Bagian I: Tentang Latar Belakang
Kala mendengar nama ‘Saidjah’ (atau ‘Saijah’ sesuai EYD) dan ‘Adinda’, penulis takkan heran jika pembaca dengan mudah menebak dua nama itu adalah karakter ikonik dari roman klasik Max Havelaar—selain Max Havelaar itu sendiri.
Tapi kemudian terdapat kalimat ‘dan Kini’ segera setelah nama tersebut. Benarkah ini mengambil waktu tepat di tahun atau abad ini? Atau benarkah kalimat ‘dan Kini’ tersebut memanglah merujuk pada keterangan waktu?
Kemudian, mengapa kisah ini ditulis? Apakah untuk menghidupkan kembali kesadaran masyarakat modern tentang keberadaan roman Havelaar? Apakah untuk mengkritisi kehidupan modern yang hanya sedikit berubah sejak pertengahan abad ke-19? Atau sekedar mengisi waktu penulis yang terlalu luang?
Jawaban dari semua itu tidak terlalu penting, namun penulis secara eksplisit akan menyebut bahwa kisah ini merupakan fiksi-sejarah, dengan penekanan pada kata fiksi. Penulis dengan segala keterbatasannya hanya mencari sumber yang dibutuhkan untuk kemudian didramatisi, dan karena kisah ini sudah ditulis dan tinggal dibaca—sebuah tulisan pasti dibaca, entah oleh satu atau seribu orang—tanpa mengurangi rasa hormat, penulis mempersilahkan kalian untuk mulai membaca.
.
.
.
Bagian II: Tentang Saijah dan Adinda Kecil
Ayah dari Saijah, dan ayah dari Adinda adalah teman baik. Rumah mereka berada di samping satu sama lain. Mereka berdua lahir, dan tumbuh bersama di desa Badur. Desa ini berada di distrik Parangkujang, yang kemudian dikepalai oleh seorang lelaki yang merupakan ipar dari bupati Lebak yang baru.
Semua orang sadar kala pajak tanah mereka semakin lama semakin naik semenjak ipar sang adipati itu menguasai desa mereka. Semua orang juga sadar kala pundutan semakin sering dilakukan. Namun mereka tak bisa melakukan apa pun, karena mereka yakin sang adipati adalah seorang yang bijak. Mereka yakin sang adipati akan mengganti apa yang telah diambil dari mereka pada waktunya.
Suatu hari, Ayah Adinda pulang dari pusat kota dengan wajah pucat. Uang yang didapatnya setelah berjualan di pusat kota lenyap di tangan perampok! Sementara itu, sudah dekat waktunya untuk membayar pajak tanah!
Ia putus asa, dan hendak kabur ke luar daerah hingga Ayah Saijah menahannya. Ayah Saijah mengingatkannya tentang istri dan anak-anaknya, serta saudara-saudaranya yang tersisa di desa ini. Jika Ayah Adinda kabur, bisa seisi desa terkena getah!
Lalu apa yang harus ia lakukan? Sementara ia tak punya cukup uang, dan jelas tak mau busuk di penjara.
Maka Ayah Saijah menyampaikan jika ia masih punya sejumlah tabungan yang bisa ia pinjamkan pada Ayah Adinda, dan ia boleh melunasinya kapanpun. Ia bahkan seharusnya bersyukur karena para perampok itu hanya mengambil uang, dan bukan nyawanya.
Ayah Adinda senang bukan kepalang. Ia menangis haru dan bersujud di kaki Ayah Saijah, ia bahkan menjanjikan putrinya untuk dinikahkan dengan putra Ayah Saijah.
Kawannya itu tak tega untuk menolak ungkapan terima kasih yang berlebihan ini. Maka ia hanya mengagguk menyetujui seraya membantu Ayah Adinda untuk kembali berdiri dengan dua kakinya yang gemetaran.
Sementara itu, Saijah dan Adinda kecil tengah bermain bersama anak-anak lain. Usia mereka hanya terpaut tiga tahun. Mereka saling kejar satu sama lain dan tertawa kala anak lainnya tertangkap. Mereka terlalu kecil untuk mengerti ataupun peduli masalah perjodohan.
.
.
.