Sahabat Sehidup Sesyurga

Nafsul Muthmainnah
Chapter #7

Hujan.

Kita tidak pernah tau siapa yang akan singgah hari ini, esok, lusa, atau kapanpun itu. Pun dengan siapa kita akan memainkan setiap adegan kehidupan ini. Hari berganti Minggu, Minggu berganti Bulan, Bulan berganti Tahun, dan setiap masa akan berganti kisah. Tak menutup kemungkinan, akan ada orang baru, orang yang berbeda, di setiap kisahnya. Kisah itulah yang kelak akan menjadi pelajaran untuk kita. Disamping kenangan yang sulit sekali dilupakan.

***

Akhir semester satu mulai terlihat tanda-tandanya. Desember ini, hujan terus menerus mengguyur kota kami. Parkiran motor terlihat semakin sepi, mayoritas memilih untuk naik angkutan umum saja ketika pulang dan pergi. Alhasil, kemacetan semakin berkurang, namun padatnya di dalam Bus semakin meningkat.

Hujan sering sekali dijadikan alasan untuk datang terlambat. Toleransi katanya. Yang seharusnya pukul 07.00 sudah mulai pelajaran, namun di angka 07.15 saja gerbang masih terbuka dan kelas masih sepi. Begitu terus beberapa hari.

Berbeda dengan hari ini. Entah, mungkin pihak sekolah sudah tak tahan memberikan toleransi. Katanya, bagaimana bisa menuntut ilmu sampai ke Negeri China, jika hujan saja masih dijadikan alasan untuk meminta keringanan agar diperbolehkan datang kesiangan.

Berubah seperti biasa kembali, pukul 07.00 gerbang sudah ditutup, dan yang datang diatas jam itu akan diberikan dua pilihan. Menunggu sampai bel istirahat berbunyi di depan gerbang dengan Handphone disita, atau diperbolehkan masuk tapi membersihkan lingkungan sekolah.

Ternyata, pilihan pertama lah yang banyak dipilih. Maka pagi itu, aku harus menunggu di depan gerbang sambil merengut. Pasalnya, baru kali ini aku kesiangan. Bukan kesiangan, tepatnya.

Walaupun hujan deras belakangan mengguyur setiap pagi, tapi datang terlambat tak pernah kulakukan sama sekali. Pagi itu, aku kesulitan ketika menunggu Bus. Sekalinya ada, Busnya penuh.

Akhirnya, setelah setengah jam berdiri menunggu di Halte, ada Bus yang lumayan kosong. Dan ketika sampai di Halte depan Sekolah, bel berdering teramat jelas. Aku tak berlari, karena tahu pasti gerbang masih dibuka. Namun, ternyata sebaliknya.

Maka, pagi itu diwarnai oleh riuhnya murid-murid yang memprotes minta dibukakan Gerbang. Dan diam seketika ketika Pak Kepala sekolah langsung yang datang, sambil membawa payung.

Aku pasrah saja, berjejer bersama yang lain di pinggiran supaya tidak terkena Hujan. Ku tengok ke kanan dan kiri, tak ku temukan teman sekelasku. Makin bertambah saja rasa jengkelku dalam hati.

"Heh, lu ngapain disini? Kesiangan juga? Hahaha, gua kira lu selalu datang awal" Ucap Hakim yang keberadaannya tak kusadari sejak tadi. Ternyata dia berdiri di belakangku. Aku menoleh, dan menatap lamat-lamat wajah Hakim. Matanya sembab, kantung matanya terlihat sekali seperti habis menangis dan kurang tidur.

"Lu abis nangis? Kenapa heh? Laki kok nangis. Hahaha"

"Heh. Asal aja kalo ngomong. Siapa yang nangis? Semalem gua gak tidur. Makanya mata gua jadi bengkak begini"

"Sa ae alesannya. Galau ya galau? Huuu"

"Serah lu dah. Orang semalem gua abis ngerjain tugas Pak Hadi kok. Sekarang dikumpulin. Greget banget tau, masa ngasih tugas segitu banyaknya dikasih waktu cuma seminggu? Dia pikir tugas sekolah gua cuma tugas dari pelajaran dia doang?" Tukas Hakim sambil membuang muka.

Aku tak menjawab, masih sibuk melihat lalu lalang pemeran kehidupan yang tak gentar oleh derasnya hujan. Toh, hujan itu katanya Rezeki. Harus disyukuri.

"Assalamu'alaikum, Ra? Hey, kesiangan?" Dari arah lain, Aliya datang dengan membawa payung dan memakai jas hujannya. Dalam hatiku bersorak sorai, akhirnya ada temen juga buat masuk ke kelas.

"Wa'alaikumussalam, Li. Ya allah, akhirnya aku ada temen. Tadi aku sendirian aja disini, seriusan. Aku takut enggak ada temen buat masuk ke Kelas. Malu banget yang ada"

"Heh, gua ga dianggap temen ya? Parah banget lu" Hakim mengomel, mengalihkan pandangannya ke arahku dan Aliya.

"Hahaha, ada si Hakim juga. Berarti kita bisa bareng aja ke Kelasnya, kan kelas kita sebelahan" Ucap Aliya dengan lembut.

"Gak, Li. Liya bawa aja tuh nenek lampir. Jangan ajak-ajak Hakim. Males tau nanggepinnya. Ngegas mulu kalo ngomong" cerocos Hakim.

"Udah ih jangan berantem, lama lama kalian keliatan cocok tau kalo berantem terus. Ups, hahaha. Lagian Liya perhatiin, setiap ada kalian berdua tuh pasti berantem terus. Kenapa sih?" Ceplos Aliya dengan polos. Seakan tak tahu bahwa disini ada yang baru saja patah hati.

"Hust, kalo ngomong jangan asal ah, Li. Siapa juga yang mau sama Hakim. Si Nisa aja nyaman gak nyaman. Nyebelin sih jadi orang".

Aliya terdiam, Hakim membisu. Suasana menjadi sedikit kaku. Aku buru-buru membenarkan sikapku, aku tau perkataanku yang tadi menyinggung Hakim. Dan membuat Aliya bertanya-tanya.

"Hah? Nisa? Nisa anak kelas C? Ada apa sama Hakim? Cieeee Hakim.. Hahaha" Aliya sepertinya memang tak tahu bahwa Hakim dan Nisa dekat. Pernah dekat lebih tepatnya.

Maka, suasana berubah 180 derajat. Aliya bingung, merasa bersalah karena mengucapkan itu. Tapi aku tak mengerti jalan pikiran Hakim. Dia menunjukkan sikap yang seakan terlihat baik-baik saja. Bahkan beberapa detik setelah itu, Hakim kembali tertawa.

Lihat selengkapnya