Suatu waktu, Adrianne sempat membantu Ina menutupi kesalahannya saat tanpa sengaja menyenggol gelas berisi air di atas meja guru sehingga tumpah membasahi buku dan kertas di atasnya. Adrianne membela Ina dengan mengakui dirinya yang telah menumpahkan air di dalam gelas itu sehingga ia dimarahi dan harus membersihkan meja yang basah itu. Setelah kejadian itu, Ina semakin lengket dan tak terpisahkan dengan sobat barunya itu. Aku jadi merasa begitu sedih dan kesepian ditinggal sahabat karibku selama ini. Bahkan, keberadaan Berto yang duduk disebelahku pun sudah tidak menarik perhatianku lagi.
Aku menjadi semakin sedih saat sempat berpapasan dengan Ina di suatu toko swalayan bersama ibuku. Namun, Ina malah pura-pura tidak melihat dan mengalihkan pandangannya dariku dan ibuku seakan kami tidak pernah kenal satu sama lain. Ibuku sampai heran saat melihat sikap Ina yang berubah drastis itu. Hatiku sangat kecewa dan tak percaya bahwa persahabatan kami yang telah erat terjalin selama ini harus terputus begitu saja hanya karena kedatangan orang baru.
Ironisnya, aku harus sabar dan berlapang dada menerima serta menghadapi perubahan dalam diri sahabatku itu. Aku sempat berpikir bahwa persahabatan sejati itu tidak ada dan aku tidak mau punya sahabat lagi. Namun, ibuku yang bijak berhasil menenangkan dan membujukku untuk memaafkan Ina dengan tidak menyimpan dendam apalagi kebencian di hati. Sebaliknya, ibuku malah mendorongku untuk tetap mengasihi Ina dengan terus bersikap baik walau merasa disakiti. Ibuku bilang menyayangi itu tidak selalu harus memiliki.
Awalnya, hal itu sangat sulit bagiku untuk diterima dan dijalani. Namun, lama-kelamaan aku jadi terbiasa dengan hubunganku dengan Ina yang semakin jauh dan tidak nyaman. Walaupun Ina tidak menghiraukan keberadaan dan perhatianku lagi, aku tetap berusaha untuk bersikap ramah dan bersahabat kepadanya.