Yang terbaik akan datang di waktu yang tepat, entah cepat atau lambat.
***
Semenjak kejadian itu, aku tak lagi menjumpai Iyan di Sekolah. Pun sms, WhatApp, line atau apapun itu. Aku tak lagi mendapat notif chat dari Iyan.
Lupakan perihal Lidya. Dia tak ambil hati dengan chat Iyan yang dulu-dulu. Katanya.
Lidya paham benar bagaimana perasaanku, dan Akupun tak bisa membohongi perasaanku. Aku memang tak mengakui, tapi hampa rasanya ketika tak lagi pulang bersama-sama. Sekarang, dia berangkat dan pulang sekolah naik bus lagi seperti dulu.
Berbeda dengan bulan-bulan lalu, yang ketika hendak berangkat sekolah, di depan rumahku sudah terparkir mobil milik Iyan. Yang di dalamnya, sudah duduk dengan aman seorang Nisa.
Dulu, kami berangkat dan pulang hampir setiap hari bertiga, jika aku tak ada jadwal kerja kelompok atau ekstrakulikuler. Lupakan, itu semua sudah berlalu.
Bel istirahat berbunyi, ini hari ke-5 Aku menahan diri untuk tidak menanyakan keberadaan Iyan kepada Nisa. Tapi, aku tak tahan, akhirnya aku pergi sendiri ke kelas Nisa, yang kebetulan sekelas juga dengan Iyan dan Galuh.
"Ada Nisa?" Tanyaku kepada Galuh di ambang pintu. Ya, perlahan Aku memang sudah tak ada lagi rasa apapun kepada Galuh. Lucu ya, dulu, niat hati ingin mendekati Galuh, eh malah kecantol ke temennya, Iyan.
"Sebentar" Galuh melepas earphone-nya dan masuk ke dalam kelas. Masuk, dan tidak keluar lagi.
Nisa keluar, dan langsung menarik tanganku ke tangga dekat kelas itu.
"Eh, kenapa sih ko narik-narik?" Aku terheran dengan sikap Nisa.
"Hehe. Gapapa. Maaf. Ada apa, Ra?"
"Nis. Aku mau nanya, serius ya"
"Apasih?"
"Iyan kemana, Nis? Kok udah 5 hari ini dia enggak dateng ke Sekolah, gak pernah chat aku lagi, gak ada kabar deh. Kamu pasti tau. Kamu kan tetanggaan"
"Hahaha, akhirnya nanyain juga kan? Gengsian sih, kemaren mau dikasih tau malah nolak" Nisa tertawa, mencairkan suasana.
"Ihhhh. Nis, jangan gitu dong ah. Jadi?"
"Tapi kamu keep ya, Ra. Jangan bilang siapa-siapa. Janji?"
"Lah, emang kenapa? Iya deh janji. Udah buruan, keburu masuk nih"
"Iyan dibawa ibunya ke Jakarta Nis. Kamu tahu? Dia korban perceraian orang tuanya Nis. Dua tahun lalu, semuanya seakan menghancurkan diri Iyan. Ayahnya di Surabaya, ibunya di Jakarta. Dia bingung memilih yang mana, tak ada yang mampu membuatnya nyaman. Ia pernah bilang, kalau dia ikut Ayah, dia akan selalu menangis mengingat ibu. Pun sebaliknya. Iyan sebenarnya anak yang baik, Ra. Pintar, penurut. Tapi setelah kejadian itu, dia memilih tinggal bersama bibinya disini, dan aku menjadi saksi bagaimana sulitnya dia mempertahankan perilaku baiknya ditengah keadaan hati yang tercabik-cabik.