Siapa yang akan menyangka, ternyata malam ini Meissa berakhir berdiri dengan kedua lengan terlipat di padang rumput, menunggu kedatangan hujan bintang jatuh.
Seharusnya aku tidak perlu bertanya pada Ibu, batin Meissa dengan masam.
Kemarin sore ketika sampai di rumah, Meissa langsung bertanya pada Mrs. Lynn apakah namanya diambil dari nama sebuah bintang. Mrs. Lynn menjawab tidak, dan malah balik bertanya apakah nama anak perempuannya benar-benar berasal dari bintang. Setelah itu, tidak ada celah bagi Meissa untuk melarikan diri. Dengan hebohnya, Ibu langsung bersuka cita ria mengartikan bahwa keberuntungan akan memenuhi rumah mereka dan keluarga mereka telah dikarunia berkah. Ditambah Paman Dorian muncul di saat yang tepat untuk menambah kehebohan itu, yang membuat Meissa menjadi sebal.
Tentu saja, Meissa sebenarnya juga sudah punya rencana lain malam ini. Kenyataannya ia punya banyak rencana. Pertama-tama, setelah makan malam ia akan memanggang kue cokelat dengan saus raspberry buatan sendiri. Lalu kemudian, Meissa akan menikmati kuenya sembari membaca novel. Kalau ia mendapatkan ide untuk tema sulaman baru, ia akan membawa peralatan sulamnya ke beranda rumah dan mulai mengerjakan polanya. Lihat, Meissa begitu sibuk. Tetapi semua rencananya itu buyar seketika saat Dorian dan Mrs. Lynn menyeret paksa Meissa pergi dari singgasananya.
“Aku bahkan baru hendak mengeluarkan loyang dan mengambil telur,” gerutu Meisaa pada Aluna yang berdiri di sebelahnya.
“Yah, bagus untuk paman dan ibumu karena berhasil mengajakmu kemari. Mereka sepertinya tahu fenomena semacam ini tidak seharusnya dilewatkan demi memanggang kue,” jawab Aluna ringan. Mereka berdua sudah berteman cukup lama untuk Aluna mengerti sifat keras Meissa. “Kau akan melewatkan peristiwa besar.”
Meissa memutar bola matanya. “Peristiwa besar apanya? Hujan bintang jatuh terjadi berulang kali setiap tahunnya.”
“Eh?” Aluna menoleh pada Meissa. “Tahun-tahun sebelumnya kau selalu menghadiri perayaan bintang jatuh, kan? Kenapa tahun ini mendadak tidak mau datang lagi?”
“Aku sudah tidak menyukainya dan punya pandangan berbeda dari beberapa tahun yang lalu, tapi tetap menghadirinya karena sudah menjadi acara rutin tahunan yang dirayakan seluruh penduduk kota.” Wajah Meissa menengadah sesaat ke atas langit. “Baru dua tahun belakangan ini aku memutuskan bahwa apa yang dipercayai dan diikuti oleh mayoritas penduduk bukan sesuatu yang juga harus kupercayai dan ikuti, hanya karena mereka melakukannya.”
Dari tengah padang rumput, Tania berlari kecil menghampiri kedua temannya. “Hei, ayo kemari! Dari sebelah sana kita bisa melihat lebih banyak kumpulan rasi bintang!” ia menunjuk-nunjuk satu area dengan penuh semangat.
“Yuk,” ajak Aluna. Ia mulai berjalan menuruni turunan jalan padang rumput.
Meissa menghela napas singkat, lalu juga berjalan mengikuti Aluna.
Tidak jauh dari tempat Tania dan Aluna mengobrol, Dorian terlihat sedang berdiri seorang diri sambil menggunakan teropong klasik yang ia dapatkan di toko barang antik dengan harga murah. Alih-alih menghampiri teman-temannya, Meissa berbelok dan berjalan ke arah Dorian.
“Paman sedang apa?” tanya Meissa. Ia berdiri di sebelah pria itu. “Bukankah kau seharusnya mengarahkan teropongmu ke atas?”
“Aku sedang mencoba kekuatan lensa teropong ini untuk jarak jauh. Apakah kira-kira dapat digunakan untuk melihat kota sebelah…” Dorian menutup salah satu matanya dan memfokuskan satu penglihatannya melalui lensa teropong. “Lho?”
“Apa?” Meissa menyahut. Ia mengikuti arah pandangan Dorian.
“Aku melihat mitra kerjaku dari ibukota. Sebentar Meissa, aku perlu ke sana untuk menyapanya.” Dorian menutup teropongnya dan menyelipkannya di sabuk celananya. “Harus memberi kata-kata baik untuk diriku sendiri demi menjaga kesan dan hubungan baik.” Dengan langkah percaya diri, ia berjalan menghampiri mitra kerjanya.
“Hmm.” Meissa bergumam sendiri. Wajahnya mendongak ke atas. Hujan bintang jatuhnya belum datang juga. “Huh. Coba saja tiba-tiba malam ini tidak ada satu pun bintang yang melintas. Alangkah akan kecewanya semua orang,” pikirnya sinis. Ia tersenyum miring.
Sekitar sepuluh meter di belakang Meissa, Rigel berseru kepada kakeknya. “Aku mau jalan-jalan di sekitar sini dulu! Nanti aku akan ke sana!” ia melambai-lambaikan tangannya sebelum mengalihkan pandangannya ke depan. Pemuda itu tertegun.
Bukankah Meissa memberitahunya kemarin bahwa dia tidak akan datang?
Tanpa banyak pertimbangan, Rigel segera berlari kecil menghampiri gadis itu. “Hei,” sapanya. Baru ketika Meissa menoleh, senyuman iseng Rigel mengembang. “Ternyata benar kau. Akhirnya datang juga, ya?”