Rumah Rigel berada di pinggir perbatasan kota, di wilayah yang lebih tinggi dan berbukit. Ia menaiki undakan tanah yang ditumbuhi bunga-bunga edelweiss menuju sebuah bangunan satu tingkat yang terbuat dari bebatuan. Di belakang rumahnya, menjulang bukit paling tinggi di Hanshelltown. Ada satu pondok kayu kecil di atasnya. Rigel bisa melihat asap mengepul dari cerobong asap pondok itu. Alih-alih membuka pintu rumahnya, ia berjalan memutar dan bergegas menaiki tanjakan tanah menuju bukit itu.
“Kakek?” Rigel mendorong pintu pondok yang setengah terbuka. Ia melongokkan kepalanya ke dalam. Tidak ada siapapun di ruang tengah. Ia masuk dan menutup pintu di belakangnya, lalu memeriksa seluruh ruangan. “Kakek? Kau ada di sini?”
Rigel berjalan ke halaman belakang. Kakeknya ada di sana, sedang duduk di atas kursi di hadapan meja persegi panjang yang terbuat dari kayu oak. Ia tengah menulis di lembaran buku perkamen. Di samping meja itu, ada sebuah teleskop besar berwarna cokelat keemasan yang dihadapkan ke langit.
“Kau harus mulai belajar untuk menutup pintu pondokmu dengan rapat,” kata Rigel. Ia menghampiri kakeknya. “Terutama ketika kau berniat untuk tinggal di halaman belakang sepanjang hari.”
“Bukankah seharusnya kau menyapa kakekmu terlebih dahulu sebelum mulai mengomel tentang pintu, cucuku sayang?” Kakek Rigel, Alfred, mencelupkan ujung pena bulunya ke dalam kolam kecil tinta tanpa mendongak.
Rigel melangkah ke tepi bukit. Dari atas sini, ia hampir bisa melihat seluruh isi kota, kecuali wilayah di seberang barat karena posisinya berdiri sekarang berada di ujung timur. Langit sudah mulai menggelap di atas pemuda itu, dan matahari yang berada jauh di hadapannya terlihat berwarna merah kekuningan, lambat-laun mulai terbenam di balik pegunungan di dekat laut.
“Kau sudah minum teh?” Rigel berbalik kepada kakeknya.
Pandangan Alfred tidak beralih dari buku catatannya. “Tentu saja belum, Nak. Aku menghabiskan banyak waktu semenjak siang hari untuk menulis.” Ia membalikkan halaman perkamen dan mulai menulis lagi.
“Akan kusiapkan teh untukmu.” Rigel menatap lembaran buku Alfred yang dihiasi banyak tulisan dan beberapa sketsa serta diagram di atas meja. “Apa ini? Kau sedang meneliti salah satu rasi bintang atau menemukan rasi bintang baru?” ia menunjuk titik-titik yang membentuk suatu garis.
“Mengapa kau tidak membawakanku teh dan sepotong kue terlebih dahulu? Kurasa mulutku butuh sedikit sesuatu yang manis.” Alfred selalu punya cara untuk membalas setiap kalimat jenis apapun yang dilontarkan Rigel dengan sebuah pertanyaan.
Rigel kembali ke dalam pondok dan menyiapkan teh. Ia mengeluarkan kue lemon dari dalam laci penyimpanan dan memotongnya menjadi empat bagian, lalu mengambil beberapa keping kukis kacang lembut berisi kismis. Setelah selesai menata cangkir dan piring di nampannya, Rigel meraih setoples selai raspberry dan membawanya ke halaman belakang.
Alfred sudah mengesampingkan buku perkamen dan segala peralatannya untuk memberikan ruang di meja kerjanya.
“Kau tahu, Kakek, seharusnya kau sudah minum teh sejak dua jam yang lalu.” Rigel memberitahu sembari meletakkan nampannya di atas meja. Ia mengambil bangku kayu kecil dan duduk di seberang kakeknya. “Ibu bilang kepadaku agar selalu mengingatkanmu untuk jangan terlalu tenggelam dalam pekerjaan dan melupakan waktu minum teh.”
“Ah, ibumu memang selalu menjadi seseorang yang paling keras perihal waktu minum teh.” Alfred memandangi Rigel menuangkan teh untuknya. “Lebih keras daripada saudara-saudaranya yang lain.”
“Ibu bilang waktu minum teh adalah saat yang penting dan tidak boleh dilupakan,” kata Rigel. Ia menuangkan teh untuk dirinya sendiri.
Alfred meraih cangkir tehnya dan menyeruputnya secara berlahan, membiarkan jari-jarinya yang sudah keriput berlama-lama memegangi kepingan porselen itu.
Rigel mengambil sepotong kue dan mengolesinya dengan selai raspberry. “Jadi, apa yang sedang Kakek kerjakan hari ini? Tampaknya sibuk sekali.” Ia melirik buku perkamen Alfred. “Hujan bintang jatuh musim panas ini akan tiba besok malam. Aku tahu kau pasti sedang menyiapkan sesuatu.”