SAI

Melvin Rovisa
Chapter #3

METAMORPH

Di pagi yang cerah dan menyegarkan di Jakarta, cahaya matahari mulai menembus gedung-gedung menjulang, memberikan kehidupan pada jalan-jalan yang masih sepi di sekitar kawasan Pluit. Suara gemuruh kendaraan yang melintas di jalan raya menambah kesan hidup pada suasana pagi yang tenang.

Kila duduk di bangku tunggu dengan secangkir kopi dalam genggamannya, "Apa kita sudah menunggu terlalu lama, Doni?"

Doni, yang duduk di sebelahnya, menggeleng, "Mungkin dia terlambat karena macet. Kamu tahu bagaimana jalanan Jakarta pagi ini."

Mereka berada di lobi Rumah Sakit Harapan Sentosa, sebuah institusi medis terkemuka di kota. Meskipun suasana pagi yang cerah, rumah sakit tetap sibuk dengan aktivitas para tenaga medis yang datang untuk shift pagi.

Kila melirik keluar jendela dan melihat ke arah jalan, "Tapi biasanya Sai tidak terlalu terlambat. Aku harap semuanya baik-baik saja dengannya."

Doni mengangguk, "Aku juga berharap begitu. Dia pasti akan segera tiba."

Sementata di ujung jalan, bayangan seorang pria muncul di bawah sinar mentari pagi. Langkahnya terhenti sesaat sebelum melanjutkan perjalanan, tubuhnya terlihat sedikit loyo, seolah-olah sedang berusaha menyesuaikan diri dengan sesuatu yang mengalir di dalamnya.

Kila melihat Sai dari jendela, matanya terbelalak kaget saat melihatnya berjalan dengan langkah yang terlihat ragu-ragu di bawah sinar matahari pagi.

"Doni, lihat! Itu Sai!" serunya, suaranya terdengar gemetar.

Doni segera berdiri dan bergabung dengannya di jendela, "Benar, itu dia! Kenapa dia terlihat seperti itu?"

"Mungkin ada yang salah, Doni. Kita harus segera pergi ke sana," kata Kila, kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya.

Doni mengangguk, "Tidak perlu dikatakan. Ayo kita lihat apa yang terjadi." Dengan cepat, mereka bergerak menuju pintu keluar, siap menghadapi apa pun yang menimpa teman mereka.

Dengan cepat, Kila dan Doni mendekati Sai yang tampak lemas di ujung jalan. "Sai, apa yang terjadi? Kenapa kamu terlihat seperti itu?" tanya Kila, cemas.

Sai tersenyum lemah saat mereka mendekat. "Ah, tidak apa-apa, Kila. Aku hanya sedikit kelelahan dan kurang tidur saja," ujarnya dengan suara yang terdengar agak serak.

"Doni dan aku sangat khawatir. Kamu harus memberi tahu kami jika ada masalah," kata Kila, sambil menawarkan bahunya untuk bersandar.

Doni mengangguk setuju, "Benar, Sai. Kami selalu di sini untukmu."

Sai mengangguk, terima kasih. "Terima kasih, teman-teman. Aku akan baik-baik saja. Ayo, kita masuk ke dalam, aku hanya butuh secangkir kopi." Dengan bantuan Kila dan Doni, Sai melangkah menuju pintu rumah sakit.

Ketika mereka bertiga duduk bersama di lobi rumah sakit, menikmati secangkir kopi hangat, Sai tiba-tiba merasakan sesuatu yang berbeda saat Kila menyedot kopi dari cangkirnya. Sebuah aura hangat menyelimuti ruangan, dan Sai merasakan energi yang tak terlukiskan memenuhi dirinya. Terheran-heran, Sai merasa tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Sesuatu yang aneh terjadi," batin Sai, matanya menatap Kila dengan kekaguman. "Apakah ini perasaanku saja atau ada sesuatu yang berubah?" Pikirannya dipenuhi dengan kebingungan, namun dia memilih untuk merasa bersyukur atas sensasi yang aneh ini.

Dengan mata yang berbinar-binar, Sai tersenyum pada Kila dan Doni, merasa bersyukur karena memiliki teman-teman sebaik mereka.

Tak lama setelah itu, Sai mulai melihat dengan jelas aura yang mengelilingi Kila. Aura itu bukan sekadar cahaya, melainkan butiran-butiran tipis yang menari-nari seperti selendang yang mengalir dari tulang ekor Kila.

Butiran-butiran aura itu berwarna jingga, mencerminkan semangat dan ketenangan hati yang terpancar dari dalam diri Kila.

Terheran-heran, Sai memperhatikan fenomena yang tak terlukiskan di hadapannya. Tanpa disadari, otaknya mulai merespons dan memproses data yang masuk. Tiba-tiba, di depan mata Sai, muncul antarmuka digital yang melayang samar-samar dan terpecah-pecah, hanya bisa dilihat dan dirasakan oleh Sai sendiri.

Dalam antarmuka tersebut, data dan informasi mulai terbentuk, membentuk sebuah kesimpulan yang muncul secara spontan. Sai merasa seolah-olah dia memiliki akses langsung ke database yang tak terbatas, sebuah pemahaman yang mendalam tentang apa yang sedang terjadi di sekelilingnya.

Sai bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa, mencoba untuk tidak menunjukkan keheranannya pada Kila dan Doni, yang ternyata sama-sama mengeluarkan debu-debu bercahaya dan berwarna yang di sebut aura. Ia hanya memperhatikan dengan cermat perdebatan keduanya tentang rasa kopi yang berbeda kesukaan.

"Piuh... Kalian ini, yah," desis Sai.

Tak lama kemudian, suara lonceng yang memanggil pegawai untuk pergantian shift menggema di lobi rumah sakit. Kila dan Doni segera meninggalkan meja tempat mereka duduk, dan berdiri untuk bersiap-siap memasuki area kerja mereka masing-masing.

Lihat selengkapnya