasti salah lihat. Ini benar-benar bukan Kenta yang kukenal dari awal masuk SMA atau Kenta yang rumahnya hanya berbeda sepuluh rumah dari rumahku.
“Kenapa? Enggak percaya? Iya, ini gue, Kenta.”
“Kok bisa?”
Bukannya menjawab, dia malah tertawa. Bisa-bisanya dia mela kukan perubahan drastis seperti ini tanpa sepengetahuanku. Sekarang dia terlihat lebih tinggi dariku. Tubuhnya berbingkai indah. Dengan kedua tangannya begitu kekar dan dadanya bidang. Dia terlihat begitu berkharisma.
Ke mana kacamata bulat yang dulu dia pakai? Kerah seragamnya sekarang tak terkancing lagi hingga memperlihatkan T-shirt putih yang dipakainya sebagai dalaman. Dia terlalu dekat denganku hingga aroma maskulin dari tubuhnya dapat tercium olehku.
Kuakui dia terlihat begitu….
“Hei!” Sebuah jentikan jari membuyarkan semua pikiranku. “Jangan diam gitu. Nanti ada setan lewat gimana?”
Aku menatapnya tajam, berdecak kecil, lalu bergumam, “Setannya cuma lewat doang, kan? Enggak mampir.”
Aku melengos ke arah pintu begitu selesai mengatakan itu, mengintip melalui daun pintu ke kanan dan kiri untuk berjagajaga kalau ada yang melihatku keluar dari toilet cowok. Setelah merasa aman, aku segera keluar. Jika terlalu lama di sana kurasa aku tidak bisa bernapas.
Aku melihat jam tanganku, pukul enam lewat dua puluh. Dan aku belum menemukan kelas?! Ya Tuhan… mimpi apa aku semalam? Kalau begini aku tak bisa mendapatkan tempat duduk yang nyaman di belakang. Aku mempercepat langkah, nyaris berlari.
“Al, tunggu!”
Suara Kenta tidak menghentikan niatku untuk mendapatkan tempat duduk di belakang. Untung aku melihat Tatyana melambai-lambaikan tangannya di ambang pintu kelas sambil meneriakkan namaku.
“Alka Zanitha!”
“Tatyana! Cariin bangku buat gue!”
“Udah. Udah dapet, kok.”
Tatyana menunjuk tempat duduk nomor dua dari belakang. Ada dua yang kosong. Aku memilih untuk mengambil posisi dekat dinding, tepat di bawah jendela.
Aku masih sibuk mengatur napas sambil mengeluarkan botol minumanku dan sebungkus roti sarapan. Tiba-tiba Kenta duduk di sebelahku.
“Eh, kok lo di sini? Nama lo enggak ada di sini, Kent!” Kenta merebahkan kepalanya di meja, menghadapku.
“Gue masih kangen sama lo, Al!”
Aku yang hendak minum terpaksa batal. Aku menatapnya tajam, tapi berakhir dengan tawa.
“Kok ketawa, sih? Serius, gue kangen sama lo!” kata Kenta. Aku membekapnya dengan memasukkan potongan roti ke mulutnya. “Eh, jangan keras-keras ngomongnya!”
Aku tertawa lagi setelah itu. Melihat seluruh wajahnya merah—karena marah atau malu, aku tak tahu—itu sangat lucu.
Kenta perlahan-lahan memasukkan roti itu ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah.
“Selamat pagi, Anak-anak!” Bu Susan masuk dan langsung berdiri tegak di depan kelas.
Para siswa serempak menjawab sapaan wali kelas 12 IIS-2, kelasku untuk satu tahun ke depan.