Mia Baker menghampiri Sarah yang sedang memanggang kue muffin di dapur. Sarah baru saja selesai mendinginkan kue-kue itu dan kini bersiap untuk menghiasnya dengan krim gula warna-warni yang sudah ia buat. Mia menarik salah satu bangku tinggi di meja dapur dan duduk. Gadis itu meletakkan kedua sikunya di atas meja dan menangkupkan wajahnya dengan telapak tangan. Matanya menatap susunan muffin itu.
Sarah mendongak dari nampan kuenya. Dahinya berkerut. “Bukankah kau seharusnya sekarang sedang berada di bukit bersama saudara-saudaramu, Mia?” tanyanya.
“Aku bosan,” jawab Mia. “Mereka bermain layang-layang dan memetik bunga. Aku hanya duduk-duduk saja, sedang tidak tertarik. Lalu aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Louis dan Lilian berusaha mencegahku, karena mereka selalu butuh banyak orang untuk diajak bermain.”
Sarah manggut-manggut. “Baiklah.” Ia mengelap tangannya dengan serbet. “Jadi apa yang ingin kau lakukan sekarang? Apa kau mau membantuku menghias muffin ini, atau duduk-duduk dan melihat saja?”
“Sebenarnya, bolehkah aku mengambil satu?” Mia menunjuk kue-kue itu. “Aku tahu sekarang belum saatnya minum teh, tapi aku suka muffin tanpa krim gula.”
Sarah mengangguk.
Mia menjulurkan tangannya dan meraih satu muffin. “Dan aku lebih memilih untuk duduk saja melihatmu bekerja.” Ia nyengir memperlihatkan gigi-giginya.
Sarah mulai menghias muffin-muffin itu satu per satu dengan krim dan berbagai macam taburan di atasnya, sementara Mia duduk sambil menyantap kudapannya dengan segelas jus jeruk dingin. Kakinya berayun-ayun di bawah meja. Ia menelengkan kepalanya sedikit, memandangi Sarah dan kegiatan menghias kuenya.
“Sarah, kau tahu, aku sekarang sedang mencoba menulis ceritaku sendiri.” Mia memberitahu.
“Benarkah?” Sarah mengangkat wajahnya, ia tampak antusias. “Kau menulis cerita apa, Mia?”
Mia tampak berpikir. “Aku baru punya ide, tapi aku belum menemukan alur cerita apapun. Agak susah, sebenarnya,” jawabnya. “Aku tidak punya banyak inspirasi, dan tidak tahu cara merangkai kalimat.”