Suasana di sekolah tidak ada bedanya dengan suasana di pusat kota. Hampir seluruh anak di kelas Meissa membicarakan acara hujan bintang jatuh besok malam. Mereka berdiskusi tentang permohonan apa yang harus diucapkan dan apa yang harus dilakukan agar permohonan mereka dapat terkabul.
Meissa menatap kedua temannya, Tania dan Aluna, dengan tatapan bosan dan wajah yang menyiratkan ketidaksetujuan.
“Bolehkah kita meminta sesuatu yang sangat material? Seperti, misalnya sepatu?” Tania bertanya kepada Aluna. Ia mengetukkan tumit sepatunya ke lantai kayu. “Sepatu baru berwarna putih seharusnya bagus.”
Meissa mengernyitkan dahi mendengarnya.
Aluna mengulum bibirnya sejenak sebelum menjawab. “Um, sepertinya bisa.” Gadis itu beropini. “Tapi, menurutku, kau seharusnya meminta sesuatu yang sedikit lebih punya kedalaman.”
Meissa menaikkan sebelah alisnya.
“Sepatu punya kedalaman, kau tahu. Mereka menunjang kepercayaan diri kita,” balas Tania.
“Kalau begitu, kenapa kau tidak meminta agar dirimu menjadi lebih percaya diri?” Aluna bertanya balik.
“Atau bagaimana jika kalian berdua berhenti membuat permohonan kepada sesuatu yang berasal dari takhayul seperti bintang jatuh?” pertanyaan Meissa menyela obrolan keduanya.
Tania dan Aluna menoleh kepada gadis itu.
Tania menyandarkan lengannya pada meja kayu. “Sekarang penyebuatannya adalah kepercayaan.”
“Tetap saja itu adalah takhayul. Tidak ada orang yang dapat membuktikan apakah bintang jatuh benar-benar dapat mengabulkan permohonan manusia atau tidak. Lantas jika begitu, mengapa kalian masih harus mendewakannya setiap saat?” Meissa berargumen.
Aluna menjentikkan jarinya. “Nah, karena kau menyebutkannya tadi, sebenarnya memang ada hubungannya,” ujarnya. “Nenekku bilang, ketika suatu bintang jatuh ke bumi, itu berarti seorang dewa sedang membuka sebuah sekat di langit yang memisahkan dunia mereka dengan dunia manusia. Bintang-bintang itu jatuh karena pergerakannya, menandakan sang dewa sedang mengamati kita secara langsung. Dan saat itulah waktu yang tepat untuk memohonkan permohonan kepada Langit. Leluhur bilang, kemungkinan didengar dan dikabulkan oleh para dewa sangatlah besar.”
“Dan sejauh ini, apakah semua permohonan-permohonan yang sudah dipanjatkan itu pernah sungguh menjadi kenyataan?” tanya Meissa.
“Kesempatan dikabulkannya tidak pernah benar-benar mutlak, ada yang berhasil dan ada yang tidak. Tapi orang-orang percaya dengan kebaikan dan keajaiban Langit, jadi mereka semua akan tetap berdoa kepadanya,” jawab Aluna.
Meissa menghela napas keras.
“Sebenarnya banyak bukti-buktinya jika kau mau melihat dan menelusuri lebih dalam.” Tania menceletuk, ia memuntir-muntir kepangan rambutnya. “Hanya saja, rata-rata semuanya hampir terlihat tidak kentara.”
“Lalu kenapa kau bahkan berpikir untuk meminta sesuatu yang dangkal seperti sepatu baru?” Meissa selalu punya hal untuk dipertanyakan dan diperdebatkan.
“Yah, terkadang aku hanya ingin punya barang bagus yang bisa kupakai ke luar rumah.” Tania mengedikkan bahu.
Meissa menggeleng singkat. Dari raut wajahnya, gadis itu tampak cukup puas dengan hasil dari argumennya dalam percakapan ini. “Inilah alasan mengapa aku tidak percaya dengan bintang jatuh.”
“Tunggu, kau tidak percaya dengan bintang jatuh?”
Pertanyaan spontan itu mengalihkan perhatian ketiga gadis itu. Meissa membalikkan tubuhnya. Seorang pemuda berambut pirang gelap kecokelatan dengan mata sewarna buah zaitun berdiri di belakang Meissa. Tangan kanannya terangkat ke udara seperti hendak memotong pembicaraan sejenak.
“Yeah, aku tidak mempercayainya,” jawab Meissa langsung.
Wajah pemuda itu tampak bingung. “Kenapa?”