Aku tak berani bertanya kepada Nisa. Sudahlah, kurasa itu masalah mereka berdua. Aku tak mau ikut campur.
"Nis? Kamu baik-baik aja?" Aku memberanikan diri untuk mendahului pembicaraan ditengah heningnya keadaan. Nisa menoleh kepadaku, masih diam membisu.
"Baik kok, Ra. Pulang yuk" Nisa memakai tasnya, tanpa banyak bicara melangkah menuju ke luar. Aku mengikuti dari belakang, berusaha menyejajarkan langkah Nisa.
Di perjalanan pun kami masih saling diam, aku tak tahu harus berkata apa. Apalagi bertanya. Karena tanpa bertanya pun aku sudah tahu apa permasalahannya. Tapi sekali lagi, aku tak ingin ikut campur.
"Nis, aku duluan ya? Kamu baik-baik. Jangan ngelamun gitu, Hakim pasti baik-baik lagi kok. Asal kamu jelasin aja apa maksud dari semuanya. Aku tahu kok, pasti kamu punya alasan yang bisa dimengerti. Oke?!" Aku bersiap turun dari Bus, dan menggenggam tangan Nisa, air matanya benar-benar pecah. Aku tak sampai hati meninggalkannya turun duluan.
"Gapapa, Ra. Aku baik-baik aja. Kamu duluan aja sok, udah mau nyampe depan gang rumahmu tuh" sambil mengusap air matanya, serta membenarkan posisi duduknya, Nisa berkata lirih kepadaku.
"Aku gapapa, Ra. Aku gapapa" mungkin itu maksud dari tatapan Nisa.
Hakim. Aku akan menelpon Hakim ketika sampai rumah. Aku memang tak ingin ikut campur, tapi bukan berarti aku tak peduli.
***
"Iiiii... Angkat donggg" ucapku sambil menggerutu ketika teleponku tak diangkat, SMS-ku tak dibalas. Akhirnya aku menyerah setelah 10 kali teleponku tak diangkat. Aku beranjak ke dapur, karena mamah sudah memanggil untuk bersiap makan sore.
"Dek, ada yang nelpon!!!" Kak Indri, kakakku berteriak ketika aku baru saja duduk di kursi dapur. Kesal rasanya, itu pasti Hakim. Aku kembali ke kamar, dan mengangkat telepon masuk itu.
Bukan, ternyata bukan Hakim. Itu Nisa. Ada apa sebenarnya?
"Ra, maafin aku ya. Maafin aku udah bohongin kamu sama Hakim. Kamu pasti kecewa banget kan sama aku?" Tanpa salam tanpa sapa, Nisa langsung berbicara seperti itu ketika kutempelkan Handphone-ku di dekat telinga.
"Sebenernya apa yang terjadi, Nis? Kenapa kamu lakuin itu?"
"Aku enggak tau Ra. Aku enggak tau gimana caranya buat menjauh dari Hakim. Aku nyaman sama dia, tapi aku engga mau. Aku bingung sama perasaanku sendiri. Aku ini sebenernya suka sama siapa. Aku bingung, Ra. Makanya aku jadiin orangtuaku alasan supaya aku enggak lagi deket sama Hakim. Tapi nyatanya, dia tetep aja perjuangin aku. Itu yang bikin aku salut. Dia beneran perjuangin aku. Aku jadi enggak tega buat ngelepas dia. Tapi di satu sisi, aku sayang sama orang lain. Dan orang itu sahabatnya Hakim" Nisa memberhentikan pembicaraannya, dia kembali sesenggukan. Mencoba memilah kata yang tepat untuk diungkapkan kepadaku.
"Terus maksud dari surat-surat yang selalu kamu kirim itu apa, Nis?"
"Kamu enggak pernah tau kan isi dari surat-surat itu? Isinya cuma sebatas pesanku supaya Hakim jaga diri baik-baik. Supaya Hakim enggak banyak berharap kepadaku. Aku ingin perlahan pamit, Ra. Enggak lebih. Aku bingung gimana cara buat ngomong ke Hakim"
"Harusnya kamu ngomong sejujurnya, Nis. Aku enggak nyalahin kamu, enggak juga ngebela Hakim. Cuma, kita harus saling sama-sama paham. Hati engga bisa dimainin"
"Ra, aku ngerti. Aku malah enggak ngerti sama diriku sendiri. Ra, aku minta tolong ke kamu buat ceritain semuanya ke Hakim ya. Aku gak akan sanggup buat bilang langsung. Aku udah mutusin buat ninggalin dua-duanya. Aku gak mau ada pihak yang tersakiti"
Suara Nisa parau, kentara sekali bahwa dia sedang menangis. Aku tak bisa memberi tanggapan apapun. Jujur, aku pun sedikit kecewa karena dibohongi.
Tapi sekali lagi, aku tak bisa menyalahkan Nisa. Lebih tepatnya, aku tak kuasa. Biarlah waktu yang menjawab akan seperti apa hubungan persahabatan kita setelah ini.
Aku terdiam beberapa detik, Nisa kembali memanggilku diujung telepon. Aku tak menjawab. Aku kaget ketika mendengar semuanya. Akhirnya, Nisa sekali lagi meminta maaf dan menutup telepon secara sepihak.