Hari baru akan menjelang siang ketika Dorian melewati stasiun kereta api menuju wilayah Hanshelltown. Setelah selama sebulan hidup di perjalanan, pria itu dengan senang hati mengemudikan kembali kereta kudanya memasuki pusat kota dan terus bergerak menuju area lahan pertanian. Ia sudah meniatkan diri untuk beristirahat panjang dan pergi memancing di laut.
Dorian menghentikan keretanya di depan sebuah rumah bertingkat dua yang didominasi oleh warna putih dan cokelat. Ia turun dari kereta dan membongkar muatan, lalu menaruhnya ke dalam sebuah gudang pertanian di sebelah rumah itu. Ia menaiki anak tangga beranda dan masuk ke dalam rumah.
Dorian menjatuhkan dirinya di sofa ruang tengah. “Huft. Rumahku surgaku.” Ia menghela napas panjang, membiarkan kepalanya bersandar pada sandaran sofa yang empuk.
Terdengar suara langkah kaki mendekat dari sisi lain rumah. “Hei, Paman Dorian. Kau sudah kembali rupanya,” sapa seorang gadis tinggi dengan rambut panjang tergerai.
“Well, halo untukmu, Meissa. Senang dapat kembali setelah melalui perjalanan panjang,” balas Dorian. Ia hanya membuka mata sebentar untuk melihat keponakannya. “Apa orang tuamu ada di rumah?”
“Tidak. Ibu sedang berkumpul dengan klub menjahitnya, tapi dia akan kembali sebelum tengah hari. Ayah ada di kantor surat kabar.” Meissa berjalan ke arah sofa dan duduk di seberang Dorian. “Kau datang di saat yang tepat. Aku sedang memasak makan siang.”
“Ah, jadi itu aroma sedap yang kucium ketika memasuki rumah,” sahut Dorian. Pria itu meregangkan leher dan bahunya. “Apa yang kau masak?”
“Sup daging sapi.”
“Terdengar lezat.” Dorian bangkit dari sofa. “Aku akan membersihkan diri dulu dan kemudian kita akan makan siang bersama. Dan Meissa, kalau kau bertanya-tanya di mana oleh-olehmu, kau bisa mengambilnya sendiri di dalam kantung tasku.”
Meissa tersenyum lebar. Ia melirik kantung tas kain yang berada di atas kursi. “Oke, Paman.”
Dorian pergi ke bagian belakang rumah sementara Meissa meraih kantung itu. Karena pamannya sering bepergian ke luar kota, Meissa terkadang suka meminta Dorian untuk membawakannya sesuatu dari tempat-tempat yang dikunjunginya sebagai buah tangan. Jenis barang favorit Meissa adalah benda-benda antik. Ia sudah punya beberapa barang mulai dari cangkir berukir, jepitan rambut, berlusin perangko, sampai yang paling besar dan mahal adalah pemutar piringan hitam klasik. Dorian membelikannya untuk Meissa sebagai hadiah ulang tahunnya.
Di dalam tas Dorian ada beberapa jenis kain, cerutu, dan sebuah kertas brosur. Meissa tidak melihat sesuatu yang antik di dalamnya. Ia merogoh lebih jauh dan merasakan sebuah permukaan yang kasar. Ada kantung serut kecil seukuran dua ibu jari pria dewasa di dasar tas. Terdengar bunyi bergemericing dari dalamnya. Meissa menarik tali kantung itu dan mengeluarkan isinya. Tiga keping koin emas kuno berada di telapak tangannya.
“Woah.” Meissa bergumam takjub. Mata biru nyaris keabu-abuannya menatap lekat ketiga koin itu. “Koin apa ini? Aku berani bertaruh umurnya pasti sudah sangat tua. Ribuan tahun yang lalu.”
Selagi Meissa mengagumi benda antik barunya, Dorian muncul kembali ke ruang tengah. Sudah bersih dan wangi.
Meissa mendongak. “Paman Dorian, dari mana koin-koin ini berasal?”
“Yunani kuno. Itu salah satu mata uang mereka. Penjual di toko berkata koin-koin itu sudah disimpan dan dijaga dengan baik selama puluhan ribu tahun. Katanya, mungkin ada beberapa serbuk emas asli atau pecahan batu permata yang sangat kecil di dalamnya. Aku mendapatkan koin-koin itu dengan harga yang bagus.” Dorian memberitahu. Ia menghilang ke dapur, lalu terdengar bunyi tutup porselen bergesekan. “Ah, ya ampun, aku lapar. Kapan waktu makan siang akan tiba?”
“Mengesankan,” komentar Meissa. Ia memasukkan koin-koin itu ke dalam saku dressnya. “Sejauh ini, ini benda antik terkeren yang pernah kumiliki.”
“Senang kau menyukainya. Sekarang, kapan ibumu akan kembali supaya kita bisa mulai menyantap sup daging sapi ini?” tanya Dorian dari ruang makan.
“Dia akan tiba sebentar lagi.”
“Dan Meissa, bisa tolong kau bawakan kemari brosur yang ada di dalam tas kantungku?” pinta pamannya.
Meissa meraih tas kantung Dorian dan mengeluarkan brosur itu. Selembar kertas sederhana berwarna hitam-putih dengan dua kalimat besar dan beberapa kalimat kecil, dihiasi oleh gambar langit malam dan bintang jatuh di bagian atasnya.
“Apa kau sudah pergi ke pusat kota akhir pekan ini?” tanya Dorian. Ia menerima brosur itu.