Sulaman pada sarung bantalnya sudah hampir jadi, tetapi Meissa masih kurang puas dengan hasil motif gelombang lautnya. Ia merogoh tasnya, mencari benang berwarna putih untuk menambahkan buih-buih gelembung kecil di atas sulaman benang biru muda. Ia kembali fokus dalam pekerjaannya. Sementara itu, Rigel berdiri beberapa meter dari Meissa, sedang melempar batu.
“Kau tahu, triknya adalah dengan menggunakan telapak tanganmu,” ujar Rigel. Ia melempar batunya, dan batu itu mengenai batu yang sebelumnya sudah dilemparnya ke rumput. “Kau harus membuat genggaman tanganmu terasa seringan mungkin ketika menggenggam batunya, dan membiarkan seluruh tenaga berpusat di lengan dan sikumu.”
“Bukankah seharusnya sebaliknya?” tanya Meissa tanpa mendongak. “Kau harus menggenggam batu dengan erat dan melemparkannya dengan kuat untuk mengenai sasaran.”
“Tidak. Hukum alam semesta tidak bekerja seperti itu. Terkadang, kau harus membiarkan dorongan itu membawamu sesuai dengan keinginannya. Jangan dilawan.” Rigel melempar lagi. Dua batu saling bertubrukan. Ia membungkuk untuk mencari batu lain. “Apa kau bermain lempar batu juga?”
Meissa mengangkat wajahnya. “Kadang-kadang. Tapi aku bermain lempar batu di danau. Lebih mengasyikkan melihatnya membuat riak beruntun di permukaan air.”
Rigel mengangguk menyetujui. “Betul sekali.” Ia berhenti sebentar untuk menegakkan punggungnya. Pandangannya menyapu seluruh lanskap. “Besok malam pasti tempat ini sudah dipenuhi banyak orang. Setiap tahun, tampaknya semakin banyak orang yang datang kemari untuk melihat acara hujan bintang jatuh.”
Bukan hanya penduduk Hanshelltown yang memuja bintang jatuh, orang-orang dari kota-kota terdekat juga sering datang ke kota mereka untuk menyaksikan fenomena tersebut. Cukup banyak masyarakat negeri ini yang mengetahui dan mengakui bahwa langit terlihat lebih rendah di Hanshelltown, yang menjadikannya sebagai salah satu wilayah favorit untuk dikunjungi.
“Yah, semoga beruntung untuk mereka. Hanshelltown juga mendapat banyak pemasukan karenanya. Tapi aku tidak akan datang.”
Rigel menoleh pada gadis itu. “Kau tidak datang?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
Meissa menaruh jarum sulamnya, kedua tangannya berada di atas lutut. “Kupikir pagi tadi kita baru saja berdebat tentang perbedaan pandangan dan kepercayaan kita tentang bintang jatuh.”
“Well, aku tahu kau bilang bahwa kau tidak percaya. Tapi kukira kau akan tetap hadir pada malam perhelatannya. Maksudku, ini sudah seperti acara tahunan kota yang hanya tinggal dinikmati saja,” balas Rigel. Ia menatap Meissa sambil memain-mainkan batu-batu kecil di kedua tangannya.
“Tampaknya seiring bertambah dewasa dan semakin sadar akan kehidupan di sekitarku, aku menjadi lebih selektif dan lebih memilih untuk berada di lingkungan yang sesuai dengan prinsip dan nilai yang kupercayai,” jawab Meissa.
Rigel mengamati Meissa beberapa lama. Gadis itu bahkan tidak melihat ke arahnya. Wajahnya tertunduk ke bawah dan matanya fokus pada jarum benang yang ia masukkan berulang kali pada kain di tangannya. Sejauh ini apa yang diutarakan Meissa sangat masuk akal, tetapi Rigel tidak bisa tidak bertanya-tanya apa yang membuat dia begitu sinis tentang topik apa saja yang menyangkut bintang jatuh.
“Yah, kau benar.” Rigel melangkah mendekat. “Tapi aku masih berharap kau datang. Sayang sekali untuk tidak menyaksikan fenomena menakjubkan yang hanya terjadi dua tahun sekali, bahkan terkadang hanya sekali setahun. Mungkin, siapa tahu, kau akan mendapat sebuah keajaiban.” Ia mengatakannya sambil lalu dengan wajah tidak acuh.
Satu sudut bibir Meissa terangkat ke atas. Ia tahu Rigel tidak akan menerima pendapatnya begitu saja tanpa mencoba untuk menangkalnya dengan pendapatnya sendiri. Gadis itu bisa menebak tidak lama lagi mereka pasti akan kembali berdebat.
“Terima kasih sekali atas undangannya, tapi aku tidak tertarik. Lebih baik aku duduk manis di rumah saja daripada hanya memandangi bintang dengan wajah berbinar-binar,” sahut Meissa dengan senyum lebar yang hampir membuat matanya menyipit.
Rigel tertegun selama dua detik, lalu ia memicingkan matanya pada gadis itu. “Kau sedang berusaha memancingku, ya?”