Hari-hari berjalan seperti biasanya. Bangun tidur, siap siap sekolah, sekolah, tugas, eskul, dan seperti itu setiap harinya.
Jangan lupakan seseorang. Iyan. Setiap malam, aku sering chatting dengan dia. Walau topiknya itu-itu aja. Tapi, aku tak menyangka bahwa urusan ini di kemudian hari menjadi amat pelik.
Benar kata ayahku, penyakit remaja yang sedang menuntut ilmu adalah perasaan suka kepada lawan jenis. Iya, suka adalah fitrah. Jadi tidak ada yang bisa menyalahkan rasa suka itu. Yang salah adalah diri, yang tidak bisa menahan untuk mengekspresikan rasa suka itu, apalagi jika salah mengekspresikannya.
Tuhan, aku tak tahu. Aku tak tahu apa yang sedang engkau rencanakan. Aku telah salah menaruh harap. Aku, aku tak tahu apa yang harus kutulis disini. Aku tak tahu apa definisi keadaan yang sedang ku alami ini. Tuhan, kenapa jadi sepelik ini?
Saat itu, seperti biasanya aku dan teman-temanku berkumpul di depan kelas. Jam istirahat. Entah kenapa, meski baru beberapa bulan bersahabat, kami sudah saling terbuka. Apalagi Tami dan Okta, merekalah yang menjadi pusat perhatian jika kita sedang berkumpul. Karena, mereka berdua yang paling seru bercerita.
Kemarin malam, ada pesan terselubung dari Iyan. Ambigu memang, aku sampai tak bisa tertidur. Dia bilang, Galuh sering mencari tahu tentangku. Aku keburu senang, namun segera sadar bahwa itu hal mustahil untuk saat ini. Ya karena, dia sudah punya pacar.
Semakin hari, Iyan semakin sibuk menggodaku. Menyebut-nyebut nama Galuh setiap kali aku bertemu dengannya. Dia memang humoris, dan gampang akrab. Tapi ada satu sifat yang aku tak suka. Dia perokok. Ya, perokok aktif. Dan yang paling mengerikan, dia sering bergonta-ganti pacar.
Lelaki memang terkadang aneh ya, sudah punya kekasih, namun tetap saja memberi harap kepada wanita lain.
Aku menceritakan soal Iyan yang sering menggodaku dengan nama Galuh. Pesan terakhir yang dia kirim semalam, ternyata membuat Lidya menangis di beberapa menit kemudian. Ya, bagaimana tidak?
Iyan bilang kepadaku tiga hari lalu, dia baru saja putus dari pacarnya. Lantas semalam, dia bertanya kepadaku, tentang rasaku pada Galuh. Aku menjawab seadanya, bahwa rasa itu hanya sekelibat saja, aku tidak benar-benar menyayanginya.
Tanpa basa basi, Iyan langsung mengirim pesan yang lumayan panjang. Kubaca dengan perlahan, bahkan bisa dibilang sambil ku-"eja". Aku kaget, tercengang, bingung.
Aku harus balas apa? Akhirnya, tidak kubalas.
Isinya adalah kata-kata ungkapan perasaannya kepadaku. Aku sangat bimbang, dia baru tiga hari kemarin mengatakan bahwa dia putus dari pacarnya. Lantas kenapa cepat sekali dia berpindah ke lain hati?
Dan setelah aku selesai dengan ceritaku, Lidya terdiam di antara riuhnya tanggapan teman-temanku. Lantas, tanpa aba-aba,
"Jangan dipercaya Ra, jangan dibalas, jangan lagi kamu ladeni".
Lalu, dia masuk ke dalam kelas. Mengambil Handphone dan menunjukkan sesuatu kepada kami.
Memang, diantara kami yang paling sering menyembunyikan sesuatu adalah aku. Tapi dibanding aku, Lidya lebih tertutup.
Fakta kedua ini lebih membuat kami tercengang, bingung, ingin tertawa, kesal, benci dan rasa-rasa lain yang menjadi satu. Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa seseorang mengungkapkan perasannya terhadap dua wanita yang bersahabat dalam satu waktu, bahkan dengan narasi yang sangat sama. Hanya diganti namanya saja.
Lidya refleks menunduk, menangis, dalam. Dia akhirnya mau menceritakan semuanya setelah dibujuk. Ternyata, sebelum aku kenal Iyan, Lidya lebih dulu kenal dengannya. Dan satu fakta yang Lidya tidak tahu tentang Iyan, adalah fakta yang paling kubenci dan sudah kusebut tadi.
Dia menangis sejadi-jadinya, untuk pertama kali di depan kami. Aku hanya bisa diam, tidak banyak menanggapi. Bukan tak mau aku menceritakan tentang Iyan dari dulu, tapi karena memang menurutku tidak ada gunanya menceritakan tentang dia, lagipun aku tak tahu apa yang akan kuceritakan.
Memang. Terkadang, jarak antara harapan dengan kekewaan hanya satu kedipan mata. Aku sudah 16 tahun hidup di dunia ini, tapi baru kali menangis tanpa suara karena seorang lelaki. Belum ku kenal lama pula. Sudah kubilang, aku tak tahu apa definisi dari rasa ini.
***